Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan muncul wacana agar prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) diperbolehkan kembali terlibat di dalam kegiatan bisnis. Sebelum dilarang berdasarkan Undang-undang atau UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, militer Indonesia memang sempat memiliki dwifungsi, penjaga pertahanan negara dan menjalankan usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan prajurit diizinkan berbisnis ini telah didesuskan ke Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan terkait revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Mereka meminta agar Pasal 39 huruf c UU yang berisi larangan tersebut dihapus. Dengan demikian tentara bisa berbisnis lagi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sarankan ini (Pasal 39 UU TNI huruf c) dibuang. Mestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis. Tapi kalau prajurit, orang mau buka warung aja endak (tidak boleh),” ujar Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, pada Kamis, 11 Juli 2024.
Keterlibatan militer dalam bisnis sebelum dilarang ternyata sudah berlaku sejak awal kemerdekaan. Termasuk pada era 1945-1949, di mana militer berbisnis untuk perjuangan meraih kemerdekaan. Saat itu, salah satu alasan utamanya adalah untuk mendapatkan dana tambahan bagi ketentaraan.
Berdasarkan studi pada 2007 oleh Jaleswari Pramodhawardani dan Lex Rieffel berjudul Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, di era awal kemerdekaan itu, setiap unit perlawanan Indonesia harus menemukan sumber pendapatan mandiri untuk membiayai operasi militer melawan Belanda. Fenomena ini berlanjut hingga akhir 1950-an.
“Masuknya militer ke dalam dunia bisnis setelah Indonesia merdeka merupakan manifestasi ide ‘jalan tengah’ yang dilontarkan Jenderal AH Nasution pada 1958,” tulis laporan tersebut.
Keterlibatan militer dalam bisnis makin nyata ketika perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi, dengan penempatan pejabat-pejabat militer di posisi strategis dalam perusahaan tersebut. Kala itu, di bawah UU Darurat Perang, tentara tidak hanya berhasil meningkatkan perannya di bidang politik, tetapi juga ekonomi.
Bahkan jauh sebelum 1958, TNI yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat atau BKR, sudah menunjukkan berbagai aktivitas bisnisnya. Sejak konsolidasi organisasi angkatan bersenjata menjelang 1950, BKR sudah diharuskan mencari dukungan logistik secara mandiri dan terlepas dari markas besar.
Indria Samego dalam buku Bila ABRI Berbisnis (1998) mengungkapkan, bisnis di lingkungan militer awalnya memang hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasional yang tidak terdukung secara layak oleh pemerintah. Namun dalam perjalanannya, keterlibatan militer dalam bisnis kian berkembang.
Bahkan pada masa Orde Baru, hubungan tentara dan bisnis makin terimplementasi secara lebih luas. Tak satu pun sektor produksi dan usaha nasional penting yang tidak tersentuh jaringan bisnis tentara, baik secara individual maupun institusional. Lewat slogan dwifungsi ABRI, tentara melirik lahan-lahan basah guna mencengkeram ekonomi Indonesia.
Tidak mengherankan jika pada masa Presiden Soeharto itu, tentara aktif maupun pensiunan tersebar menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan swasta hingga BUMN. Bukan rahasia lagi bahwa perusahaan milik negara seperti PT Berdikari, Badan Urusan Logistik hingga Pertamina, dimanfaatkan sebagai lumbung duit pendanaan militer.
Di era Orde Baru itu pula muncul berbagai yayasan maupun koperasi yang dikelola secara langsung maupun tak langsung oleh militer. Hampir tiap kesatuan yang ada dipastikan memiliki induk koperasi yang menguasai berbagai lahan bisnis. Sebut saja Koperasi Baret Merah (Kobame) milik Kopassus, Induk Koperasi Angkatan Darat, dan Induk Koperasi Angkatan Laut.
Namun, seiring berembusnya angin perubahan menjelang Reformasi 1998, bisnis-bisnis milik tentara semakin berkurang. Kejayaan TNI dalam dunia bisnis pun mulai surut. Setelah larangan berbisnis diteken dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI dipaksa harus menyerahkan lahan bisnisnya kepada pemerintah. Sejak itu, haram bagi TNI berurusan dengan bisnis.
TITIS SETIANINGTYAS | BOBBY CHANDRA | ANTIKORUPSI.ORG
Pilihan Editor: Bolehkah Anggota TNI Memiliki Usaha Sampingan?