BILA ada dua jenderal berlaga, maka salak senapan dan korban puluhan pasukan akan bicara. Tapi kalau dua jenderal purnawirawan bertikai, biasanya cuma bicaralah yang berlaga. Yang terakhir itulah tampaknya yang tepat buat dua jenderal purnawirawan, M. Panggabean dan Soemitro, yang saling bantah di media massa belakangan ini. Pemicunya tak lain adalah ungkapan Soemitro dalam buku memoarnya yang diluncurkan bulan lalu. Panggabean, yang dua puluh tahun lalu menjadi teman dekat dan atasan Soemitro, merasa disinggung nama baiknya. Sebab, kata Panggabean, buku Soemitro itu cenderung tendensius dan banyak yang tak sesuai dengan kenyataan sejarah. Sejarah, yang dimaksud, tentu ketika keduanya masih menjadi tokoh sejarah dan berada di lingkar kekuasaan. M. Panggabean jadi Panglima ABRI/Menteri Hankam dan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib/Wakil Panglima ABRI. Dan keduanya berpangkat sama, jenderal berbintang empat. Ketika itu, dua puluh tahun lalu, terjadi kemelut yang mengguncang, yakni Peristiwa Malari (1974). Soemitro adalah yang paling bertanggung jawab atas gejolak sosial itu. Selama ini bahkan berkembang persepsi bahwa Malari itu merupakan cetusan konflik antara pihak-pihak dalam elite kekuasaan -- walau tak jelas benar benang merahnya. Sementara itu Soemitro, sebagai pihak yang sering disebut sebagai salah satu kubu yang berkonflik, justru tak mengangkat masalah persaingan di kalangan elite itu dalam bukunya. Lantas, kenapa Panggabean tiba-tiba mengangkat silang pendapat dengan Soemitro? Adakah sisa-sisa persaingan para pembantu Presiden kala itu? Inilah yang ingin dijawab dalam Laporan Utama ini. Ternyata jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Sebab, sepintas, keberatan Panggabean itu lebih pada soal pribadi, bukan persaingan politik tingkat tinggi -- ketika itu atau sekarang. Apa sebenarnya yang terjadi di balik polemik Panggabean - Soemitro yang menghangat sepekan ini? Itu yang ingin diangkat dalam Konflik Dua Jenderal: Soal Malari dan Pribadi). Tak ada hal yang prinsipiil secara argumentasi, tapi mungkin sangat menyentil emosi. Karena ketokohan Soemitro, walau cuma setahun jadi Panglima Kopkamtib, erat kaitannya dengan Peristiwa Malari itu, maka selayaknya mengungkap peristiwa yang mengguncang itu. Malari di Mata Soemitro menampilkan satu versi sejarah Malari menurut salah satu pelakunya, yakni Soemitro sendiri. Yang menarik, tak sama persis dengan persepsi banyak orang atas sejarah Malari selama ini. Tak diperlihatkan oleh Soemitro adanya persaingan tajam di elite politik kala itu. Lantas apa tujuan Soemitro menampilkan versi Malari itu? Nah, Soemitro menjawabnya dalam suatu wawancara. Ia menghindar berpolemik dengan Panggabean di media massa. Tapi, dalam Merangsang Berpikir ke Depan, Soemitro mau menjawab berbagai soal itu. Dari berbagai jawaban itu, tampaknya konflik kedua jenderal itu akan segera berakhir. Apalagi mereka cuma saling angkat bicara.A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini