BULAN ini, Institut Teknologi Bandung memperingati lustrumnya
yang keempat. Salah satu acaranya: serangkaian simposium yang
diadakan 22-25 Maret, dengan tema: 'ITB: Harapan dan
Kenyataan'. Yang mungkin paling mengundang perhatian ialah acara
tanggal 22 dan 23 -- dengan pembicara antara lain Menteri Ristek
Habibie, Dirjen Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amidjaja, Wagub
Jawa Barat Suhud Warnaen, juga Walikota Bandung Husen
Wangsaatmadja. Dua hari itu simposium menampung kritik dan saran
para pembicara tentang ITB.
Dari dua pembicara alumni ITB sendiri, Suhud dan Habibie, keluar
lontaran cukup tajam. Antara lain, menurut Suhud: "ITB masih
kurang sensitif dan kurang mampu menilai perkembangan
pembangunan di Indonesia." Dengan lebih jelas pembicara
menyayangkan kalau sampai sekarang belum bisa diramalkan lebih
mendekati kebenaran: berapa insinyur yang dibutuhkan dan cabang
ilmu apa serta seberapa tingkatannya yang nanti relevan dengan
kebutuhan pembangunan. Ia pun berpendapat bahwa "perguruan
tinggi bukanlah tempat sekedar mencari ilmu."
Tangan Kotor
Kenapa sampai begitu? Suhud menunjuk dosen-dosen yang,
menurutnya, tak sepenuhnya mengkonsentrasikan diri pada
penelitian dan pengembangan pengetahuan. "Mereka lebih banyak
aktif di luaran sebagai pimpinan perusahaan, konsultan dan
sebagainya."
Juga menurut Suhud, dalam pandangan masyarakat ITB justru lebih
terkesan sebagai perguruan tinggi yang peka terhadap masalah
sosial daripada soal-soal yang berkaitan dengan teknologi. ITB
lebih sering masuk koran karena demonstrasi protes sosial
mahasiswanya. Ini berlawanan dengan Amerika Serikat, misalnya,
yang ahli-ahli teknologinya terkenal bersikap konservatif.
Sudjana Sape'i, Ketua Rektorium ITB, kepada Pikiran Rakyat
secara tak langsung menjawab pendapat Suhud. Sudjana menganggap
soal itu akibat wajar dari sistim pendidikan di ITB, yang
katanya menanamkan kepada mahasiswanya sikap ingin tahu,
meragukan sesuatu, mempertanyakan sesuatu, sikap mau berpendapat
dan berani menyatakan pendapat.
Yusman SD, seorang mahasiswa ITB, nnembenarkan adanya orang yang
mengatakan lulusan ITB tidak relevan dengan kebutuhan
masyarakat. Misalnya tidak mau ditempatkan di desa terpencil.
Tapi ini bukan khas ITB -- dan ia menunjukkan pula sebabnya:
"Kita harus melihat kurikulum ITB sendiri, yang memang tidak
mendidik orang mau menjadi pekerja tangan kotor." Dan soal
kepekaan terhadap masalah sosial, katanya: "Kita tidak bisa,
dong, menimba ilmu tanpa memperhatikan keadaan masyarakat
sekeliling kita."
Habibie pada gilirannya menilai kritik Wagub Suhud ada benarnya.
Tapi dia masih menganggap ITB merupakan institut teknologi yang
termasuk top dulu maupun sekarang -- walaupun "kita harus tetap
menilainya secara kritis."
Tentang kaitan pendidikan teknik dan masalah sosial, dengan
mengutip pendapat Messerschmitt, dia ini direktur perusahaan
kapal terbang Jerman, Messerschmitt Bolkow-Blohm. Habibie
bilang: "Kita tidak membuat politik, tidak bermain politik, tapi
mengembangkan teknologi demi pembangunan. Tapi dengan kesadaran,
apa nanti akibatnya -- langsung maupun tidak langsung terhadap
kehidupan politik."
Dan soal kwalitas sarjana teknik Indonesia, kritik Habibie yang
disampaikan secara tak langsung itu menarik. Katanya ia pernah
menjanjikan 400 sarjana teknik untuk dikirimkan ke pabrik
pesawat di Jerman. Yang melamar ternyata lebih dua puluh kali
lipat yang dibutuhkan. Setelah dites, yang memenuhi syarat tak
ada sepuluh orang. "Tapi saya tidak mau menyimpulkan orang
Indonesia gebleg. Barangkali karena iklim kampus kitalah yang
menyebabkan demikian" Tak jelas iklim yang bagaimana.
Dan Habibie masih menaruh harapan, nanti, sarjana-sarjana teknik
kita tak hanya merakit saja, tapi juga memproduksi. Lalu
disebutnya kebutuhan pabrik pesawat Nurtanio dalam waktu dekat:
7 ribu sarjana.
Doddy Tisna Amidjaja tetap optimis. Ia menunjuk riwayat
Technische Hooge School (moyang ITB) yang berdiri 1920 sebagai
sekolah tinggi swasta, dan kemudian karena dipandang bisa semutu
Sekolah Tinggi Delft di Negeri Belanda, THS diambil alih
pemerintah Hindia Belanda, 1924. "Dan sekarang pun ITB masih
mempunyai kharisma," kata Dirjen PT yang pernah menjabat Rektor
ITB itu.
Apa yang diutarakan dalam simposium memang bukan semata-mata
masalah khusus ITB. Itu bisa menyangkut universitas kita
umumnya, termasuk berbagai rangsang plus kebutuhan di luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini