Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalau gubernur itu masih ABRI

Rencana penggantian gub. sul-ut willy lasut & gub. sul-teng moenarfie oleh presiden memang ada, hanya sk-nya belum keluar. sebagai prajurit, mereka harus selalu siap untuk diangkat/diganti tanpa diberitahu.(nas)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN wajah cerah dan langkah cepat, Sabtu siang pekan lalu, Amirmachmud memasuki mobilnya. Tapi Menteri Dalam Negeri itu dengan bicara mengenai rencana penggeseran Gubernur Sulawesi Utara Willy Lasut dan Sulawesi Tengah Moenafrie, yang sampai akhir pekan lalu masih menjadi teka-teki (TEMPO 29 September). "Siapa bilang mereka akan ditarik? Saya tidak bilang begitu. Pokoknya semua kepala daerah dinilai," ujarnya cepat. "Kalau memang diberhentikan, kan sudah ada SK-nya," tambahnya. Willy Lasut sendiri sampai Sabtu malam pekan lalu juga enggan bicara banyak. Sebelumnya Willy malah bilang tidak akan pulang ke Manado sebelum mendapat kejelasan dari Jakarta. Sedang Moenafrie yang menginap di Hotel Indonesia Sheraton malah bertanya: "Apa sudah melihat SK pemberhentian saya?" Jangan tanya saya, saya kan orang daerah. Soal ini kan ditentukan di sini di Jakarta," katanya lewat telepon. Moenafrie tampaknya benar. Tapi teka-teki itu setidaknya mulai terpecahkan justru di daerah, yaitu ketika harian Suluh Merdeka (Manado) edisi 27 September lalu menurunkan keterangan Pangdam XIII/Merdeka Brigjen Rudini sebagai berita utama. "Keputusan penggantian Gubernur Sul-Ut sudah ditandatangani Presiden. Dan keputusan Presiden ini harus sama-sama kita amankan," tulis Suluh Merdeka mengutip Rudini. Karena itu Panglima juga minta "agar masyarakat tetap tenang dan jangan memberikan komentar yang seolah-olah menentang keputusan Presiden tersebut." Di Jakarta sementara itu sumber Depdagri menyebut "kedua gubernur tersebut dalam proses penarikan oleh Departemen Hankam." Yang jelas, menurut Irjen Depdagri Eddy Sabara, "kedua kasus itu kan sudah di tangan Presiden." Hal itu diperkuat oleh sebuah sumber yang biasanya sangat mengetahui: "99,99% memang pasti kedua gubernur itu akan diganti, hanya SK-nya memang belum ada." Sumber itu menandaskan bahwa penggantian gubernur itu dilakukan tanpa menyalahi prosedur perundang-undangan. DALAM UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah pasal 21 disebutkan gubernur berhenti atau diberhentikan oleh pejabat yang berhak mengangkat, yaitu Presiden. Dengan sebab-sebab: meninggal, permintaan sendiri, masa jabatannya berakhir, melanggar sumpah jabatan, tidak lagi memenuhi persyaratan, melanggar ketentuan-ketennlan dan sebab-sebab lain. "Tampaknya penggantian kedua gubernur itu dengan alasan sebab-sebab lain itulah," tambah sumber tersebut. Apalagi jika dikaitkan bahwa baik Willy Lasut maupun Moenafrie, keduanya anggota ABRI yang "setiap saat harus siap menerima tugas-tugas lain." Sebab seperti dikatakan Ketua DPR\MPR Daryatmo ketika menerima delegasi Angkatan Muda Sul-Ut pekan lalu, Willy Lasut juga berada di bawah pembinaan Dewan Kekaryaan Wilayah III yang diketuai oleh Pangkowilhan III Laksuwil, Letjen Leo Lopulissa. Dan rencana penarikan kembali itu tampaknya juga dapat dikaitkan dengan instruksi Menhankam/Pangab akhir Desember tahun lalu tentang penilaian terhadap para karyawan ABRI, khususnya yang ditugaskan sebagai gubernur. Sejak itu, tampaknya para Pangkowilhan mulai menyorot. Willy Lasut misalnya, menurut Sumber TEMPO, antara lain disorot mengenai tata-niaga cengkeh selama periode sebelum jabatannya dengan membentuk tim khusus, di tengah penilaian sementara pihak bahwa tindakan ini sama dengan mengungkit-ungkit persoalan yang telah dianggap selesai. Misalnya pemeriksaan uang Sumbangan Retribus Cengkeh (SRC) dan denda cengkeh serta penggunaannya (1977-1978). Dengan begitu, Willy dianggap merongrong kewibawaan atasan, dalam hal ini Opstibpus yang dikatakan sudah menyelesaikannya dua tahun lalu. Kepemimpinan Willy juga dikritik sebagai kurang tegas. Sikapnya terlalu "formal dan kaku", juga "kurang kreatif". Kerjasamanya dengan Muspida dinilai kurang serasi, sementara dalam hal dwifungsi ABRI tidak mencerminkan kepeloporan. Penilaian terhadap Moenafrie lebih berat. Sumber TEMPO menyebut antara lain bahwa kerawanan di Sul-Teng bersumber pada kepemimpinannya, dan cara hidup. Pertentangannya yang cukup meruncing dengan Sekwilda B.L. Salata sudah umum diketahui dan terkadang terbuka. Selain dinilai tidak serasi dengan para pejabat teras, Moenafri juga dianggap kurang menanggapi permintaan pembiayaan bagi kegiatan DPD Golkar di sana. Tentu saja baik Willy maupun Moenafrie berhak menangkis kritik-kritik itu. Willy sendiri menyusun laporan kepada Presiden, 17 September lalu. Mengenai masalah cengkeh, ia katanya tidak bermaksud mengungkit masa lalu, tapi justru melaksanakan Keppres 50/1976 tentang keharusan pembelian cengkeh lewat koperasi dan Keppres 58/1977 tentang SRC. "Saya tidak mengungkit masalah lama yang sudah digarap tim Opstibpus dulu. Yang hendak saya tertibkan hanyalah yang mungkin terjadi sejak saya diangkat bulan Juni 1978," kata Willy pekan lalu. Tapi sebagai gambaran adanya penyelewengan di masa lalu, ia juga menghitung jumlah uang yang mestinya masuk kas Pemda. MENURUT perhitungan, mestiya bisa masuk sekitar Rp 6 milyar. Ternyata yang ada cuma sekitar Rp 3,400 milyar. Lalu ke mana sisanya?" katanya lagi. "Tapi saya toh tidak mengungkit-ungkit sisanya itu. Yang sudah sudahlah. Tapi dalam masa jabatan saya sekarang, hal itu jangan terjadi lagi," tambahnya. Para gubernur yang berasal dari ABRI seperti halnya Willy dan Moenafrie, secara formal bertanggungjawab seeara hirarkis kepada Presiden melalui Mendagri--seperti diatur dalam UU No. 5/74. Tapi juga umum diketahui bahwa ia tak dapat melepaskan begitu saja kedudukannya sehagai karyawan ABRI dan kepala daerah. Seperti kata Ketua DPR-MPR Daryatmo, selain sebagai gubenur yang merupakan alat Pemerintah pusat di daerah, juga sebagai kepala daerah yang harus memperjuangkan aspirasi daerah. Sebagai karyawan ABRI, ia juga masih harus bertanggungjawab kepada induknya. Meskipun menurut UU, gubernur tidak hertanggungjawab kepada DPRD (tapi wajib memberi keterangan pertanggunganjawab kepada lembaga tersebut), menurut Daryatmo, "penggantian gubernur sebaiknya juga dimusyawarakan dulu dengan para wakil rakyat di daerah." Tapi rupanya tak selalu harus demikian. Seusai melantik Bddy Sabara yang masih merangkap Irjen Depdagri sebagai Pjs Gubernur Jambi pekan lalu, Mendagri Amirmachmud menyatakan: "Dalam kasus tertentu, kalau dianggap perlu, demi kepentingan nasional yang lebih besar, bisa saja DPRD dilewati. Itu hak prerogatif Presiden." Amirmachmud menolak pendapat bahwa jika seorang gubernur berasal dari ABRI, ia juga bertanggungjawab kepada Menhankam. "Gubernur hanva bertanggungjawab kepada Presiden melalui Mendagri. Kalau juga bertanggungjawab kepada Menhankam, karena ia berasal dari ABRI, itu kan kembali-ke zaman dulu," katanya. Maksud Mendagri dulu ketika banyak gubernur berasal dari parpol, mereka juga melapor kepada parpol. Maka kalau gubernur asal ABRI juga harus bertanggungjawab kepada Hankam sebagai "semacam DPP"-nya, itu sama saja dengan kembali ke masa lampau. Tapi Amirmachmud juga tidak menolak kemungkinan untuk menerima saran atau usul dari pihak Hankam. "Habis, kan Hankam yang punya orang. Kita kan cuma pinjam saja. Kalau yang punya menganggap orangnya kurang memadai kemudian ditarik, bagaimana?" katanya lagi. Dengan kata lain, seperti pernah dinyatakan oleh Ka Puspen Hankam Brigjen Goenarso S, "Hankam punya kewajiban moral untuk menilai karyawannya." Barangkali memahami adanya 'kewajiban moral' itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Djadil Abdullah berkata "Saya berprasangka baik, bahwa Menhankam pasti telah mengkonsultasikannya, dengan Mendagri dan Presiden." Tapi Wakil Ketua Komisi II yang lain, Sabam Sirait, beranggapan bahwa secara formal peranan Hankam tidak ada dalam UU No. 5/74. "Departemen Hankam berkedudukan sama dengan departemen lain dalam 'menghubungi' gubernur yaitu lewat Depdagri," katanya. Kalaupun mau dinilai, menurut Sabam, yang berhak melakukannya adalah DPRD sebagai wakil rakyat yang memilihnya dan Presiden yang mengangkatnya. Dalam hal gubernur asal ABRI, karena sudah dipilih rakyat, kata Saban "merupakar sumbangan ABRI untuk rakyat dan jangan dilihat sebagai alat mengukuhkan kekuasaan." Dan meskipun sang gubernur masih aktif sebagai ABRI pun, bagi Sabam, "ia tidak lagi berfungsi sebagai ABRI." Kalaupun Menhankam masih hendak menilai "harus disalurkan melalui Presiden atau Mendagri." Di antara 27 gubernur dan kepala daerah sekarang, hanya 8 orang yang sipil. Mereka itu: A. Madjid Ibrahim (Aceh), Djamaluddin Tambunan (Jambi, dalam proses penggantian), Soeprapto Bengkulu), Sri Sultan Hamengku Buwono IX (DIY), Ida Bagus Mantra (Bali), Willy Annania Gara (Kal-Teng), Abdullah Silondae (Sul-Teng), Guilherme Maria Goncalves (Tim-Tim). Ketua DPRD Ja-Tim Brigjen Blegoh Sumarto tampaknya tidak sependapat bahwa dalam "kasus tertentu, untuk kepentingan nasional, DPRD bisa dilewati." Bila seorang gubernur hendak diganti, menurut Blegoh, "memang DPRD harus diberitahu dulu mengapa kepala daerahnya ditarik, sebab DPRD-lah yang paling tahu mampu-tidaknya kepala daerah." Tapi kalau pihak lain yang lebihdulu tahu? "Ya mestinya juga harus diberitahukan kepada DPRD," jawab Blegoh. Dan kalau penarikan itu dengan alasan tidak mampu mengemban tugas, Blegoh berharap hendaknya ada kesamaan penilaian antara Mendagri dan DPRD. "Kalau masing-masing jujur kan tidak mungkin ada perbedaan. Kriterianya kan sudah ada dalam undang-undang," tambah Blegoh lagi. Beberapa anggota DPRD di beberapa daerah, umumnya sependapat dengan Blegoh. Penarikan seorang gubernur tanpa memberitahu DPRL), bagi Ghazali Amna (DPRD Aceh ) "merupakan keganjilan." Sementara rekannya, Teuku Thaib Ali, mengkhawatirkannya sebagai preseden tak baik. "Seharusnya DPRD dulu yang dimintai pendapat, baru instansi lain," kata ilasan Basri Batubara (DPRD Sumatera Utara Sofwan Sahlan (DPRD Ja-Teng) malah lebih dari itu: "setelah mendapat persetujuan DPRD, pemberhentian seorang gubernur boleh disahkan." Peranan kontrol DPRD, bagi Ketut Wijana (DPRD Bali), hanya menyangkut soal-soal daerah. "Sedang soal-soal Pusat, DPRD hanya memberi saran saja, tambahnya. Mahmud Pasya (DPRD Ja-Bar) setuju. "Kan soal daerah, hanya kalangan daerah pula yang tahu," katanya. A.J. Wuisan, ketua DPRD Sul-Ut juga sependapat. "Yang harus menilai kepemimpinan gubernur adalah daerah bukan pusat," katanya. Secara formal, pemilihan/pencalonan itu memang menuruti aturan dalam UU No. 5/74: DPRD memilih 3 sampai 5 calon lalu mengajukannya kepada Presiden lewat Mendagri. Di antara para calon, terdapat seorang yang sudah 'direstui' oleh para pejabat tinggi di daerah. Sementara itu, Presiden dengan hak prerogatifnya, berhak mengangkat seorang di antara mereka. Itu pun, pengangkatannya tidak selalu berdasarkan suara terbanyak yang didapat oleh seorang calon. Dan dalam pengunduran seorang gubernur, ternyata Willy Lasut dan Moenafrie ada pendahulunya Brigjen Acub Zaenal yang jadi Gubernur Irian Jaya dari Juni 1973 sampai April 1975. "Yang dialami Lasut sekarang, juga pernah saya alami," katanya: Maksudnya diganti sebelum habis masa jabatan. Dan Acub menambahkan, ia tidak diberitahu kesalahannya sampai sekarang. lungkin itulah sebabnya ada saran agar gubernur yang ditarik kembali diberi kesempatan mengetahui kesalahannya. Supaya jahgan terulang, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Tentu saja harus diingat, bahwa tak semua orang mau diberitahu kesalahannya, dan mengakui. Dalam hal bahwa seorang gubernur berasal dari ABRI, ada pendapat yang menghubungkannya dengan gaya kepemimpinan Menhankam Jenderal M Jusuf. Jusuf tampaknya menghendaki agar pencalonan dan penggeseran gubernur (yang karyawan ABRI) juga dilakukan seperti halnya cara alih-tugas di lingkungan Hankam. Yaitu agar mereka selalu siap setiap saat. "Pokoknya sekali prajurit tetap prajurit," kata Ka Puspen Hankam Goenarso. "Jadi tak usah yane bersangkutan diberitahu dulu, tidak perlu ditawar-tawar seperti jual-beli barang di Glodok ...., " tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus