LEBIH dari seratus pemuda, Rabu sore pekan lalu, ramai-ramai mendatangi Kantor Pusat Partai Persatuan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengatasnamakan diri eksponen Generasi Muda PPP (GMP) DKI Jaya. "Kami ke sini untuk berdialog dan menyatakan sikap atas kemelut yang sedang melanda partai," ujar D.M. Yunus, Wakil Sekretaris GMP DKI, yang memimpin aksi itu. Sekjen PPP Mardinsyah bersedia menerima anak-anak muda itu, dengan syarat: dialog hanya dilakukan dengan lima orang wakil saja, dan mereka harus tutup mulut terhadap pers atas aksi itu. Tanpa banyak tanya, D.M. Yunus, 26 tahun, dan empat rekannya maju ke depan dan berbicara dengan Mardinsyah di ruang kerja Sekjen. Sementara itu, rekan-rekannya yang lain menunggu di ruang sidang. Dialog itu tak makan tempo panjang. Usai menyerahkan surat pernyataan, para wakil pemuda itu keluar dari ruang Sekjen dan menemui rombongannya. Tapi di situ, seperti telah diskenariokan, pimpinan pemuda itu membaca keras-keras surat pernyataan itu, disaksikan oleh beberapa wartawan. Tentu saja Mardinsyah kesal. Ia mencoba melarang pembacaan surat pernyataan itu. Tapi anak-anak GMP itu cuek saja. Bahkan Mardinsyah sempat didorong-dorong ke belakang. Akhirnya, Sekjen PPP itu mundur ke kamar kerjanya, diiringi sorakan para pemuda. Apa boleh buat "Sudah menjadi kesepakatan kami, bahwa aspirasi ini mesti dibicarakan secara terbuka," tutur Yunus, tanpa rasa bersalah. Sebetulnya, tak ada suara-suara keras dalam surat pernyataan itu. Para pemuda itu hanya meminta agar Ketua Umum dan Sekjen PPP mengambil langkah rekonsiliasi terhadap jajaran DPP PPP, yang kini memang tengah terbelah: kubu J. Naro dan kubu Aisyah Aminy. Tindakan rekonsiliasi, oleh anak-anak muda itu, dipandang penting agar DPP bisa segera merumuskan materi tata tertib Muktamar II, yang akan dilangsungkan Agustus nanti. "Materi tata tertib itu perlu disiapkan secara dini, agar muktamar bisa berlangsung secara demokratis" tutur Yunus. Anjuran serupa, pekan lalu, dikemukakan pula oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Tata tertib itu, kata Rudini, akan menghindarkan muktamar dari kekacauan. Jika pelaksanaan muktamar menjurus kacau, Mendagri akan meminta Presiden Soeharto agar tidak menghadirinya. "Ini bukan ancaman, tapi perlu diketahui, bahwa Presiden adalah milik seluruh bangsa yang harus dihormati," kata Rudini. Selaku pembina politik dalam negeri Rudini juga meminta agar Muktamar II yang akan diadakan di Hotel Horison, di kawasan Ancol, Jakarta itu bisa mengukuhkan PPP sebagai partai terbuka. "Keterbukaan itu harus tertuang dalam anggaran dasar, program, dan cita-cita," ujar Menteri, sembari menyebut UU No. 3 Tahun 1985, yang mengatur keberadaan Golkar dan partai politik. PPP memang masih harus menyesuaikan AD/ART-nya dengan napas undang-undang itu. Jadi, istilah-istilah berbau Islam, seperti ukhuwah Islamiyah, khittah, atau Ahlussunnah Waljamaah, yang termuat dalam AD/ART, mesti diganti dengan kosakata Indonesia. Sekjen Mardinsyah mengaku telah mempersiapkan sejumlah istilah untuk mengganti kata-kata berbau Arab itu. "Untuk bahan penyempurnaan AD/ART," kata Mardinsyah. Istilah khittah, misalnya, akan diusulkan untuk diganti dengan kata-kata "garis-garis" perjuangan. Persiapan DPP, kata Mardinsyah, kini tak sebatas pada penyempurnaan AD/ART. "Jadwal sidang, tata tertib muktamar, rancangan garis-garis perjuangan partai, sudah siap semuanya," ujarnya. Namun, sampai pekan ini tata tertih muktamar belum juga dikirim ke Departemen Dalam Negeri. Sebuah sumber TEMPO di DPP PPP menyangkal keterangan Mardinsyah. "Omong kosong, mana mungkin tata terib muktamar sudah dirumuskan. Rapatnya saja belum," ujarnya. Rapat paripurna pengurus pusat, untuk menyusun tata tertib muktamar, saat ini memang sulit dilakukan. Kubu Naro tampaknya tak ingin duduk satu meja dengan kelompok Aisyah Aminy -- antara lain didukung oleh Ismail Hasan Metareum (Wakil Ketua), M. Husnie Thamrin, dan Ali Tamin (keduanya Wakil Sekjen). Soalnya, dengan mengundang mereka, bisa ditafsirkan bahwa Naro mengalah dan menawarkan rekonsiliasi. Hingga pekan ini izin muktamar belum juga turun, dan dana Rp 700 juta yang diperlukan belum terkumpul. Untuk memperoleh izin atau rekomendasi dari Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri, ada syarat yang "berat", antara lain panitia muktamar harus menyerahkan acara lengkap muktamar, termasuk tata tertib sidang, serta daftar para ketua serta sekretaris cabang serta wilayah PPP seluruh Indonesia. Masalah yang kini membelit partai bintang itu memang ruwet, bak lingkaran setan. Izin muktamar menuntut syarat adanya suatu tata tertib sidang. Tata tertib itu sendiri baru bisa lahir jika pengurus pusat akur kembali, alias berekonsiliasi. Tapi, ya itu tadi, tampaknya Naro belum sudi berunding. Yang dikhawatirkan oleh kubu Aisyah Aminy, Naro bakal membuat rapat dadakan, menjelang hari deadline nanti. "Dengan cara itu Pak Naro biasa mengegolkan gagasannya," ujarnya, sembari mengingatkan kasus rapat "dadakan" untuk pembentukan panitia muktamar. Di situ Naro bisa menempatkan orang-orangnya, dalam porsi mayoritas.Laporan Ahmadie Thaha dan Rustam F. Mandayun (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini