Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malari di mata soemitro

Di bukunya, soemitro tak menampilkan konfliknya dengan ali moertopo. ia minta agar para demonstran tak sampai ke istana. lantas, apa dan siapa sebenarnya yang berada di balik malari itu?

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usianya yang ke-46, pada tahun 1973, Jenderal Soemitro menyandang jabatan Wakil Panglima ABRI merangkap Panglima Kopkamtib. Dengan jabatan barunya itu, kekuasaan di tangan arek Probolinggo itu memang amat besar. Ia bisa menggerakkan pasukan atau menangkapi lawan politiknya setiap ia suka. Ia didukung oleh kekuatan yang luas jangkauannya. Itu yang membuat Soemitro masuk dalam jajaran elite penentu kebijaksanaan politik nasional. Maka, ia pun tampil sebagai jenderal gendut yang angker, yang membuat segan kawan atau pesaingnya. Soemitro naik ke pucuk pimpinan aparat keamanan itu pada saat kota-kota di Indonesia sedang panas. Aksi-aksi demonstrasi tak kunjung berhenti, bahkan sudah menjalar ke berbagai kota universitas seperti Bandung, Yogya, Ujungpandang, dan Medan. Banyak mahasiswa dan kaum cendekiawan mengadakan bermacam-macam diskusi yang memanaskan suasana. Pemerintah memang mendapat kritik tajam. Soal korupsi, modal asing, peran Jepang, sampai kedudukan aspri (asisten pribadi) presiden, Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardani, yang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh Jepang. Sepulangnya dari kunjungan ke Aljazair, Soemitro bersama wakilnya, Sudomo, dan Kepala Bakin Soetopo Joewono dipanggil Presiden. Pak Harto bercerita tentang kampus-kampus yang mulai resah, lalu menanyai Soemitro apakah ia bisa menenangkan para aktivis kampus. "Saya bersedia. Tapi izinkan saya ke Pulau Buru dulu. Lalu ke kampus Jawa Timur, karena saya berasal dari Jawa Timur. Kalau saya berhasil di sana, baru ke kampus-kampus lain," kata Soemitro. Tapi keadaan makin membara dan tak terkendali menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka tanggal 15 Januari 1974. Poster anti Jepang dan berbagai protes terpampang di mana-mana. "Bubarkan Aspri", "Biankie, Biankoen dalang cukong", "Sudjono Hoemardani dalang makelar Jepang", "Ali Moertopo calo politik", "Jepang merusak Indonesia", dan sebagainya. Tanggal 10 Januari 1974, hari ulang tahun Tritura, sejumlah mahasiswa berziarah ke makam Arief Rahman Hakim di pekuburan Blok P, Kebayoran Baru. Mahasiswa juga mengadakan aksi di Lapangan Banteng. Mereka meneriakkan yel "Turunkan Harga", "Bubarkan Aspri", "Aspri singkatan 'Anak Kesayangan Presiden"'. Keadaan semakin panas. Tak mengherankan bila sejak pulang dari keliling kampus itu Soemitro tidur di kantor. Sudomo pun ia ajak tidur di kantor. Selama masa-masa genting itu pula, anehnya, Soemitro justru melukiskan merasa dekat dengan tokoh yang disebut-sebut sebagai rivalnya, Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardani. "Sudjono tiap malam tidur di kantor Kopkamtib mendampingi saya. Ia tidur di bawah sama-sama saya. Sementara itu Ali Moertopo setiap hari datang di kantor Kopkamtib," kata Soemitro dalam bukunya. Dalam menghadapi keadaan gawat ini Soemitro tetap berpesan kepada Sudomo, wakilnya, agar jangan sampai ada demonstrasi. Demonstrasi, menurut Mitro, bisa ditunggangi orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. "Jaga mereka, jangan sampai berdemonstrasi. Saya larang demonstrasi," kata Soemitro. Repotnya, upaya Soemitro yang menjanjikan adanya dialog antara mahasiswa dan PM Tanaka ternyata digagalkan para mahasiswa sendiri. Ia tahu setelah Sudomo menemui para mahasiswa yang menolak tawaran Soemitro. "Dialog diganti dengan dialog jalanan," kata mereka. Menurut Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia ketika itu, semua itu gara-gara mahasiswa yang menerima undangan Tanaka akan dianggap sebagai pengkhianat. "Akibatnya, udah deh, kita robek saja undangan," ujar Hariman. Maka, semenjak PM Tanaka dijemput Presiden di Bandara Halim Perdanakusuma, mahasiswa pengunjuk rasa pun langsung saja menyerbunya - walau Tanaka bisa diloloskan. Ketika di markas ABRI berlangsung rapat Wanjakti, Selasa itu, meletuplah demonstrasi mahasiswa. Sembari berjalan memutar dari UI di Jalan Salemba menuju Universitas Trisakti di Grogol, mereka menyerang modal asing, terutama modal Jepang, dan menyumpah-serapahi tingkah laku para pengusaha Jepang di Indonesia. Tapi, selang beberapa saat, tatkala para mahasiswa bubar dari apel di Trisakti dan pulang ke kampus masing-masing, justru di beberapa lokasi lain di Jakarta berkobar kerusuhan yang menjurus anarki. Gelombang aksi massa yang luas - umumnya pemuda tanggung berpakaian lusuh - membakari dan merusak kendaraan terutama buatan Jepang, bangunan-bangunan, dan toko- toko. Disebut-sebut Ramadi, binaan Ali di GUPPI, ikut memimpin aksi massa itu. Dari daerah pecinan Glodok di utara hingga Jalan Sudirman dan Matraman di selatan, dari kawasan Roxy di sebelah barat sampai Cempaka Putih di sebelah timur, asap hitam naik bergulung-gulung ke atas Jakarta. Soemitro, seusai rapat Wanjakti, langsung menemui Sudomo, di pos komando di teras depan Kopkamtib. Di ruangan itu tersedia hubungan radio ke mana-mana. Rupanya, Sudomo membutuhkan tambahan pasukan dua batalyon. Maka, Soemitro pun mengontak Panglima Kodam Brawijaya Wijoyo Suyono dan Panglima Kodam Diponegoro Yasir Hadibroto. Dua panglima itu sanggup menyediakan permintaan Soemitro dalam 24 jam. Kemudian masuk laporan, massa akan berdemonstrasi memasuki rumah Sudjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Langsung Soemitro memerintahkan Sudomo dan Komandan Korma Hankam Herman Sarens agar mengirim satu regu ke kedua rumah itu. Soemitro juga memerintahkan agar demonstran jangan sampai masuk Monas atau melintasi sungai belakang Istana. "Kalau demonstrasi itu sampai masuk Istana, berarti menghina kepala negara di muka tamu asing. Bagi saya, itu suatu penghinaan," katanya. Mendengar ada demonstrasi di Jalan Thamrin, Soemitro pun turun ke lapangan. Di situ, melalui corong suara, ia mengarahkan agar massa bubar. "Saya berhasil menahan demonstrasi itu tidak melaju ke Monas," kata Soemitro. Kerusuhan selama dua hari itu memang bisa disebut malapetaka. Pihak resmi menyebut huru-hara itu meninggalkan korban 11 orang meninggal, 17 luka-luka berat, dan 120 luka ringan. Banyak yang menjadi korban pelor petugas yang panik membubarkan gelombang massa itu. Mayat bergelimpangan tak segera diangkut. Panggabean, yang di tengah kerusuhan Malari itu tiba-tiba ikut tampil menenangkan massa, lalu berbicara di DPR, beberapa hari kemudian. Ia mengungkapkan 807 mobil dan 187 motor hancur dan sebagian hangus dibakar, 144 gedung rusak atau dibakar, termasuk dua blok proyek Pasar Senen, PT Astra, Coca-Cola, tempat mandi uap, dan 160 kilogram emas lenyap dijarah. Yang menarik juga adalah penangkapan terhadap berbagai tokoh yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Malari. Menurut Gubernur Ali Sadikin, lebih dari 700 orang ditahan gara-gara malapetaka itu. Hariman Siregar ditangkap atas perintah Soemitro. Pada saat itu Sudomo, menurut Soemitro, seperti mau mencegah agar Soemitro tak main tangkap. Soanya, kata Sudomo, pembakaran itu bukan tujuan para mahasiswa. "Tidak bisa. Mereka bukan anak kecil. Tidak bisa mereka cuci tangan. Mereka harus ngerti tanggung jawab," ujar Mitro di bukunya. Dan Hariman pun masuk bui. Lalu bagaimana dengan penangkapan para tokoh lainnya? "Saya tidak pernah memerintahkan untuk menangkap anggota-anggota PSI. Sama sekali tidak pernah! Yang memerintahkan itu, katanya, Ali Moertopo," kata Sumitro. Malari akhirnya menyeret banyak pergeseran dalam elite politik. Soemitro, contohnya, mengembalikan tongkat komando Kopkamtibnya ke Presiden Soeharto. Sebelumnya, anak buah Soemitro, yakni Sudomo, minta mundur karena tak bisa mengatasi Jakarta, yang menjadi tanggungjawabnya. Tapi, "Tanggung jawab itu etika saya. Pangkopkamtib hanya satu, dan itu saya. Apa pun yang terjadi, yang bertanggung jawab adalah saya, bukan Pak Domo," kata Soemitro. Dalam proses pengunduran dirinya, mencuat pula soal dokumen Ramadi, yang sampai saat ini belum jelas siapa yang menyusunnya. Sebab, dokumen itu selalu diasosiasikan sebagai rekayasa kelompok tertentu. Ramadi sendiri, binaan Ali yang dimasukkan dalam kepengurusan GUPPI, kabarnya kemudian meninggal di tahanan. Sebetulnya, dokumen Ramadi ini beberapa waktu sebelum Malari pernah dilaporkan Kepala Bakin Soetopo Joewono kepada Pak Harto. Reaksi Pak Harto ketika itu, menurut penuturan Soetopo kepada Soemitro, "Ah, mereka hanya memakai nama Mitro saja." (lihat Konflik Dua Jenderal Soal Malari dan Pribadi). Info yang didapat Soemitro menyebutkan, Panggabean dan Laksamana Muda Kusnaedi Bagja (Wakil Ketua G-1 Hankam) yang melaporkannya ke Pak Harto, walaupun untuk yang satu ini Panggabean membantahnya. Seminggu setelah Malari, Ali memang melontarkan tuduhannya mengenai keterlibatan oknum-oknum PSI dan Masyumi. Soemitro pun menerima informasi serupa dari Kolonel Sukarno, anak buahnya, dan Tjokropranolo, mengenai keterlibatan anggota PSI dalam Malari itu. Soemitro memang melaporkan keterlibatan orang-orang PSI ini ke Presiden. Setelah itu, memang terjadi serangkaian penangkapan. Apa kata aktivis yang ditangkap? "Kalau direkonstruksi, rasanya Soemitro jugalah yang menangkap. Dia, kok, yang menahan kami ini, puluhan orang," kata Sjahrir. Di pengadilan kemudian, aktivis mahasiswa, kubu-kubu pendukung Ali dan Soemitro pun muncul. Kelompok Ali, misalnya, sering disebut sebagai kelompok sepuluh. "Mereka ini memberikan kesaksian yang memberatkan para terdakwa," ujar Sjahrir. Hariman di pengadilan divonis 6 tahun penjara dan Sjahrir kena 6 tahun 6 bulan. Di luar itu banyak nama seperti Sarbini Somawinata dan Rahman Tolleng, yang masuk penjara tanpa sempat diadili. Maka, walau peta politik waktu itu memunculkan kubu Soemitro dan Ali Moertopo, agaknya faktor Presiden Soeharto di puncak kekuasaan masih tetap menonjol. "Buktinya, setelah tahun 1974, semua itu dikeluar-keluarin," ujar Hariman Siregar. Dan kebetulan, jenderal yang disebut-sebut berkonflik itu tak lagi berada di lingkaran paling dekat dengan kekuasaan. Lembaga aspri lantas "dibekukan". Kedudukan Ali dan Sudjono tak lagi langsung ke hadapan Pak Harto. Beberapa perwira tinggi digeser atau didubeskan. Dan masyarakat pun sampai sekarang tak paham juga, Malari itu sebenarnya konflik siapa lawan siapa.Ardian Taufik Gesuri, Nunik Iswardhani (Jakarta), K. Candra Negara (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum