Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Menyoal Penggunaan Chloroquine untuk Pengobatan Pasien Covid-19

WHO belum merekomendasikan obat apapun untuk mengatasi Covid-19, termasuk Chloroquine.

24 Agustus 2020 | 09.32 WIB

Obat malaria, Chloroquine. Peringatan agar tidak menggunakannya sebagai obat COVID-19 meluas. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)
Perbesar
Obat malaria, Chloroquine. Peringatan agar tidak menggunakannya sebagai obat COVID-19 meluas. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sigit Purwanto gugup begitu mengetahui hasil uji usap menunjukkan dia terinfeksi virus corona pada pertengahan Juli lalu. Bersama 46 tenaga kesehatan, perawat Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Pundong, Bantul, Yogyakarta, dia menjalani tes swab karena kerap bersentuhan dengan pasien dan berisiko terpapar virus. Hanya dia seorang yang dinyatakan positif Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

 Sigit tak memiliki gejala seperti batuk dan pilek. Ia akhirnya diinapkan di ruang isolasi bangsal khusus Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Bantul. "Istri stres dan menangis. Dalam suasana ketakutan, saya berusaha keras menenangkan diri," kata dia, Selasa, 11 Agustus 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki berusia 43 tahun ini mendapat perawatan khusus dari dokter spesialis paru dan jantung karena dia memiliki riwayat gangguan irama jantung atau aritmia. Dokter menyatakan ada infeksi pada paru-paru Sigit.

Riwayat aritmia itulah yang membuat dokter yang merawat Sigit tak memberinya obat Chloroquine atau klorokuin. Obat ini digunakan sebagai satu di antara sejumlah pengobatan eksperimen untuk mengatasi Covid-19 sepanjang vaksin dan obat sesungguhnya belum tersedia. Masalahnya kloroquin menimbulkan efek samping serius pada jantung.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau FDA mencabut izin penggunaan darurat klorokuin untuk merawat pasien Covid pada 15 Juni lalu. FDA menilai obat tersebut tidak menyembuhkan pasien yang terinfeksi covid.

Brazil menghentikan penggunaan obat tersebut setelah beberapa pasien mengalami komplikasi jantung yang berpotensi fatal. Beberapa pasien yang menggunakan dosis tinggi obat ini mengalami detak jantung tidak teratur.

Sepuluh hari mengisolasi diri di rumah sakit, Sigit rajin mengkonsumsi vitamin c, antivirus, dan antibiotik. Dia mendapat banyak pasokan buah dari keluarganya. Makan makanan bergizi, rutin minum susu, dan kacang hijau.

Selain itu, ia memutuskan berhenti menyaksikan televisi, mendengar berita-berita yang menakutkan dan menyedihkan tentang pandemi Corona. Sigit rajin berolahraga untuk meregangkan otot dan mengusir kebosanan dengan cara melakukan panggilan video dengan keluarga dan sahabatnya.

Akhirnya, pada  26 Juli kondisi Sigit membaik. Dia menjalani tes swab pada 20 dan 22 Juli dan dinyatakan negatif. Dia berpesan untuk pasien covid agar berusaha sembuh. "Berpikir positif terapi yang manjur," katanya.

Perawat Puskesmas Kasihan, Bantul, Siti Mulyani, juga tak menggunakan klorokuin sebagai obat selama menjalani isolasi bersama belasan pasien lainnya di Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid-19 di Bambanglipuro, Bantu. Perempuan 46 tahun ini memiliki riwayat penyakit asma. 

Siti rutin minum vitamin C, B complex, madu, dan makan makanan kaya protein dan kalori. Siti percaya menjaga harapan di tengah ketakutan menjadi terapi penyembuhan. "Berpikir positif untuk menjaga kekebalan tubuh," katanya.

Di shelter tempat dia mengisolasi diri, Siti tertib istirahat dan mematuhi semua saran dokter. Tanggal 30 Juli, kondisinya membaik dan dokter menyatakan negatif setelah dia menjalani uji swab.

Ibu tiga anak ini bercerita sempat kalut tatkala dia mengetahui hasil uji swab positif. Siti yang terisak menghubungi suaminya untuk memberi kabar hasil tersebut. Tapi, dia berusaha untuk mengatasi ketakutannya perlahan-lahan.

Namun, dokter paru di sejumlah rumah sakit rujukan Yogyakarta masih menggunakan klorokuin untuk sebagian pasien Covid-19. Salah satu rumah sakit tersebut yakni Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito. Ketua Tim Airborne Disease RSUP Dr. Sardjito, Ika Trisnawati mengatakan RS ini masih menggunakan klorokuin untuk pasien covid.

Laporan ahli yang dipublikasikan melalui https://www.preprints.org/manuscript/202005.0190/v1 menunjukkan satu dari 200 pasien yang menerima terapi hidroklorokuin dan azythromycin selama 24 jam mengalami kerusakan atrioventrikular block. Yaitu aritmia yang yang terjadi karena gangguan atau penyumbatan sebagian atau seluruh konduksi impuls listrik dari atrium jantung menuju ventrikel.

Kasus itu terjadi pada seorang laki-laki dewasa muda Indonesia dengan suspek pneumonia covid. “Satu kasus dari 200 pasien dengan hidroklorokuin,” kata Ika.

Hidroklorokuin diterima secara luas pada pneumonia covid ringan dan sedang. Dokter spesialis paru RSUP dr Sardjito, Munawar Gani mengatakan klorokuin masuk dalam daftar obat yang digunakan tim Pakar Medis Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Selain klorokuin, pedoman yang disusun para pakar itu menyertakan antibiotik, vitamin C dosis tinggi, dan obat lain sesuai penyakit penyerta pasien.

Lima tim tersebut terdiri dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Iintensif Indonesia, dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. “Trialnya Klorokuin disetop. Tapi dari lima organisasi masih merekomendasikan,” kata Munawar Gani.

Majalah Tempo menulis Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan penghentian uji Coba Solidaritas (Solidarity Trial) untuk hidroksiklorokuin. WHO Menilai obat itu tidak bermanfaat untuk penyembuhan pasien Covid-19. Uji klinis bersama tersebut dilakukan di lebih dari 400 rumah sakit di 35 negara. Salah satu yang mendasari keputusan WHO adalah riset OXford University yang hasilnya dipublikasikan 5 Juni.

Penelitian menunjukkan hidroksiklorokuin tak mengurangi risiko kematian. Sebanyak 26 persen pasien yang diberi obat tersebut meninggal. Sedangkan pasien yang diberi obat lain sebanyak 24 persen meninggal.

Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Siti Badriyah mengatakan dinasnya telah mendistribusikan 10 ribu butir klorokuin dari Kementerian Kesehatan sejak April. Distribusi klorokuin menurut Siti dilakukan sesuai permintaan rumah sakit rujukan. “Seiring berjalannya waktu tidak ada permintaan lagi,” ujar Siti.

Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zullies Ikawati menyebutkan penggunaan klorokuin tidak efektif untuk pasien covid. Bukti klinis efektivitas klorokuin bervariasi dan belum signifikan untuk pasien covid. Studi observasi di Indonesia menunjukkan belum ada laporan resmi  dan uji klinis bahwa penggunaan klorokuin mempersingkat perawatan pasien covid di rumah sakit.

Obat keras ini memiliki efek samping di antaranya gangguan irama jantung seperti pada perpanjangan interval QT (pada elektrokardiogram atau EKG) dan percepatan denyut jantung (takikardia). “Tidak direkomendasikan bagi pasien yang mengalami gangguan irama jantung,” kata Zullies

Pada penggunaan jangka lama bisa menyebabkan gangguan penglihatan. Efek samping lainnya adalah menyebabkan mual, muntah, dan diare. Menurut Zullies, sebagian rumah sakit di Indonesia sudah mulai mengurangi penggunaan obat ini.

Untuk pengobatan pasien covid meminum obat ini dua kali sehari sebanyak 500 miligram untuk jangka waktu 5-7 hari. Sebagian rumah sakit lebih memilih menggunakan obat batuk, penghilang nyeri. “Lebih baik meningkatkan sistem imun ketimbang klorokuin yang tidak terlalu efektif,” kata dia.

Zullies menemukan sejumlah pasien di RS Darurat Wisma Atlit tak banyak terbantu setelah minum klorokuin hingga 14 hari masa karantina. Bersama LIPI, Zullies meneliti uji klinis kandidat imunomodulator dari produk herbal dalam penanganan Covid-19 bersama LIPI di rumah sakit tersebut.

Data sementara menunjukkan tidak meningkatkan risiko kematian dibandingkan dengan terapi standar Covid menurut BPOM. Sejauh ini belum dilaporkan adanya kematian mendadak akibat penggunaan klorokuin atau hidroksiklorokuin di Indonesia.

Presiden Joko Widodo telah membeli Chloroquine, obat influenza yang dikembangkan Toyama Chemical Jepang. Jokowi telah mendatangkan 3 juta butir klorokuin. Padahal, WHO belum merekomendasikan obat apapun untuk mengatasi Covid-19. WHO masih berupaya mencari obat terbaik untuk menyembuhkan penderita penyakit ini.

Tapi, pemerintah Indonesia malah menggunakan Hidroklorokuin, turunan dari klorokuin (Chloroquin) untuk uji klinis tiga kombinasi obat covid melalui Universitas Airlangga. Guru Besar Farmasi UGM Zullies menyebutkan di Indonesia belum ada data tentang obat tersebut sehingga ada alasan untuk diujikan.

Hingga saat ini pedoman terapi covid masih memasukkan obat itu dan diserahkan kepada dokter. “Apakah akan menggunakannya atau tidak berdasarkan keyakinan masing-masing klinisi atau dokter,” kata Zuillies.

SHINTA MAHARANI 



Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus