Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 18 Februari 23 tahun yang lalu, Kota Sampit di Kalimantan Tengah Indonesia menjadi saksi dari salah satu episode tergelap dalam sejarah kekerasan antar etnis dalam peristiwa Kerusuhan Sampit.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 18 Februari 2001, memunculkan ketegangan antara kelompok etnis Dayak dan Madura yang berujung pada bentrokan yang mengerikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik antaretnis di Sampit terjadi pada awal tahun 2001 dan berlangsung selama beberapa bulan. Sengketa awalnya berasal dari konflik tanah dan sumber daya alam antara suku Dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan dengan para pendatang suku Madura yang datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan. Kondisi ekonomi yang sulit dan persaingan atas sumber daya alam memicu ketegangan antara kedua kelompok ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kilas Balik Tragedi Sampit
Dilansir dari Majalah Tempo edisi 29 April 2001, konflik ini menyebabkan lebih dari 500 orang meninggal dengan lebih dari 100.000 penduduk Madura kehilangan tempat tinggal di Kalimantan.
Pada malam hari di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, tepatnya pada Minggu dini hari tanggal 18 Februari 2001 pukul 01.00 WIB, sekelompok penduduk Dayak menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo di Jalan Padat Karya. Empat orang tewas dan satu orang mengalami luka serius dalam kejadian tersebut, semuanya adalah warga Madura.
Serangan yang diduga sebagai tindakan balas dendam itu mendapat perlawanan. Pagi tanggal 18 Februari pukul 08.00 WIB, sejumlah warga Madura mendatangi rumah seorang penduduk Dayak bernama Timil yang diduga menyembunyikan salah satu pelaku serangan.
Timil berhasil diamankan oleh polisi, tetapi warga Madura yang tidak puas langsung membakar rumahnya. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat dari penduduk Dayak dan menewaskan 3 orang.
Tidak lama setelah kejadian tersebut, tepatnya pukul 12.00 WIB, pasukan Brimob Polda Kalimantan Selatan sebanyak 103 personel dengan kendali BKO Polda Kalteng tiba di Sampit. Puluhan tersangka beserta barang bukti senjata tajam dibawa ke Mapolda Kalteng di Palangka Raya. Namun, situasi tetap tidak kondusif.
Pada keesokan harinya, Senin, 19 Februari, banyak jasad ditemukan tergeletak di berbagai sudut kota Sampit. Aksi penyerangan rumah dan pembakaran kendaraan juga terjadi. Wakil Gubernur Kalteng mengirimkan bantuan 276 personel TNI dari Yonif 631/ATG ke Sampit pada malam itu.
Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001, situasi konflik semakin tegang di Kota Sampit. Selama dua hari setelah serangan terhadap rumah Matayo, warga Madura berhasil menguasai kota, bahkan melakukan penjelajahan di permukiman warga Dayak.
Namun, pada tanggal 20 Februari 2001, situasi berubah ketika sejumlah besar warga Dayak dari luar kota datang ke Sampit. Warga Dayak dari berbagai daerah di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, dan bahkan Barito, tiba di kota melalui Sungai Mentaya dekat pelabuhan.
Ratusan warga Dayak menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, yang merupakan pusat permukiman warga Madura. Mereka berhasil melawan balik warga Madura yang berkumpul di berbagai titik di Sampit. Akibatnya, kerusuhan Sampit pun menjalari segenap kota itu.
MAJALAH TEMPO
Pilihan editor: Pengungsi Kerusuhan Sampit di Lumajang Hidup Memprihatinkan