Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggota Ahmadiyah tersebar di 192 kabupaten/kota di 38 provinsi.
Pengikut Ahmadiyah kerap mendapat persekusi akibat fatwa MUI dan surat keputusan bersama tiga menteri.
Kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah berulang terjadi, tapi pengikutnya bertambah terus.
DI Hari Toleransi Sedunia pada 16 November 2024, jemaat Ahmadiyah masih kerap mendapat persekusi dan diskriminasi. Kendati begitu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) eksis dan tersebar hingga ke berbagai pelosok Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bermula pada 1925 di Tapak Tuan, Aceh, Ahmadiyah memperluas benih pahamnya hingga ke wilayah Sumatera Barat dalam kurun satu tahun. Tak butuh waktu lama, gerakan Ahmadiyah masuk ke Pulau Jawa dan mendirikan komunitas, dari Anyer, Kabupaten Serang, Banten, hingga Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Pada 1935, Ahmadiyah menghelat konferensi pertama dengan mendirikan struktur organisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawa Barat menjadi basis terbesar Ahmadiyah dengan jumlah penganut terbanyak di Indonesia. Banyak rumah ibadah mereka berdiri di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya, pada sekitar 1937. Saat itu kelompok JAI hidup berdampingan bersama penganut agama lain secara harmonis dan damai.
Penolakan terhadap JAI muncul pada 1970-an, ketika ajaran Ahmadiyah dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam. Penolakan publik makin keras ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa dalam Musyawarah Nasional II di Jakarta pada 1980, yang diperkuat dengan fatwa serupa pada 28 Juli 2005.
Dalam fatwa bernomor 11/Munas VII/MUI/15/2005 itu, MUI menyatakan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga menyatakan pemerintah wajib melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia, membekukan organisasi, dan menutup semua tempat kegiatannya.
Fatwa itu terbit satu bulan sebelum penyerangan terhadap markas JAI di Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 9 Juli 2005. Saat itu jemaat Ahmadiyah tengah mengadakan Jalsah Salanah atau silaturahmi tahunan Ahmadiyah seluruh dunia. Massa yang datang mendesak acara di Kampus Mubarak tersebut dibubarkan.
Amir Nasional JAI Mirajuddin Syahid mengatakan, secara umum, persekusi dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah memanfaatkan fatwa MUI 2005 tersebut. “Tapi mereka sendiri enggak tahu apa fatwa itu sesat, penjelasannya di sisi apa,” kata Mirajuddin saat ditemui Tempo di Cilandak Timur, Jakarta Selatan, pada 25 September 2024.
Sengkarut ini bertambah parah ketika pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang Ahmadiyah pada 2008. SKB yang diteken Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri itu memerintahkan Ahmadiyah menghentikan kegiatannya. Pemerintah juga meminta masyarakat menjaga dan memelihara kerukunan antar-umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Namun gerakan Ahmadiyah di Indonesia tak padam akibat berbagai persekusi dan pelarangan. Anggota mereka justru makin banyak dan tersebar hingga ke pelbagai pelosok daerah. Berdasarkan data yang dihimpun Pengurus Besar JAI hingga 2024, anggota Ahmadiyah tersebar di 192 kabupaten/kota di 38 provinsi di Tanah Air. Mereka memiliki lebih dari 400 cabang. Wilayah Jawa Barat menjadi basis utama JAI. Di provinsi ini terdapat 27 cabang Ahmadiyah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Advist Khorunikmah dan Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung oleh International Media Support