Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa usulan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat Omnibus Law Undang-Undang atau UU Politik bisa menjadi opsi untuk mengevaluasi sistem pemilihan umum sekaligus pemilihan kepala daerah. Pemerintah, kata Tito, akan terlebih dulu mematangkan kajian untuk menyatukan tiga undang-undang pemilu, pilkada, dan parpol – sebelum membahas wacana ini dengan Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu kan opsi, tawaran, bisa diterima bisa tidak. Kita juga nanti mengundang para akademisi, lembaga pemerhati pemilu, civil society, untuk diskusi mana yang terbaik,” kata Tito usai mencoblos di Tempat Pemungutan Suara atau TPS 001 di kediaman kompleks kediaman menteri Widya Chandra, Senayan, pada Rabu, 27 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tito, Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, sepakat dengan Presiden Prabowo yang menilai sistem demokrasi di Indonesia sangat melelahkan dan memakan biaya. Hal itu juga sempat disampaikan Prabowo saat memberi sambutan dalam Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2024.
“Ada dampak positif demokrasi, tapi kan ada dampak negatif juga yang kita tidak boleh menutup mata. Otomatis tidak ada yang free. Semua politik biaya tinggi. Para kandidat mengeluarkan biaya yang tidak murah. Yang kalo dibandingkan dengan pemasukannya nanti ketika menjabat da mungkin tidak ketutup,” kata Tito.
Mendagri menilai keadaan ini jadi salah satu akar masalah pidana korupsi dan keterpecahan di kalangan masyarakat. Namun demikian, Tito menegaskan terlebih dahulu dirinya akan mengumpulkan pemangku kepentingan di pemerintah maupun kelompok sipil untuk kekurangan dan kelebihan ide omnibus politik itu. Tito mengatakan pemerintah tidak menutup solusi lain untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu.
Anggota Komisi II DPR sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia sebelumnya menyebut, ada delapan UU terkait politik yang dipertimbangkan untuk direvisi dengan metode omnibus law. Mulai dari adalah UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3, UU Pemerintah Desa, serta UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Namun belakangan Ketua Komisi II DPR, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menyebut komisinya akan mengevaluasi pelaksanaan Pemilu melalui revisi terhadap paket UU terkait politik. Rifqinizamy mengungkapkan, setidaknya ada tiga paket UU politik yang dipertimbangkan yaitu UU Pemilu, Pilkada, dan Parpol.
“(Omnibus law ini mencakup) ketentuan-ketentuan terkait dengan sengketa pemilihan umum yang sekarang terserak dan belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara-nya," kata Rifqinizamy dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sejumlah pejabat kepala daerah, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Iqbal Kholidin mengusulkan omnibus law politik bisa menjabarkan persoalan etika dalam pelaksanaan pemilihan umum. Iqbal menilai permasalahan etika dapat berdampak buruk pada hasil pemilihan umum, dalam hal ini menghilangkan legitimasi atau pengakuan masyarakat terhadap calon yang terpilih.
“Penting sekali untuk menjabarkan secara jelas masalah etika,” ujar Iqbal dalam seminar bertajuk “Dinamika Politik Keamanan Jelang Pilkada dan Bayang-Bayang Jokowi dalam Rezim Prabowo” yang digelar di Jakarta, Senin, 25 November 2024. “Jangan hanya sekadar menggabungkan (undang-undang).”
Annisa Febiola dan Eka Yudha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.