Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Nurcholish madjid setelah t (kecil)

Nurcholish madjid disangka menyebarkan pamflet yang isinya antara lain, "la ilaha illallah" diartikan tidak ada tuhan selain tuhan itu sendiri. tanpa huruf t kecil. mu aceh memasalahkan surat edaran tersebut.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DR. Nurcholish Madjid, yang di tahun 70-an menghebohkan karena ide sekularisasinya, kembali disorot. Ia disangka menyebarkan pamflet imbauan itu kepada para ustad dan alim ulama di seluruh Indonesia. Isinya tujuh macam. Antara lain, kalimat tauhid La ilaha illallah itu supaya diartikan "tidak adaTuhan selain Tuhan itu sendiri". Dalam pamflet bertanggal 1 Maret 1988 dan bercap pos Jakarta itu, Nurcholish bahkan seolah berseru: status Injil dan ayat Quran (tentang larangan umat Islam mengangkat orang kafir sebagai wali) agar diteliti mendalam. Dan tambahan seruannya: umat Islam memerangi kemiskinan, mendidik anak ke jenjang tinggi, dan "tidak menentang arus". Sejak itu puluhan surat datang ke alamat Nurcholish. "Tuhan itu lain dari Allah. Jadi, terjemahan Anda itu suatu kesalahan mahabesar," tulis Teungku Syahidin dari Lampaseh, Banda Aceh. "Kalau menganggap Quran perlu diteliti, Saudara jelas murtad sekaligus kafir. Saudara harus tobat." Nurcholish gusar. Ia merasa ada yang memunculkan "Nurcholish Madjid" lain di samping dirinya sendiri. Lalu ia melapor dan menyerahkan pamflet itu ke polisi. "Nama saya dan semuanya dipalsukan," kata Nurcholish pada Menteri Penerangan Harmoko. Kemudian koran-koran memberitakan kepalsuan pamflet itu. Nurcholish belum tahu siapa penyebar fitnah terhadap dirinya. Namun, membaca judul, jalan pikiran, dan gaya pamflet, bekas ketua HMI itu menganalisa, "Paling tidak, itu mendiskreditkan kami dari Paramadina, atau sengaja mengadu-domba." Nurcholish (asli) mengaitkan "imbauan" dengan kerukunan hidup beragama itu malah nadanya memecah-belah. Awalnya ketika Sidang Umum MPR. Sewaktu istirahat dari sidang maraton Komisi A, K.H. Hasan Basri mendatangi Nurcholish. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga anggota MPR itu lalu menyodorkan selebaran tersebut. "Itu bukan saya yang membuatnya," kata Nurcholish. Pamflet yang tanpa salam pembuka itu ditutup dengan Rahayu. Stempel bundar Paramadina menindih nama dan tandatangan Ketua Yayasan Wakaf Paramadina dan Ketua Penelitian Agama LIPI ini. Padahal, Paramadina tidak punya stempel seperti itu. Menurut petugas Sekretariat MUI Pusat yang berkantor di Masjid Istiqlal, Jakarta, ada sejumlah pemuda yang datang menyerahkan beberapa lembar edaran itu. Mereka pergi tanpa meninggalkan nama dan alamat jelas. "Saya terkejut setelah membacanya," kata K.H. Hasan Basri pada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. "Karena curiga, lalu saya segera menghubungi Nurcholish. Ia memang tidak membuat surat tersebut. Ini fitnah. Dalam Islam, memfitnah itu hukumnya haram, dosa besar, dan laknat," ujar Hasan Basri. "Apalagi surat itu ditutup dengan kata rahayu, salam yang dari zaman rikilik sampai sekarang tidak pernah dikenal Islam." Setelah rapat, MUI mengirim surat ke MU di daerah, agar tidak mempercayal surat gelap itu. Entah di mana sangkutnya itu surat, MU Aceh belum menerimanya. Ketuanya, Prof. Ali Hasjmi, juga mengaku tak membaca koran yang membuat bantahan Nurcholish itu. Setelah selebaran itu diterima di Banda Aceh, via pos, MU Aceh lalu menanggapi. "Kami anjurkan kepada para ulama dan guru serta seluruh rakyat Aceh agar menolak anjuran Saudara," tulis Ketua MU Aceh itu kepada Nurcholish Madjid (asli). Selain ke Menteri Agama, surat bertanggal 17 Maret itu juga disebar ke pimpinan MU provinsi lain. Menurut wartawan TEMPO, ada beberapa Ketua MU di ibu kota provinsi yang belum menerima paket dari MU Aceh itu. Nurcholish menilai, MU Aceh ikut menyebar fitnah itu ke seluruh tanah air. "Kenapa tidak dicek kepada saya, misalnya dengan menelepon," katanya. Beberapa yang menerima edaran itu sempat mengecek langsung padanya. "Itu petanda tidak semua guru dan ulama mudah termakan fitnah. Mereka kritis," katanya. Teungku Abd. Wahab Wali Al Makiyyi, Direktur Pesantren Darul Ulum, Kuala, Meulaboh, menyesalkan Hasjmi. "Kalau surat itu bukan dari Saudara, jelas itu datangnya dari musuh Islam," tulis Teungku Abdullah Saleh, imam masjid di Jeunieb, Aceh Utara. Hasjmi dan MU Aceh ikut menyebarkan fitnah itu? Seandainya tak sampai sebulan surat MU Aceh lambat dibalas Nurcholish, menurut Hasjmi, tembusan suratnya tidak berserak ke seluruh MU lain. "Balasan yang kami tunggu itu tak kunjung datang," katanya pada Affan Bey dari TEMPO. Pada 13 April Hasjmi berpapasan dengan Nurcholish di Balai Sidang, Jakarta. Ia, menurut Nurcholish, berubah dari biasanya. Setelah mereka cukup berdebat, dengan surat bertanggal 15 April dan berkop Yayasan Wakaf Paramadina (ini asli) Nurcholish baru menulis ke MU Aceh. Ia juga tak lupa melampirkan Sanggahan dan Jaqoab terhadap Sebuah Fitnah. Setelah menerima surat balasan resmi itu MU Aceh mengirim surat minta maaf pada Nurcholish. "Biar kami salah, tapi itu ada hikmahnya," kata Hasjmi. "Barangkali kalau pihak MU Aceh tidak melakukan kesalahan, dan soal itu dibiarkan berlarut, bisa-bisa orang menuduh memang Nurcholish yang berdiri di belakang surat edaran sesat. Menanggapi edaran palsu itu, Menteri Agama Munawir Sjadzali mengatakan kepada TEMPO, dia juga sering menerima fitnah. Bahkan ancaman lewat telepon. Itu setelah ia melontarkan pikirannya mengenai reaktualisasi ajaran Islam. "Fitnah itu sudah merupakan bagian dari hidup kita," kata Munawir. Sebagian besar tangKapan yang dikirim keNurcholish menentang penerjemahan kalimat tauhid La ilaha illallah dengan tiada Tuhanselain Tuhan itu sendiri. "Itu sesat dan salah besar," tulis H. Jamhur Rafi, anggota MU di Pontianak. Ia pensiunan Pendais Kalimantan Barat yang mengaku haris al-Islam (penjaga Islam) di sana. "Terjemahan itu tidak masuk akal dan tak ada relevansinya dengan kerukunan hidup beragama," tulis A. Rahman Kaoy, dosen IAIN al-Raniry, Aceh. Menurut khatib Jumat itu, terjemahan yang lama sudah tepat. "Sangat bijaksana bila masyarakat tenteram dengan pengertian yang diyakininya." Argumen Kaoy, Allah itu nama bagi Zat Yang Mahasuci. Sedang ilah berarti sembahan, dan pengertian itu bersifat umum. Dalam Quran, kata ilah - dalam segala bentuknya - berjumlah 147. Sedangkan Allah berkisar 2.739. Ini menurut al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran (Ensiklopedi Kata-Kata Ouran) karya Muhammad Fuad Abdul Baqi. Di Jakarta, pamflet fitnah itu tersebar dari masjid ke jemaah musala. Adang Safaat, Laksda. TNI (Purn.), mengaku memperolehnya dari seorang ustad di musala Al-Ikhlas, Petukangan Utara. Dia terpancing menulis surat sanggahan 8 halaman. Katanya, baru sekali ini ia dengar ada terjemah baru bagi kalimat La ilaha illallah. "Setelah bertemu Nurcholish, saya paham. Kita tidak berbeda," katanya. "Tapi La ilaha illallah yang diartikan tidak ada Tuhan melainkan Tuhan itu sendiri,itu pikiran Nurcholish sejak dulu," kata K.H. Misbach kepada Herry Mohammad dari TEMPO. "Terlepas dari benar tidaknya edaran itu, yang ditanggapi Prof. Hasjmi adalah isinya yang masih relevan dengan pikiran Nurcholish," tambah Ketua Umum MU Ja-Tim itu. Yang fundamental ini tidak perlu ditambah dengan otak manusia, karena sudah pasti. Ini soal akidah. Menurut Ketua MU Ja-Bar, K.H.R. Totoh Abdul Fatah, "Asma Tuhan dalam Islam yang paling pertama adalah lafadz Allah." Kiai Totoh, 56 tahun, berpesan: jangan mengaburkan pengertian Allah itu dengan Tuhan. "Kalimah identitas itu adalah Radlitu billahi Rabban wa bil Islami dina wa bi Muhammad rasula. Saya rela Allah itu sebagai Tuhanku, dan aku rela Islam itu agamaku, dan aku rela Muhammad itu Rasul Allah," begitu kutip Pak Kiai untuk wartawan TEMPO, Jenny Ratna Suminar. Nurcholish memang pernah melontarkan "Tiada tuhan melainkan Tuhan." Tapi beda dengan di pamflet. Dia membedakan tuhan (dengan t kecil) dan Tuhan (T besar). Setelah debat pecah, Nurcholish kemudian menyelesaikan dengan berulang menjelaskannya. Z.M.P. & A.T.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus