MAHASISWA diskors dan mereka menggugat ke pengadilan. Kejadian begini memang tidak sering. Apalagi skorsing itu berhubungan langsung dengan kegiatan akademis. Kedua penggugat itu adalah Maghfur dan Ramli Amin, status resminya bekas mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta. Keduanya diskors oleh Rektor UIC Januari 1987. Perkaranya tengah disidangkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Senin pekan ini memasuki masa sidang ketiga. Maghfur, 28 tahun, dan Ramli, 35 tahun, memperkarakan tiga pimpinan universitas swasta di Jalan Pemuda itu sekaligus, yaitu Ketua Umum Yayasan Pembina UIC H.M. Muchlas Rowi, Rektor UIC Prof. Amura, dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Abbas Abdullah. Maghfur dan Ramli masuk Fikom UIC tahun kuliah 1982-1983. Ketika akan diberlakukan sistem SKS (satuan kredit semester), keduanya termasuk mahasiswa dalam masa peralihan. Namun, mereka masuk dalam daftar 18 mahasiswa UIC yang ikut ujian negara sarjana muda, November 1986. Belakangan, Maghfur, Ramli, dan Fiam Mustaming berubah pikiran. Mereka tak ingin menempuh ujian negara itu. "Kalau sudah sistem SKS kan lebih baik ikut ujian negara langsung untuk sarjana," kata Ramli. Apalagi, biaya ujian negara Rp 600 ribu dirasakan berat. Sampai di sini cerita jadi simpang siur. Yang jelas, pada 12 Januari 1987, Rektor UIC menskors ketiga mahasiswa ini dan mencabut hak-hak sebagai mahasiswa Fikom untuk tahun akademis 1987/1988. Maghfur dan Ramli mengaku tak pernah tahu mengapa mereka dihukum. "Dalam SK skorsing itu tidak dijelaskan apa kesalahan kami. Hanya disebutkan menurut hasil beberapa kali rapat," ujar Maghfur. Merasa dirugikan, Ramli dan Maghfur, melalui kantor pengacara Rudy Lontoh dan Denny Kailimang, mengajukan gugatan. Fiam Mustaming tidak ikut. Maghfur menuntut ganti rugi Rp 109 juta, sedangkan Ramli Rp 108 juta. Apa tanggapan UIC? "Kalau sudah begini, nggak bisa damai lagi," ujar Dekan Fikom UIC, Abbas Abdullah. Abbas menyebut justru mereka telah melakukan pelanggaran macam-macam, antara lain batal mengikuti ujian negara. "Alasan mereka mengada-ada. Padahal, nama mereka sudah didaftarkan dan kami sudah mengeluarkan uang," kata Abbas. Yang mengejutkan Abbas, mereka mengajukan usulan sistem SKS untuk UIC. "Mereka menamakan diri sebagai tim perumus, apa itu tidak lancang?" ujar Abbas, bekas Kakanwil Departemen Penerangan DI Aceh. UIC tidak pernah membentuk tim perumus yang anggotanya mahasiswa. Para mahasiswa itu juga menggugat kurikulum UIC dan menelanjangi rahasia fakultas. "Mereka mengatur semuanya seolah-olah sebagai orang yang paling tahu. Padahal, tugas mereka adalah belajar," ujar Abbas. Menurut Abbas, semula ada seorang mahasiswa lagi dalam "kelompok" ini. Namun, setelah keempatnya dipanggil, yang seorang itu minta maaf -- tentu saja tidak ditindak dan kini sudah lulus sarjana. Yang menjengkelkan Abbas lagi, muncul surat pembaca di harian Sinar Pagi dan Terbit yang mengecam Kopertis III dan sistem SKS di UIC. "Saya dituduh tidak tepat duduk sebagai dekan," ujar Abbas. Abbas langsung menuduh surat pembaca itu dibuat Ramli dkk. karena kebetulan Ramli adalah wartawan Terbit. "Siapa lagi? Materinya sama dan tidak ada orang lain yang konflik dengan kami," ujar Abbas. Akhirnya, Dekan Fikom ini mengirim surat ke Rektor UIC dan keluarlah skorsing itu. Namun, Ramli dan Maghfur membantah menulis surat pembaca itu. "Kami tidak pernah menulis semua itu," ujar Ramli. Surat itu memang termasuk "nama dan pengirim diketahui redaksi". Bunga Surawijaya, Sugrahetty Dyan K., dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini