Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tersorotnya gunungan sampah di Depo Kotabaru, Jalan Merbabu, Kota Yogyakarta membuat publik menilai Jogja darurat sampah. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X angkat bicara. Ia menyoroti persoalan sampah yang sempat viral di media sosial. Gunungan sampah di Kotabaru diperkirakan seberat 60 ton. Gunungan sampah tersebut berada di kawasan area cagar budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kemarin kami sudah mencoba melihat kondisi di Kotabaru, kami sudah minta agar (sampah di situ) segera diangkut sehingga tetap bersih,” ujar Sultan Hamengkubuwono X, Selasa 10 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Sultan menghimbau kepada pemerintah kota untuk memprioritaskan kebersihan kawasan dari tumpukan sampah sesuai aturan dan kewenangan yang ada di wilayahnya. Sultan juga meminta warga untuk bersabar karena pengelolaan sampah menggunakan mesin belum bisa direalisasikan.
Tumpukan sampah di Depo Kotabaru adalah imbas dari terbatasnya kapasitas Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Piyungan. Setelah sempat ditutup hingga 5 September 2023, TPA Piyungan kembali beroperasi dengan sistem terbatas.
Tumpukan sampah tak hanya terjadi di Depo Kotabaru, di daerah Gondokusuman, Kota Yogyakarta juga terjadi penumpukan sampah yang berimbas pada warga sekitar. Penumpukan tersebut tepatnya ada di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Jalan Munggur, Gondokusuman. Hal tersebut diamini oleh Kustini, warga sekitar TPS di Jalan Munggur, Gondokusuman. Menurutnya, dulu tempat tersebut hanyalah tempat pembuangan sampah bagi warga RW-nya. “Dulu tempatnya kecil, tapi kok sekarang sampah dari mana-mana dimasukkan ke situ,” kata Kustini.
Menurutnya, dulu kondisi gunungan sampah tidak seperti itu. “Ini karena bak-bak sampah kecil itu sudah ditutup, jadi larinya ke sini semua,” ujarnya. Selain itu, ia menambahkan bahwa pembuang sampah di daerah tersebut ada yang dari daerah Papringan, Caturtunggal, Kabupaten Sleman.
Gunungan sampah tersebut membuatnya resah, apalagi ia berjualan makanan yang hanya berjarak puluhan meter saja dari gunungan sampah. “Dampak penumpukan sampah jadi banyak lalat ijo, apalagi saya jual makanan. Terus itu kalau hujan baunya minta ampun. Kalo ada angin juga bau,” ujarnya. Bahkan, menurutnya, sempat ada pembeli yang tidak jadi beli karena melihat lalat ijo di sekitar warungnya.
Keresahan juga disampaikan oleh Adi, pengawas TPS di Jalan Argolubang, Gondokusuman. Adi sebenarnya adalah petugas Pemeliharaan Taman di Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Namun, sudah seminggu lebih ia ditugaskan untuk mengawasi TPS tersebut. “Kalau ada truk mengangkut, saya foto, lalu dijadikan laporan,” terangnya.
Menurutnya, seluruh TPS di Kota Yogya menggunakan sistem berkala dalam mengelola sampah. “Pengangkutan sampah itu tiga hari kerja dan satu hari libur. Walaupun sudah diangkut tiap hari kerja, sampah tetap numpuk karena TPA Piyungan dibatasi,” ujar Adi. Selama seminggu mengawasi, ia juga mendengar keluhan dari warga sekitar, terutama soal bau sampah.
Terkait usulan sampah, ia mengatakan bahwa solusinya adalah lahan., “Kalau ada lahan mungkin bisa bersih. Dulu tidak seperti ini, bebas dibuang ke Piyungan. Sekarang 3 hari dibatasi.” ujarnya. Ia mengatakan bahwa tenaga untuk mengangkut sampah sudah cukup, hanya lahan pengelolaan yang kurang.
Adi pun menyinggung soal sampah di Depo Kotabaru. “Memang sampah (Depo Kotabaru) diambil, tapi sampah tersebut dipindah ke kantor DLH Kota Yogyakarta dulu. Sekarang masih ada beberapa truk sampah kotabaru di kantor DLH Kota Yogyakarta,” ujarnya.
ANANDA RIDHO SULISTYA I PRIBADI WICAKSONO