Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ko-Promotor Kirim Surat Keberatan ke Rektor UI atas Sanksi Polemik Disertasi Bahlil

Ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia, Athor Subroto, mengirimkan surat keberatan yang ditujukan kepada Rektor UI.

22 Maret 2025 | 11.17 WIB

Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI masa jabatan 2021-2025 Athor Subroto saat ditemui Tempo di Gedung Pusat Studi Jepang UI, Depok, pada Selasa, 4 Maret 2025. Ia juga merupakan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia. TEMPO/Rizki Yusrial
Perbesar
Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI masa jabatan 2021-2025 Athor Subroto saat ditemui Tempo di Gedung Pusat Studi Jepang UI, Depok, pada Selasa, 4 Maret 2025. Ia juga merupakan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia. TEMPO/Rizki Yusrial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia, Athor Subroto, mengirimkan surat keberatan yang ditujukan kepada Rektor Universitas Indonesia (UI). Surat tersebut ditujukan karena dirinya tidak terima atas sanksi yang diberikan rektor UI soal polemik S3 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Athor menerima sanksi administratif berdasarkan SK Rektor UI Nomor 475/SK/R/UI/2025. Namun, ia menilai bahwa sanksi tersebut diberikan tanpa proses yang transparan. Menurut dia,, keputusan itu tidak menjelaskan secara jelas jenis pelanggaran yang ia lakukan hingga dikenai sanksi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Seharusnya dalam SK Rektor 475 wajib disebutkan pelanggaran apa yang telah saya lakukan menurut Perrektor UI 4/2024 hingga dikenai sanksi sedemikian rupa. Apakah pelanggaran tersebut adalah pelanggaran berat, sedang, atau ringan?" tertulis dalam surat yang tertanggal 18 Maret 2025 itu. Surat ini dikirimkan langsung oleh Athor kepada Tempo pada Jumat, 21 Maret 2025.  

Athor mengaku tidak pernah diberikan informasi terhadap proses pemeriksaan etik yang sedang berjalan. Ia juga mengatakan proses sidang yang berjalan atas dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, dalam kedudukannya sebagai terlapor, tidak pernah memberikan kesempatan baginya untuk menggunakan hak-haknya sebagai terlapor.  

"Dengan demikian, diterbitkannya SK Rektor 475 telah melanggar prinsip keterbukaan yang seharusnya ada dalam setiap keputusan-keputusan Rektor UI," kata Athor.  

Kemudian, mantan Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI ini mengatakan bahwa dalam posisinya sebagai terlapor, ia tidak pernah dipanggil untuk diperiksa serta tidak diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pelaporan dan menyampaikan keterangan yang berimbang dalam proses pemberian sanksi tersebut. Adapun ketentuan ini, kata dia, termuat dalam Pasal 21 ayat (1) Perrektor UI Nomor 5 Tqhun 2024.  

"Saya sebagai terlapor sudah semestinya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menanggapi pelaporan atas saya dan memberikan keterangan yang berimbang terhadap pelaporan terhadap saya, sesuai dengan peraturan yang berlaku," kata Athor.  

Athor mengaku memang pernah mendapat undangan dari Dewan Guru Besar saat proses dugaan pelanggaran etik masih berjalan. Namun, menurut dia, saat itu undangan tersebut bukanlah panggilan terhadap terlapor. Oleh karena itu, ia mempertanyakan apakah "undangan" diatur dalam suatu peraturan mengenai tata cara persidangan etik Universitas Indonesia.  

"Mengapa perihal yang dicantumkan adalah undangan, bukan panggilan? Padahal dalam Perrektor UI 5/2024 terminologi yang digunakan adalah panggilan, bukan undangan," kata Athor.  

Sanksi terhadap Athor Subroto  

Athor menjelaskan bahwa dalam SK Nomor 475, ia dijatuhi sanksi berupa larangan mengajar, membimbing mahasiswa baru dan menguji mahasiswa di luar bimbingannya selama tiga tahun. Selain itu, ia dikenai penundaan kenaikan pangkat, golongan atau jabatan akademik serta dilarang menduduki jabatan struktural atau manajerial dalam kurun waktu yang sama. Sebagai tambahan, ia diwajibkan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada UI dan masyarakat.  

Oleh karena itu, Athor menuntut dan berharap Rektor UI dapat mempertimbangkan serta mencabut SK tersebut. Menurut dia, proses dalam penetapan sanksi harus dilakukan dengan adil dan berimbang, apalagi ini menyangkut karier dan kehidupan seseorang.  

Rektor UI Heri Hermansyah sebelumnya memutuskan menunda kenaikan pangkat kepada promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia. Keputusan itu berdasarkan sidang empat organ UI, yaitu Majelis Wali Amanat, Rektor, Dewan Guru Besar, dan Senat Akademik atas dugaan pelanggaran etik mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) pada 4 Maret 2025.  

"Penundaan kenaikan tingkat untuk jangka waktu tertentu," kata Heri dalam konferensi pers di Fakultas Kedokteran UI Salemba pada Jumat, 7 Maret 2025.  

Heri mengatakan sanksi tersebut berupa pembinaan sesuai dengan tingkat pelanggaran akademik dan etik yang dilakukan. Keputusan ini, kata dia, sudah memperhatikan keadilan akademik, semangat perbaikan institusi, dan menjaga integritas akademik.  

Heri juga menjatuhkan hukuman kepada Direktur SKSG dan Kepala Program Studi. "Sebagai momentum untuk melakukan evaluasi dan pembinaan sistem pendidikan, khususnya di SKSG UI," kata dia.  

Ia mengatakan bahwa kasus ini sebaiknya menjadi pelajaran bagi seluruh sivitas akademika untuk memperkuat komitmen dalam menjaga marwah akademik.  

Sementara itu, Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional Arie Afriansyah mengatakan sanksi ini akan diterbitkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) rektor. "Terkait dengan SK perorangan tadi yang saya sampaikan, itu adalah individu yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Dan karena ini bersifat individual, maka yang mengetahui adalah yang bersangkutan," ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus