DENGAN wajah cerah dan langkah cepat, Sabtu siang pekan lalu,
Amirmachmud memasuki mobilnya. Tapi Menteri Dalam Negeri itu
dengan bicara mengenai rencana penggeseran Gubernur Sulawesi
Utara Willy Lasut dan Sulawesi Tengah Moenafrie, yang sampai
akhir pekan lalu masih menjadi teka-teki (TEMPO 29 September).
"Siapa bilang mereka akan ditarik? Saya tidak bilang begitu.
Pokoknya semua kepala daerah dinilai," ujarnya cepat. "Kalau
memang diberhentikan, kan sudah ada SK-nya," tambahnya. Willy
Lasut sendiri sampai Sabtu malam pekan lalu juga enggan bicara
banyak.
Sebelumnya Willy malah bilang tidak akan pulang ke Manado
sebelum mendapat kejelasan dari Jakarta. Sedang Moenafrie yang
menginap di Hotel Indonesia Sheraton malah bertanya: "Apa
sudah melihat SK pemberhentian saya?" Jangan tanya saya, saya
kan orang daerah. Soal ini kan ditentukan di sini di Jakarta,"
katanya lewat telepon.
Moenafrie tampaknya benar. Tapi teka-teki itu setidaknya mulai
terpecahkan justru di daerah, yaitu ketika harian Suluh Merdeka
(Manado) edisi 27 September lalu menurunkan keterangan Pangdam
XIII/Merdeka Brigjen Rudini sebagai berita utama. "Keputusan
penggantian Gubernur Sul-Ut sudah ditandatangani Presiden. Dan
keputusan Presiden ini harus sama-sama kita amankan," tulis
Suluh Merdeka mengutip Rudini.
Karena itu Panglima juga minta "agar masyarakat tetap tenang dan
jangan memberikan komentar yang seolah-olah menentang keputusan
Presiden tersebut." Di Jakarta sementara itu sumber Depdagri
menyebut "kedua gubernur tersebut dalam proses penarikan oleh
Departemen Hankam."
Yang jelas, menurut Irjen Depdagri Eddy Sabara, "kedua kasus
itu kan sudah di tangan Presiden." Hal itu diperkuat oleh sebuah
sumber yang biasanya sangat mengetahui: "99,99% memang pasti
kedua gubernur itu akan diganti, hanya SK-nya memang belum ada."
Sumber itu menandaskan bahwa penggantian gubernur itu dilakukan
tanpa menyalahi prosedur perundang-undangan.
DALAM UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah
pasal 21 disebutkan gubernur berhenti atau diberhentikan oleh
pejabat yang berhak mengangkat, yaitu Presiden. Dengan
sebab-sebab: meninggal, permintaan sendiri, masa jabatannya
berakhir, melanggar sumpah jabatan, tidak lagi memenuhi
persyaratan, melanggar ketentuan-ketennlan dan sebab-sebab lain.
"Tampaknya penggantian kedua gubernur itu dengan alasan
sebab-sebab lain itulah," tambah sumber tersebut. Apalagi jika
dikaitkan bahwa baik Willy Lasut maupun Moenafrie, keduanya
anggota ABRI yang "setiap saat harus siap menerima tugas-tugas
lain."
Sebab seperti dikatakan Ketua DPR\MPR Daryatmo ketika menerima
delegasi Angkatan Muda Sul-Ut pekan lalu, Willy Lasut juga
berada di bawah pembinaan Dewan Kekaryaan Wilayah III yang
diketuai oleh Pangkowilhan III Laksuwil, Letjen Leo Lopulissa.
Dan rencana penarikan kembali itu tampaknya juga dapat dikaitkan
dengan instruksi Menhankam/Pangab akhir Desember tahun lalu
tentang penilaian terhadap para karyawan ABRI, khususnya yang
ditugaskan sebagai gubernur. Sejak itu, tampaknya para
Pangkowilhan mulai menyorot.
Willy Lasut misalnya, menurut Sumber TEMPO, antara lain disorot
mengenai tata-niaga cengkeh selama periode sebelum jabatannya
dengan membentuk tim khusus, di tengah penilaian sementara
pihak bahwa tindakan ini sama dengan mengungkit-ungkit
persoalan yang telah dianggap selesai. Misalnya pemeriksaan uang
Sumbangan Retribus Cengkeh (SRC) dan denda cengkeh serta
penggunaannya (1977-1978). Dengan begitu, Willy dianggap
merongrong kewibawaan atasan, dalam hal ini Opstibpus yang
dikatakan sudah menyelesaikannya dua tahun lalu.
Kepemimpinan Willy juga dikritik sebagai kurang tegas. Sikapnya
terlalu "formal dan kaku", juga "kurang kreatif". Kerjasamanya
dengan Muspida dinilai kurang serasi, sementara dalam hal
dwifungsi ABRI tidak mencerminkan kepeloporan.
Penilaian terhadap Moenafrie lebih berat. Sumber TEMPO menyebut
antara lain bahwa kerawanan di Sul-Teng bersumber pada
kepemimpinannya, dan cara hidup. Pertentangannya yang cukup
meruncing dengan Sekwilda B.L. Salata sudah umum diketahui dan
terkadang terbuka.
Selain dinilai tidak serasi dengan para pejabat teras, Moenafri
juga dianggap kurang menanggapi permintaan pembiayaan bagi
kegiatan DPD Golkar di sana.
Tentu saja baik Willy maupun Moenafrie berhak menangkis
kritik-kritik itu. Willy sendiri menyusun laporan kepada
Presiden, 17 September lalu.
Mengenai masalah cengkeh, ia katanya tidak bermaksud mengungkit
masa lalu, tapi justru melaksanakan Keppres 50/1976 tentang
keharusan pembelian cengkeh lewat koperasi dan Keppres 58/1977
tentang SRC.
"Saya tidak mengungkit masalah lama yang sudah digarap tim
Opstibpus dulu. Yang hendak saya tertibkan hanyalah yang mungkin
terjadi sejak saya diangkat bulan Juni 1978," kata Willy pekan
lalu. Tapi sebagai gambaran adanya penyelewengan di masa lalu,
ia juga menghitung jumlah uang yang mestinya masuk kas Pemda.
MENURUT perhitungan, mestiya bisa masuk sekitar Rp 6 milyar.
Ternyata yang ada cuma sekitar Rp 3,400 milyar. Lalu ke mana
sisanya?" katanya lagi. "Tapi saya toh tidak mengungkit-ungkit
sisanya itu. Yang sudah sudahlah. Tapi dalam masa jabatan saya
sekarang, hal itu jangan terjadi lagi," tambahnya.
Para gubernur yang berasal dari ABRI seperti halnya Willy dan
Moenafrie, secara formal bertanggungjawab seeara hirarkis kepada
Presiden melalui Mendagri--seperti diatur dalam UU No. 5/74.
Tapi juga umum diketahui bahwa ia tak dapat melepaskan begitu
saja kedudukannya sehagai karyawan ABRI dan kepala daerah.
Seperti kata Ketua DPR-MPR Daryatmo, selain sebagai gubenur
yang merupakan alat Pemerintah pusat di daerah, juga sebagai
kepala daerah yang harus memperjuangkan aspirasi daerah. Sebagai
karyawan ABRI, ia juga masih harus bertanggungjawab kepada
induknya.
Meskipun menurut UU, gubernur tidak hertanggungjawab kepada
DPRD (tapi wajib memberi keterangan pertanggunganjawab kepada
lembaga tersebut), menurut Daryatmo, "penggantian gubernur
sebaiknya juga dimusyawarakan dulu dengan para wakil rakyat di
daerah."
Tapi rupanya tak selalu harus demikian. Seusai melantik Bddy
Sabara yang masih merangkap Irjen Depdagri sebagai Pjs Gubernur
Jambi pekan lalu, Mendagri Amirmachmud menyatakan: "Dalam kasus
tertentu, kalau dianggap perlu, demi kepentingan nasional yang
lebih besar, bisa saja DPRD dilewati. Itu hak prerogatif
Presiden."
Amirmachmud menolak pendapat bahwa jika seorang gubernur berasal
dari ABRI, ia juga bertanggungjawab kepada Menhankam. "Gubernur
hanva bertanggungjawab kepada Presiden melalui Mendagri. Kalau
juga bertanggungjawab kepada Menhankam, karena ia berasal dari
ABRI, itu kan kembali-ke zaman dulu," katanya.
Maksud Mendagri dulu ketika banyak gubernur berasal dari parpol,
mereka juga melapor kepada parpol. Maka kalau gubernur asal ABRI
juga harus bertanggungjawab kepada Hankam sebagai "semacam
DPP"-nya, itu sama saja dengan kembali ke masa lampau.
Tapi Amirmachmud juga tidak menolak kemungkinan untuk menerima
saran atau usul dari pihak Hankam. "Habis, kan Hankam yang punya
orang. Kita kan cuma pinjam saja. Kalau yang punya menganggap
orangnya kurang memadai kemudian ditarik, bagaimana?" katanya
lagi.
Dengan kata lain, seperti pernah dinyatakan oleh Ka Puspen
Hankam Brigjen Goenarso S, "Hankam punya kewajiban moral untuk
menilai karyawannya." Barangkali memahami adanya 'kewajiban
moral' itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Djadil Abdullah berkata
"Saya berprasangka baik, bahwa Menhankam pasti telah
mengkonsultasikannya, dengan Mendagri dan Presiden."
Tapi Wakil Ketua Komisi II yang lain, Sabam Sirait, beranggapan
bahwa secara formal peranan Hankam tidak ada dalam UU No. 5/74.
"Departemen Hankam berkedudukan sama dengan departemen lain
dalam 'menghubungi' gubernur yaitu lewat Depdagri," katanya.
Kalaupun mau dinilai, menurut Sabam, yang berhak melakukannya
adalah DPRD sebagai wakil rakyat yang memilihnya dan Presiden
yang mengangkatnya.
Dalam hal gubernur asal ABRI, karena sudah dipilih rakyat, kata
Saban "merupakar sumbangan ABRI untuk rakyat dan jangan
dilihat sebagai alat mengukuhkan kekuasaan." Dan meskipun sang
gubernur masih aktif sebagai ABRI pun, bagi Sabam, "ia tidak
lagi berfungsi sebagai ABRI." Kalaupun Menhankam masih hendak
menilai "harus disalurkan melalui Presiden atau Mendagri."
Di antara 27 gubernur dan kepala daerah sekarang, hanya 8 orang
yang sipil. Mereka itu: A. Madjid Ibrahim (Aceh), Djamaluddin
Tambunan (Jambi, dalam proses penggantian), Soeprapto Bengkulu),
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (DIY), Ida Bagus Mantra (Bali),
Willy Annania Gara (Kal-Teng), Abdullah Silondae (Sul-Teng),
Guilherme Maria Goncalves (Tim-Tim).
Ketua DPRD Ja-Tim Brigjen Blegoh Sumarto tampaknya tidak
sependapat bahwa dalam "kasus tertentu, untuk kepentingan
nasional, DPRD bisa dilewati."
Bila seorang gubernur hendak diganti, menurut Blegoh, "memang
DPRD harus diberitahu dulu mengapa kepala daerahnya ditarik,
sebab DPRD-lah yang paling tahu mampu-tidaknya kepala daerah."
Tapi kalau pihak lain yang lebihdulu tahu? "Ya mestinya juga
harus diberitahukan kepada DPRD," jawab Blegoh.
Dan kalau penarikan itu dengan alasan tidak mampu mengemban
tugas, Blegoh berharap hendaknya ada kesamaan penilaian antara
Mendagri dan DPRD. "Kalau masing-masing jujur kan tidak mungkin
ada perbedaan. Kriterianya kan sudah ada dalam undang-undang,"
tambah Blegoh lagi.
Beberapa anggota DPRD di beberapa daerah, umumnya sependapat
dengan Blegoh. Penarikan seorang gubernur tanpa memberitahu
DPRL), bagi Ghazali Amna (DPRD Aceh ) "merupakan keganjilan."
Sementara rekannya, Teuku Thaib Ali, mengkhawatirkannya sebagai
preseden tak baik.
"Seharusnya DPRD dulu yang dimintai pendapat, baru instansi
lain," kata ilasan Basri Batubara (DPRD Sumatera Utara Sofwan
Sahlan (DPRD Ja-Teng) malah lebih dari itu: "setelah mendapat
persetujuan DPRD, pemberhentian seorang gubernur boleh
disahkan."
Peranan kontrol DPRD, bagi Ketut Wijana (DPRD Bali), hanya
menyangkut soal-soal daerah. "Sedang soal-soal Pusat, DPRD hanya
memberi saran saja, tambahnya. Mahmud Pasya (DPRD Ja-Bar)
setuju. "Kan soal daerah, hanya kalangan daerah pula yang tahu,"
katanya. A.J. Wuisan, ketua DPRD Sul-Ut juga sependapat. "Yang
harus menilai kepemimpinan gubernur adalah daerah bukan pusat,"
katanya.
Secara formal, pemilihan/pencalonan itu memang menuruti aturan
dalam UU No. 5/74: DPRD memilih 3 sampai 5 calon lalu
mengajukannya kepada Presiden lewat Mendagri. Di antara para
calon, terdapat seorang yang sudah 'direstui' oleh para pejabat
tinggi di daerah.
Sementara itu, Presiden dengan hak prerogatifnya, berhak
mengangkat seorang di antara mereka. Itu pun, pengangkatannya
tidak selalu berdasarkan suara terbanyak yang didapat oleh
seorang calon.
Dan dalam pengunduran seorang gubernur, ternyata Willy Lasut dan
Moenafrie ada pendahulunya Brigjen Acub Zaenal yang jadi
Gubernur Irian Jaya dari Juni 1973 sampai April 1975. "Yang
dialami Lasut sekarang, juga pernah saya alami," katanya:
Maksudnya diganti sebelum habis masa jabatan. Dan Acub
menambahkan, ia tidak diberitahu kesalahannya sampai sekarang.
lungkin itulah sebabnya ada saran agar gubernur yang ditarik
kembali diberi kesempatan mengetahui kesalahannya. Supaya jahgan
terulang, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Tentu saja harus diingat, bahwa tak semua orang mau diberitahu
kesalahannya, dan mengakui.
Dalam hal bahwa seorang gubernur berasal dari ABRI, ada pendapat
yang menghubungkannya dengan gaya kepemimpinan Menhankam
Jenderal M Jusuf. Jusuf tampaknya menghendaki agar pencalonan
dan penggeseran gubernur (yang karyawan ABRI) juga dilakukan
seperti halnya cara alih-tugas di lingkungan Hankam. Yaitu agar
mereka selalu siap setiap saat. "Pokoknya sekali prajurit tetap
prajurit," kata Ka Puspen Hankam Goenarso. "Jadi tak usah yane
bersangkutan diberitahu dulu, tidak perlu ditawar-tawar seperti
jual-beli barang di Glodok ...., " tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini