Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Lakon Wayang Parikesit Jumeneng Nata di HUT TNI, Ini Kata Seniman

Jlitheng melihat lakon tersebut memiliki korelasi yang cukup kuat dengan kondisi negara pada masa sekarang.

30 September 2017 | 15.01 WIB

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo membawa wayang kulit disela pagelaran Wayang NKRI dengan lakon "Parikesit Jumeneng Noto" di depan Museum Fatahillah, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, 29 September 2017. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Perbesar
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo membawa wayang kulit disela pagelaran Wayang NKRI dengan lakon "Parikesit Jumeneng Noto" di depan Museum Fatahillah, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, 29 September 2017. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

SOLO - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menggelar pertunjukan wayang kulit di Museum Fatahillah untuk memperingati HUT TNI ke-72, Jumat malam 29 September 2017. Pementasan wayang itu mengangkat lakon Parikesit Jumeneng Nata (Parikesit Dinobatkan Menjadi Raja).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Parikesit merupakan lakon pada era setelah Pandawa-Kurawa," kata salah satu seniman sekaligus dalang asal Solo, Jlitheng Suparman, Sabtu, 30 September 2017.

Baca: Panglima TNI Gatot Nurmantyo Gelar Pagelaran Wayang pada HUT TNI

Dalam cerita pewayangan, Parikesit lahir setelah perang Baratayuda. Anak dari Abimanyu dan Dewi Utari itu merupakan satu-satunya keturunan Pandawa yang selamat dari Baratayuda. Ia mewarisi tahta Astina dari kakeknya, Yudistira. "Dia lantas berusaha keras membangun lagi kerajaannya," kata dalang Wayang Kampung Sebelah itu.

Menurut Jlitheng lakon Parikesit Jumeneng Nata bisa dimaknai sebagai peralihan sebuah peralihan generasi. "Sebuah penataan baru yang bersih dari unsur serta kultur lama," katanya. Parikesit juga berjuang untuk menyatukan kembali masyarakat usai dilanda perang saudara.

Simak: Gatot Nurmantyo Gelar Wayangan, Jokowi Nonton Film G30S PKI

Jlitheng melihat lakon tersebut memiliki korelasi yang cukup kuat dengan kondisi negara pada masa sekarang. Jlitheng menyebut saat ini Indonesia masih berada dalam masa transisi lantaran reformasi yang berembus sejak 1998 masih belum selesai.

Namun, dia menilai bahwa masa sekarang belum saatnya masuk pada era Parikesit. "Saat ini masih 'pemain' yang berasal dari orang-orang orde baru," katanya. Selain itu, masih banyak pula pejabat yang memiliki gaya serta kultur dengan pengaruh rezim sebelum era 1998. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus