Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 79 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur kabupaten/kota akan disahkan pada rapat paripurna pada Kamis besok. Puluhan RUU tersebut sebelumnya telah disetujui pada pembahasan tingkat I oleh Komisi II DPR dalam rapat bersama Kementerian Dalam Negeri, Rabu, 25 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia, semua fraksi menyatakan setuju 79 RUU tersebut dibawa ke paripurna untuk disahkan. Selain dengan Komisi I, persetujuan juga diberikan oleh Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doli mengatakan sebagian besar dari 79 RUU tersebut merupakan dasar hukum pembentukan beberapa provinsi, kabupaten dan kota. Dia mengatakan aturan tersebut perlu disahkan untuk memudahkan penataan ulang administrasi di daerah.
Sebab, ujar dia, masih terdapat Undang-Undang tentang daerah yang mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 dan aturan yang berlaku sejak era Republik Indonesia Serikat.
Doli mengatakan RUU yang mengatur soal pembentukan daerah hanya mengubah ketentuan seperti nomenklatur nama daerah, geografis, karakteristik budaya dan penataan cakupan wilayah.
"Ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih dan masalah administrasi akibat dasar hukum yang sudah tidak relevan," kata Doli di kompleks DPR, Rabu, 25 September 2024.
Peneliti Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai tidak ada yang istimewa dari pengesahan RUU kabupaten-kota tersebut. Dia mengatakan publik tak perlu bangga karena yang dibahas adalah RUU yang bersifat kumulatif terbuka, sehingga partisipasi publik yang bermakna tidak begitu diutamakan.
Justru sebaliknya, Lucius melihat dalam lima tahun terakhir, sejumlah RUU krusial dibahas dan disahkan tanpa dimasukkan dalam program legislasi nasional prioritas. Ia mencontohkan perubahan UU Mahkamah Konstitusi dan UU Kementerian Negara.
Kedua perubahan tersebut dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik dan tanpa kajian naskah akademik "Jadi DPR membuatnya seperti RUU Kumulatif terbuka, ada pasal yang tidak sesuai dengan kepentingan politik, tinggal comot, lalu diganti sesuai kebutuhan," ujar Lucius saat ditemui, Selasa, 24 September 2024.
Pilihan editor: Begini Kata Pegiat Soal Untung Rugi Pembentukan Angkatan Siber