Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Paus Fransiskus merangkul kaum homoseksual hingga membereskan tata kelola Vatikan.
Merasakan penderitaan umat, Paus Fransiskus menjadi 'gembala berbau domba'.
Paus Fransiskus setidaknya legasi dalam reformasi Gereja Katolik.
BERTEMU dengan 200-an anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia di Kedutaan Besar Vatikan, Jakarta, pada 4 September 2024, Paus Fransiskus sama sekali tak terlihat superior. Pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia yang juga seorang Yesuit—sebutan untuk anggota Serikat Yesus—itu tak canggung berhadapan dengan sejumlah frater yang usianya masih 20-an tahun, berselisih lebih dari separuh abad dengannya.
Bersama para Yesuit, Fransiskus berdiskusi tentang berbagai persoalan, dari perang di Myanmar, persekusi agama di Pakistan, hingga kasus pelanggaran HAM berat yang disuarakan dalam Aksi Kamisan di Indonesia. Dengan gaya informal, kadang diselingi humor, Fransiskus menjawab berbagai pertanyaan dengan sabar. Ia paham bahwa anak muda adalah harapan masa depan Gereja dan umat manusia (Christus Vivit, 2019).
Fransiskus berpesan agar para Yesuit membikin ribut. Fate chiasso. Pernyataan yang sama ia sampaikan saat berkhotbah di Gelora Bung Karno sehari kemudian. Mengapa bikin ribut? Bukankah agama fungsinya meneduhkan? Pejabat tertinggi agama bukannya harus menjaga perdamaian?
Faktanya, Fransiskus tak hanya membicarakan fate chiasso. Ia mempraktikkannya. Dengan fate chiasso pula ia menjalankan reformasi Gereja Katolik, institusi berusia 20 abad. Secara terbuka, ia mengakui kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Gereja Katolik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Reformasi Gereja Lewat Fate Chiasso