Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

ITB Dan Sarjana Teknik Kita

ITB memperingati lustrum yang ke-4 dengan simposium yang bertema "harapan dan kenyataan". ITB lebih peka terhadap masalah sosial dari pada teknologi dan belum bisa meramalkan kebutuhan insinyur. (pdk)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN ini, Institut Teknologi Bandung memperingati lustrumnya yang keempat. Salah satu acaranya: serangkaian simposium yang diadakan 22-25 Maret, dengan tema: 'ITB: Harapan dan Kenyataan'. Yang mungkin paling mengundang perhatian ialah acara tanggal 22 dan 23 -- dengan pembicara antara lain Menteri Ristek Habibie, Dirjen Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amidjaja, Wagub Jawa Barat Suhud Warnaen, juga Walikota Bandung Husen Wangsaatmadja. Dua hari itu simposium menampung kritik dan saran para pembicara tentang ITB. Dari dua pembicara alumni ITB sendiri, Suhud dan Habibie, keluar lontaran cukup tajam. Antara lain, menurut Suhud: "ITB masih kurang sensitif dan kurang mampu menilai perkembangan pembangunan di Indonesia." Dengan lebih jelas pembicara menyayangkan kalau sampai sekarang belum bisa diramalkan lebih mendekati kebenaran: berapa insinyur yang dibutuhkan dan cabang ilmu apa serta seberapa tingkatannya yang nanti relevan dengan kebutuhan pembangunan. Ia pun berpendapat bahwa "perguruan tinggi bukanlah tempat sekedar mencari ilmu." Tangan Kotor Kenapa sampai begitu? Suhud menunjuk dosen-dosen yang, menurutnya, tak sepenuhnya mengkonsentrasikan diri pada penelitian dan pengembangan pengetahuan. "Mereka lebih banyak aktif di luaran sebagai pimpinan perusahaan, konsultan dan sebagainya." Juga menurut Suhud, dalam pandangan masyarakat ITB justru lebih terkesan sebagai perguruan tinggi yang peka terhadap masalah sosial daripada soal-soal yang berkaitan dengan teknologi. ITB lebih sering masuk koran karena demonstrasi protes sosial mahasiswanya. Ini berlawanan dengan Amerika Serikat, misalnya, yang ahli-ahli teknologinya terkenal bersikap konservatif. Sudjana Sape'i, Ketua Rektorium ITB, kepada Pikiran Rakyat secara tak langsung menjawab pendapat Suhud. Sudjana menganggap soal itu akibat wajar dari sistim pendidikan di ITB, yang katanya menanamkan kepada mahasiswanya sikap ingin tahu, meragukan sesuatu, mempertanyakan sesuatu, sikap mau berpendapat dan berani menyatakan pendapat. Yusman SD, seorang mahasiswa ITB, nnembenarkan adanya orang yang mengatakan lulusan ITB tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya tidak mau ditempatkan di desa terpencil. Tapi ini bukan khas ITB -- dan ia menunjukkan pula sebabnya: "Kita harus melihat kurikulum ITB sendiri, yang memang tidak mendidik orang mau menjadi pekerja tangan kotor." Dan soal kepekaan terhadap masalah sosial, katanya: "Kita tidak bisa, dong, menimba ilmu tanpa memperhatikan keadaan masyarakat sekeliling kita." Habibie pada gilirannya menilai kritik Wagub Suhud ada benarnya. Tapi dia masih menganggap ITB merupakan institut teknologi yang termasuk top dulu maupun sekarang -- walaupun "kita harus tetap menilainya secara kritis." Tentang kaitan pendidikan teknik dan masalah sosial, dengan mengutip pendapat Messerschmitt, dia ini direktur perusahaan kapal terbang Jerman, Messerschmitt Bolkow-Blohm. Habibie bilang: "Kita tidak membuat politik, tidak bermain politik, tapi mengembangkan teknologi demi pembangunan. Tapi dengan kesadaran, apa nanti akibatnya -- langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan politik." Dan soal kwalitas sarjana teknik Indonesia, kritik Habibie yang disampaikan secara tak langsung itu menarik. Katanya ia pernah menjanjikan 400 sarjana teknik untuk dikirimkan ke pabrik pesawat di Jerman. Yang melamar ternyata lebih dua puluh kali lipat yang dibutuhkan. Setelah dites, yang memenuhi syarat tak ada sepuluh orang. "Tapi saya tidak mau menyimpulkan orang Indonesia gebleg. Barangkali karena iklim kampus kitalah yang menyebabkan demikian" Tak jelas iklim yang bagaimana. Dan Habibie masih menaruh harapan, nanti, sarjana-sarjana teknik kita tak hanya merakit saja, tapi juga memproduksi. Lalu disebutnya kebutuhan pabrik pesawat Nurtanio dalam waktu dekat: 7 ribu sarjana. Doddy Tisna Amidjaja tetap optimis. Ia menunjuk riwayat Technische Hooge School (moyang ITB) yang berdiri 1920 sebagai sekolah tinggi swasta, dan kemudian karena dipandang bisa semutu Sekolah Tinggi Delft di Negeri Belanda, THS diambil alih pemerintah Hindia Belanda, 1924. "Dan sekarang pun ITB masih mempunyai kharisma," kata Dirjen PT yang pernah menjabat Rektor ITB itu. Apa yang diutarakan dalam simposium memang bukan semata-mata masalah khusus ITB. Itu bisa menyangkut universitas kita umumnya, termasuk berbagai rangsang plus kebutuhan di luar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus