KALAU benar pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) dalam negeri sebelum 1 April 1979 ini,
agaknya pemerintah sudah mengambil satu keputusan yang paling
pelik. Sebab kenaikan harga BBM tidak saja merupakan masalah
ekonomi. Minyak tanah misalnya yang merupakan salah satu jenis
BBM, dikonsumir oleh berjutajuta rakyat berpenghasilan rendah
dan juga digunakan oleh banyak industri kecil. Keputusan untuk
menaikkan harga BBM ini dengan sendirinya bisa menimbulkan
akibat yang luas, apalagi di tengah penyesuaian harga yang
sedang berlangsung sesudah devaluasi rupiah 15 Nopember 1978.
Di lain pihak, subsidi untuk BBM ini makin besar, dan merupakan
beban yang makin berat bagi keuangan pemerintah di hadapan
sumber-sumber penerimaan yang mulai terbatas dalam beberapa
tahun mendatang ini. Subsidi BBM ini meningkat dari Rp 75 milyar
pada 1976/77 menjadi Rp 145 milyar pada 1977/78. Dalam anggaran
1978/79 yang akan berakhir Maret ini, subsidi tersebut
diperkirakan akan mencapai Rp 216 milyar. Dalam suatu studi
tentang subsidi BBM ini, Dr. Hadi Soesastro dari CSIS
memperkirakan seandainya harga BBM ini tidak dinaikkan, maka
subsidi ini pada tahun anggaran 1979/80 bisa mencapai Rp 711
milyar. Dalam nilai dollar ini berarti biaya sebesar sekitar US$
1,2 milyar, atau sekitar seperempat hasil ekspor minyak sendiri.
Biaya yang besar ini disebabkan karena konsumsi BsM yang
disubsidi di dalam negeri naik makin cepat. Pada 1978/79 ini,
konsumsi minyak tanah solar, diesel dan bahan bakar lainnya yang
disubsidi akan mencapai 15 juta kiloliter, meningkat 2 juta
kiloliter dari konsumsi tahun sebelumnya. Kenaikan yang pesat
ini tak bisa diimbangi oleh kenaikan produksi minyak dalam
negeri, karena pemerintah harus mengekspor sebagian besar
minyaknya ke luar negeri. Akibatnya pemerintah harus mengimpor
bahan bakar ini, dan dengan devaluasi rupiah, biaya yang mesti
dikeluarkan pemerintah juga melonjak. Bagian Impor pada konsumsi
BBM ini kian meningkat: komponen impor ini pada 1976 masih 8%,
tapi pada 1977 melonjak menjadi 18%.
Argumen untuk menaikkan harga BBM juga didukung Bank Dunia.
Dalam laporannya tentang ekonomi Indonesia eperti dimuat koran
The Asian Wall street Journal baru-baru ini, Bank Dunia
berpendapat pemerintah Indonesia harus secepatnya menaikan harga
BBM dalam negeri dan menghapuskan subsidi. Menurut perhitungan
Bank Dunia, biaya sebenarnya subsidi ini telah mencapai 2% GNP
Indonesia, atau 20% anggaran belanja pembangunan tahun anggaran
sampai Maret 1980.
Minyak Tanah Terbesar
Bank Dunia mengemukakan tiga alternatip kenaikan harga, yang
masing-masing dihubungkan dengan tingkat harga minyak di luar
negeri. Dianjurkannya cara penyesuaian harga, di mana ongkos
produksi, penyulingan dan pemasaran dibebankan kepada konsumen.
Tapi konsumen tidak dibebani pajak perseroan yang timbul
seandainya minyaknya dijual ke luar negeri. Dengan alternatip
ini berarti harga BBM harus naik 40% tahun ini dan 20% lagi
tahun depan. Dan tingkat kenaikan sebesar ini nampaknya memang
tak jauh berbeda dengan tingkat kenaikan yang diperkirakan akan
terjadi.
Masalahnya adalah, akibat sosial apakah yang akan timbul bila
jutaan rakyat berpenghasilan rendah harus menanggung beban
kenaikan sebesar ini? Bank Dunia mengakui risiko semacam ini
harus diambil untuk suatu usaha yang disebutnya sebagai
"penghematan nasional yang berarti."
Bagi mereka yang khawatir akibat kenaikan harga minyak tanah,
Bank Dunia menunjuk suatu studi pada 1976 yang menunjukkan bahwa
penduduk yang termiskin yang merupakan lapisan 40%, hanya
menggunakan 20% dari seluruh minyak tanah yang dikonsumir.
Karena itu Bank Dunia berpendapat bahwa pengurangan subsidi
tidak akan terasa "sakit" bagi si miskin.
Tapi bagaimanapun juga minyak tanah menduduki posisi yang kritis
dalam penyesuaian jenis BBM yang disubsidi ini. Dengan jumlah
konsumsi 6,6 juta liter, pada 1978/79, minyak tanah merupakan
hampir separuh jumlah BBM yang disubsidi. Dan subsidi untuk
minyak tanah sendiri tahun anggaran sekarang diperkirakan akan
mencapai Rp 117 milyar, separuh jumlah seluruh subsidi BBM,
dibanding dengan Rp 58 milyar untuk solar dan Rp 16 milyar untuk
diesel. Oleh karena bagian subsidinya paling besar, maka kalau
subsidi ini hendak dihapuskan, berarti kenaikan harga yang
paling besar sebenarnya harus dikenakan untuk minyak tanah.
Tapi menaikkan harga minyak tanah dengan drastis, merupakan
taruhan yang serius yang jelas tak akan dilakukan oleh
pemerintah. Maka kalau kenaikan harga minyak tanah tidak boleh
terlalu besar, bebannya harus digeser pada jenis BBM lainnya,
terutama pada jenis yang sekarang tak mendapat subsidi seperti
kedua jenis bensin, super dan premium.
Pengalaman memang membuktikan bahwa kenaikan harga jenis bahan
ini di masa lalu tidak sampai menimbulkan gejolak harga, karena
harus diakui bahwa komponen biaya pengangkutan dalam struktur
biaya hasil industri memang tidak besar. Tapi dalam suasana yang
masih diliputi psikologi inflasi sesudah Kenop-15, siapa tahu
kali ini ceritanya bisa lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini