TEMBOK Gereja Vatikan masih kukuh menjaga doktrin selibasi, ajaran yang melarang pastor me-nikah. Doktrin yang dimaktubkan sejak abad ke-7 itu kini sedang dipertanyakan sebagian tokoh gereja menyusul heboh skandal seks sebagian pastor Amerika Serikat yang diungkap media internasional pekan-pekan ini. Ajaran selibat dianggap sebagai salah satu biangnya.
Namun, pertemuan tertutup para kardinal AS yang dihadiri pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, Paus Yohanes Paulus II, di Vatikan, Roma, Senin dan Selasa pekan lalu, masih menyatakan bahwa ajaran selibat tetap berlaku. Yang menjadi perhatian mereka, bagaimana semestinya Vatikan bersikap terhadap para pastor pedofilia. Apakah mereka ”diberesi” secara intern atau diserahkan ke polisi? Apakah pedofila sebuah dosa atau tindakan kriminal?
Dalam sambutannya di pertemuan yang jarang itu, akhirnya Paus angkat bicara—setelah beberapa minggu diam. Kata tokoh yang dikenal reformis itu, mencabuli anak-anak di bawah umur adalah tindakan kriminal, bukan sekadar dosa. ”Masyarakat ingin mengetahui bahwa tidak ada ruang dalam kepastoran dan kehidupan religius untuk mereka yang menodai anak-anak,” kata Paus. Lalu seorang uskup, Wilton D. Gregory, dalam pernyataan persnya seusai per-temuan mengatakan bahwa pihak gereja sangat menyesali skandal tersebut dan meminta maaf kepada para korban.
Gereja Vatikan, yang berstruktur organisasi mirip militer yang rapi, modern, dan berskala internasional, memang sedang diguncang krisis tragis. Bau skandal seks sebagian pastor Katolik Roma di seantero AS merebak sejak Januari lalu. Kabar tak sedap itu menyeruak ke publik setelah koran Globe di Boston mengungkap sepak terjang pastor predator John Geoghan dan kecenderungan keuskupan menutup-nutupi skandal semacam itu di belakang tembok.
Padahal gereja AS dianggap sudah lama mengetahui bahwa betapa sering, betapa meluas, dan betapa jauh penyimpangan seksual berlangsung di tubuh gereja. Setidaknya sejak skandal besar pertama di Louisiana dimejahijaukan pada 1985 dan pelakunya, Gilbert Gauthe, divonis 20 tahun penjara karena terbukti menodai lusinan anak di bawah umur. Para korban itu kemudian memperoleh ganti rugi secara total sekitar US$ 30 juta.
Sejak saat itu, bola krisis menggelinding semakin jauh. Hingga kini, diperkirakan ada 2.000 pastor yang dituduh menyeleweng di seantero AS. Sebagian sudah dijebloskan ke bui. Dalam dua dasawarsa ini, akibat kasus-kasus penyelewengan seksual para pastor, Keuskupan Katolik harus mengeluarkan dana US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 10 triliun untuk terapi dan santunan korban. Walau uang belum tentu bisa menyembuhkan luka jiwa para korban, ganti rugi itu menurut David Gagnon, 37 tahun, salah satu bekas korban, penting untuk menunjukkan bahwa ada yang salah di situ. ”Gereja harus tahu itu,” kata Gagnon seperti dikutip majalah Time.
Empasan krisis tersebut, menurut sumber di Vatikan, betul-betul menyakitkan hati Paus. Juga meletupkan perdebatan seru di kalangan tokoh Katolik Roma Amerika, terutama menyangkut doktrin-doktrin kontroversial semacam selibasi dan pernikahan pastor serta suster. Pastor Richard McBrien, misalnya. Profesor bidang agama Universitas Notre Dame itu berpendapat bahwa penyelewengan seksual tersebut berakar pada masalah pedofilia. Tampaknya, yang dimaksudnya adalah selibasi tak berkaitan dengan pedofilia.
Sementara itu, Keuskupan Boston secara resmi mendesak agar Gereja Katolik Roma mempertanyakan dan mempertimbangkan kembali relevansi para pastor berusia gaek. Sedangkan sayap liberal berpendapat bahwa gereja sebetulnya bisa mengisi posisi pastor yang lowong dengan orang yang lebih sehat dan matang secara seksual bila orang yang menikah, baik laki-laki maupun perempuan, dibolehkan menjadi pastor.
Soal selibasi? Tampaknya, pandangan alternatif untuk mengganti ajaran selibat tidak disambut ramah di Roma. Bila ada desakan untuk mereformasi doktrin gereja secara radikal, kata Chester Gillis, profesor teologi Universitas Georgetown, upaya itu harus menunggu pengganti Paus yang sekarang. Karena itu, ada pihak yang mendesak pihak gereja sekarang agar membuka hati dan pikiran untuk berdialog dengan masyarakat.
Apa yang salah dengan doktrin selibasi? Menurut Romo Piet Go, dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Jakarta, ajaran selibat sebetulnya bertujuan mulia, yaitu agar para pastor bisa melayani masyarakat secara penuh. ”Gereja Katolik menganggap status tidak menikah demi pengabdian kepada umat Allah lebih tinggi dari hidup perkawinan,” kata Piet.
Ajaran selibat sendiri sebetulnya merupakan hukum ajaran gereja. Praktek selibasi mulai muncul di kalangan uskup Yunani, Mesir, dan negara-negara Eropa Barat pada abad ke-4. Namun, para imam masih boleh beristri dan hal itu belum menjadi larangan secara hukum. Baru pada abad ke-7, larangan menikah bagi uskup ditetapkan dalam hukum seperti tertuang dalam dekrit Sinode Elvira di Spanyol. Tapi tak semua gereja mewajibkan selibasi, misalnya Gereja Katolik Byzantine, Syria, Armenia, dan Rutenia.
Dalam perjalanan sejarah, ajaran selibat pernah digugat. Sebuah gerakan pembaruan yang dipelopori Gregorius VII (1020-1085) pernah berjuang untuk mereformasi ajaran selibat. Hasilnya, sebagian umat yang terbuka kepada reformasi tak lagi menghargai kehidupan selibat. Gugatan yang serupa kembali mengemuka di Konsili Vatikan II pada 1965. Namun, reformasi ajaran selibat pupus ketika Sinode Uskup Sedunia pada 1990 meneguhkan kembali bahwa kehidupan selibat syarat untuk menjadi imam. Dan Paus Yohanes Paulus II yang dikenal reformis pun masih gamang menghapusnya.
Kelik M. Nugroho, Hadriani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini