ADAKAH lembaga pendidikan sama dengan perusahaan? Ketua Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa, Ki Suratman, jadi berang. Dia menerima laporan dari Sumtera Utara, Perguruan Taman Siswa harus mendapatkan WDP (Wajib Daftar Perusahaan). Syaratnya membayar Rp 50 ribu. "Saya terhina," kata Ki Suratman pekan lalu. Ia sudah memerintahkan semua Perguruan Taman Siswa di Sum-Ut, agar tidak membayar WDP itu. Kewajiban itu sebenarnya tidak baru di Sum-Ut. Di Kabupaten Dairi, Sum-Ut, semua sekolah swasta sudah didaftarkan sebagai perusahaan ke Kantor Departemen Perdagangan, Februari 1987. Ini sesuai dengan surat edaran Direktur Bina Usaha Perdagangan yang disebarkan sebulan sebelumnya. Isi edaran itu adalah mengakui bahwa kegiatan di bidang pendidikan dan kebudayaan mempunyai tujuan sosial dan mencerdaskan bangsa. Namun, dilihat dari bentuknya, dapat dikategorikan sebagai usaha bersifat komersial. "Mereka tidak keberatan, karena memang beruntung," kata sumber TEMPO di Kanwil Deperdag Sum-Ut. Namun, ketika hal yang sama diberlakukan di Pemantangsiantar, Maret tahun ini, Burhanuddin Lubis, Pimpinan Tarnan Siswa di kota itu, tak bisa menerima. "Apa-apaan ini? Ilmu 'kan tidak diperjual-belikan," kata Lubis kepada TEMPO. Menurut Lubis, perguruan yang didirikan 1934 itu tak mengambil keuntungan. Kini jumlah siswanya (SD sampai SMA) sekitar 2.900 orang. Uang sekolah per bulan Rp 3 ribu sampai Rp 6 ribu. Setelah membayar 80 guru serta karyawan administrasi, perguruan ini bisa menabung sekitar Rp 1 juta per bulan. Uang itu, menurut Drs. Mulkan Nasution, Ketua Bidang Pendidikan Perguruan Taman Siswa Pematangsiantar, disiapkan untuk kepentingan mendadak para guru dan karyawan. Misalnya dipinjamkan kepada guru yang sakit. Toh Lubis takut juga. Soalnya, perintah membayar WDP dari Kantor Deperdag itu diikuti ancaman: bagi yang lalai dipidana 3 bulan atau denda Rp 3 juta. Maka, Lubis pergi mengambil formulir. Ternyata, ia kesulitan mengisi formulir itu. Kolom yang harus diisinya antara lain komoditi apa yang diproduksi, apa merk perusahaan, jenis kegiatan usaha pokok, siapa direksi dan komisaris. Ia menyerahkan pengisian itu kepada pegawai Deperdag. "Entah apa yang diisi, saya tak tahu," kata Lubis. Lalu, dia pergi ke BNI 1946 Cabang Pematangsiantar untuk menyetor uang WDP. Ternyata, bank tak pernah dikontak Kantor Deperdag untuk menerima setoran WDP itu. Pengalaman itulah yang dilaporkannya kepada Ki Suratman. Ki Suratman, yang juga anggota DPR/ MPR, meminta agar Lubis tidak berurusan dengan instansi mana pun, sepanjang urusannya mempersamakan lembaga pendidikan dengan perusahaan. "Berdiri sejak 1932, Taman Siswa tidak pernah masuk usaha bisnis," kata Ki Suratman. Ia heran hanya di Sum-Ut saja sekolah swasta digolongkan sebagai perusahaan. Sementara itu, Pimpinan Perguruan Teladan Pematangsiantar, Drs. M. Manurung, bersama pimpinan dua perguruan swasta lainnya mengirim surat keluhan ke.Kanwil Departemen P & K Sum-Ut. Surat belum dijawab, tapi Kepala Humas Kanwil Departemen P & K Sum-Ut, Jasudin Siregar, mengatakan pada TEMPO, "Sekolah tidak sama dengan usaha dagang." Tidak jelas apakah WDP untuk sekolah swasta ini kebijaksanaan Menteri Perdagangan. Tapi Mochammad Goenarwan, Kepala Kanwil Deperdag Sum-Ut, membenarkan langkah yang ditempuh bawahannya. "Kalau komersial, ya, harus WDP," kata Goenarwan. Toh pengutipan WDP itu akhirnya dihentikan sejak Sabtu pekan lalu. Bukannya sependapat dengan Ki Suratman bahwa sekolah itu tidak komersial, tapi masih banyak toko dan perusahaan yang belum di-WDP-kan. "Kalau itu sudah selesai, giliran berikutnya sekolah swasta," katanya. "Dan ini musibah, akan saya tanya dulu ke Menteri Perdagangan," komentar Ki Suratman. M.S., Affan Bey, Mukhlizardy Mukhtar (Medan), dan Slamet Subagyo (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini