Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jika Naik Sebelum April

Pemerintah merencanakan akan menaikkan harga BBM, karena subsidi untuk BBM '78/'79 diperkirakan Rp 711 milyar. Bank Dunia memperkirakan kenaikkan harga 40%, maka beban harus digeser ke jenis BBM lain. (eb)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU benar pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri sebelum 1 April 1979 ini, agaknya pemerintah sudah mengambil satu keputusan yang paling pelik. Sebab kenaikan harga BBM tidak saja merupakan masalah ekonomi. Minyak tanah misalnya yang merupakan salah satu jenis BBM, dikonsumir oleh berjutajuta rakyat berpenghasilan rendah dan juga digunakan oleh banyak industri kecil. Keputusan untuk menaikkan harga BBM ini dengan sendirinya bisa menimbulkan akibat yang luas, apalagi di tengah penyesuaian harga yang sedang berlangsung sesudah devaluasi rupiah 15 Nopember 1978. Di lain pihak, subsidi untuk BBM ini makin besar, dan merupakan beban yang makin berat bagi keuangan pemerintah di hadapan sumber-sumber penerimaan yang mulai terbatas dalam beberapa tahun mendatang ini. Subsidi BBM ini meningkat dari Rp 75 milyar pada 1976/77 menjadi Rp 145 milyar pada 1977/78. Dalam anggaran 1978/79 yang akan berakhir Maret ini, subsidi tersebut diperkirakan akan mencapai Rp 216 milyar. Dalam suatu studi tentang subsidi BBM ini, Dr. Hadi Soesastro dari CSIS memperkirakan seandainya harga BBM ini tidak dinaikkan, maka subsidi ini pada tahun anggaran 1979/80 bisa mencapai Rp 711 milyar. Dalam nilai dollar ini berarti biaya sebesar sekitar US$ 1,2 milyar, atau sekitar seperempat hasil ekspor minyak sendiri. Biaya yang besar ini disebabkan karena konsumsi BsM yang disubsidi di dalam negeri naik makin cepat. Pada 1978/79 ini, konsumsi minyak tanah solar, diesel dan bahan bakar lainnya yang disubsidi akan mencapai 15 juta kiloliter, meningkat 2 juta kiloliter dari konsumsi tahun sebelumnya. Kenaikan yang pesat ini tak bisa diimbangi oleh kenaikan produksi minyak dalam negeri, karena pemerintah harus mengekspor sebagian besar minyaknya ke luar negeri. Akibatnya pemerintah harus mengimpor bahan bakar ini, dan dengan devaluasi rupiah, biaya yang mesti dikeluarkan pemerintah juga melonjak. Bagian Impor pada konsumsi BBM ini kian meningkat: komponen impor ini pada 1976 masih 8%, tapi pada 1977 melonjak menjadi 18%. Argumen untuk menaikkan harga BBM juga didukung Bank Dunia. Dalam laporannya tentang ekonomi Indonesia eperti dimuat koran The Asian Wall street Journal baru-baru ini, Bank Dunia berpendapat pemerintah Indonesia harus secepatnya menaikan harga BBM dalam negeri dan menghapuskan subsidi. Menurut perhitungan Bank Dunia, biaya sebenarnya subsidi ini telah mencapai 2% GNP Indonesia, atau 20% anggaran belanja pembangunan tahun anggaran sampai Maret 1980. Minyak Tanah Terbesar Bank Dunia mengemukakan tiga alternatip kenaikan harga, yang masing-masing dihubungkan dengan tingkat harga minyak di luar negeri. Dianjurkannya cara penyesuaian harga, di mana ongkos produksi, penyulingan dan pemasaran dibebankan kepada konsumen. Tapi konsumen tidak dibebani pajak perseroan yang timbul seandainya minyaknya dijual ke luar negeri. Dengan alternatip ini berarti harga BBM harus naik 40% tahun ini dan 20% lagi tahun depan. Dan tingkat kenaikan sebesar ini nampaknya memang tak jauh berbeda dengan tingkat kenaikan yang diperkirakan akan terjadi. Masalahnya adalah, akibat sosial apakah yang akan timbul bila jutaan rakyat berpenghasilan rendah harus menanggung beban kenaikan sebesar ini? Bank Dunia mengakui risiko semacam ini harus diambil untuk suatu usaha yang disebutnya sebagai "penghematan nasional yang berarti." Bagi mereka yang khawatir akibat kenaikan harga minyak tanah, Bank Dunia menunjuk suatu studi pada 1976 yang menunjukkan bahwa penduduk yang termiskin yang merupakan lapisan 40%, hanya menggunakan 20% dari seluruh minyak tanah yang dikonsumir. Karena itu Bank Dunia berpendapat bahwa pengurangan subsidi tidak akan terasa "sakit" bagi si miskin. Tapi bagaimanapun juga minyak tanah menduduki posisi yang kritis dalam penyesuaian jenis BBM yang disubsidi ini. Dengan jumlah konsumsi 6,6 juta liter, pada 1978/79, minyak tanah merupakan hampir separuh jumlah BBM yang disubsidi. Dan subsidi untuk minyak tanah sendiri tahun anggaran sekarang diperkirakan akan mencapai Rp 117 milyar, separuh jumlah seluruh subsidi BBM, dibanding dengan Rp 58 milyar untuk solar dan Rp 16 milyar untuk diesel. Oleh karena bagian subsidinya paling besar, maka kalau subsidi ini hendak dihapuskan, berarti kenaikan harga yang paling besar sebenarnya harus dikenakan untuk minyak tanah. Tapi menaikkan harga minyak tanah dengan drastis, merupakan taruhan yang serius yang jelas tak akan dilakukan oleh pemerintah. Maka kalau kenaikan harga minyak tanah tidak boleh terlalu besar, bebannya harus digeser pada jenis BBM lainnya, terutama pada jenis yang sekarang tak mendapat subsidi seperti kedua jenis bensin, super dan premium. Pengalaman memang membuktikan bahwa kenaikan harga jenis bahan ini di masa lalu tidak sampai menimbulkan gejolak harga, karena harus diakui bahwa komponen biaya pengangkutan dalam struktur biaya hasil industri memang tidak besar. Tapi dalam suasana yang masih diliputi psikologi inflasi sesudah Kenop-15, siapa tahu kali ini ceritanya bisa lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus