Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Muthahhari di jakarta selatan

Acara seminar dalam rangka peringatan 9 tahun wafatnya murtadha muthahhari di jakarta selatan. dipakai nama sebuah yayasan yang diketuai haidar bagir dia dikenal sebagai teolog syiah yang berfilsafat.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAN menangis. Itu pada 3 Mei sembilan tahun lalu. Tapi Ahad Mei kemarin, Murtadha Muthahhari diperingati tanpa ada iring tangis. Hadirin berkumpul sekitar 300 di Gedung Persatuan Keluarga Berencana Indonesia, Jakarta Selatan. Mengenang Muthahhari, lalu itu tanda Syiah berakar di negeri ini? Sebelum itu jelas, nama anggota Dewan Revolusi Islam dan perancang Republik Islam Iran itu sudah dijadikan nama sebuah yayasan. Bersama Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Yayasan Muthahhari kemudian menyeminarkan buah pikiran mullah itu. "Dia ulama modern, berpijak ke akar budaya Islam klasik. Apresiasinya ke filsafat sangat besar," kata Dr. Nurcholish Madjid dosen IAIN Jakarta. Pergumulan orang Syiah dengan filsafat terlalu mesra, sehingga teologi dikaji jauh sampai ke akarnya. "Mereka lebih berani dari orang Suni," kata K.H. Ali Yafie, Ketua PB NU, di seminar itu. Menurut Zainun Kamal, M.A., dosen filsafat di IAIN Jakarta, Muthahhari teolog Syiah yang berfilsafat. Filsafat itu sebagai alat pembuktiannya. Muthahhari memadu Mu'tazilah ke Syiah. Rukun imannya juga lima, yaitu: tauhld, keadilan, kenabian, mamah, dan kebangkitan. Tapi Syiah mengefektifkan rukun itu untuk berevolusi. Ia membagi tauhid ke teoretis dan praktis. Allah itu Esa dalam Zat Sifat, dan Perbuatan-Nya. Dan bedanya dengan Suni, Syiah beribadat ke Allah, sekaligus bertauhid praktis ke politik. Maka, jangan heran bila isi khotbah Jumat, misalnya, mengecam Amerika, Rusia, dan Israel. Mungkin kini Arab Saudi, setelah hubungan diplomatik diputuskan (lihat Laporan Uama). Dalam berhaji mereka juga boleh berdemonstrasi. Lalu soal takdir dibuat aktif. "Manusia dapat mengubah takdirnya," kata mullah bercambang itu. Tuhananya adil kalau Dia tak membatasi manusia. Namun, Mu'tazilah yang serba bebas dia kritik dengan teori bada' - kemunculan sesuatu yang sebelumnya tidak muncul. Misalnya, orang sakit yang minum obat lalu sembuh. Itu karena takdir Tuhan, qadha dan qadar. Begitu pula kalau dia lalu mati. Kebetulan bada' mirip dengan Iqbal: "Binalah egomu, supaya kau dapat mengubah takdir Tuhan." Maka, menurut Dr. Quraisy Syihab, ahli tafsir lulusan Al-Azhar itu, "Itu tidak beda dengan Suni." Pemikiran Muthahhari bercorak Syiah, tapi mendekati Suni dan Mu'tazilah? Di sini, Muthahhari mewujud sebagai Mulla Sadra atau Ibn Tufayl - para sufi yang berfilsafat. Maka, kekafiran dan kemusliman dianggap Muthahhari bersifat eksistensial. Descartes, filsuf Kristen, dianggapnya muslim dan akan masuk ke surga. Muthahhari tetap Syiah dan tinggal di Iran. Ia tak luntur. "Islam umumnya, d,an ajaran Syiah khususnya, adalah agama pergerakan, revolusi, simbah darah, kebebasan perjuangan, dan kesyahidan," tulis Muthahhari. Lalu ia terjun ke politik. Lahir 2 Februari 1920 di Fariman, 60 km dari Masyhad. Sejak muda ia berdiskusi dan menulis. "Agama telah diselewengkan ke ajaran yang keliru. Saya wajib mengatasi," tulisnya dalam Keadilan Ilahi. Yang disrangnya, gerakan meniru Barat dan Timur, serta Marxisme. Muthahhari meluruskan. Tidak benar, sewaktu menaklukkan Iran bangsa Arab membakar warisan kultural dan ilmiah di Iran dan Alexandria. "Itu propaganda menyerang Islam dan taktik penjajah." Dia melawan rezim Syah, mengikut Imam Khomeini. Ketika ayatullah itu meninggalkan Nejef ke Paris, Muthahhari bergabung. Tapi sebelum melihat hasil revolusi itu, pada I Mei 1979 Muthahhari dibunuh kelompok Furqan, pengagum Syariati. Pada 3 Mei rakyat Iran mengucur air mata. Sebuah poster dibuat. Wajahnya berkaca mata tebal. Kepala dilingkar sorban menyeruak di sela buku tebal dan menara masjid . Di latar belakang ada merpati terbang, yang punggungnya berhias "Allah Akbar". Di bawah hadis, "Tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada." Kemenangan revolusi itu sudah 9 tahun. "Apa sekarang pikirannya dipraktekkan di Iran?" tanya Afan Ghaffar, dosen UGM Yogya. Malah di praktek itulah ada kritik. Pada Maret 1979, Muthahhari masih hidup. mir Abbas Hoveyda, Perdana Menteri Iran dari rezim Syah, tanpa proses pengadilan, dibunuh hakim revolusi Ayatullah Khalkhali. "Demokrasi?" tanya Martin van Bruinissen, antropolog Belanda. Dan Iran terus berperang? "Mereka ingin membikin sejarah, menuju evolusi spintual," kata Kuntowijoyo. "Sejarah Islam itu progresif. Tidak kembali ke zaman Nabi, tapi maju ke depan," ujar Haidar Bagir, Ketua Yayasan Muthahhari. Maka, muslim Iran tak menunggu kedatangan Mahdi. Mereka berlomba bikin momentum, sebab Mahdi akan datang dengan menungganginya. Dalam skeptisisme menunggu Mahdi itu, mereka mencipta sejarah: revolusi, pembangunan, atau perang. "Saya tidak melihat pikiran Muthahhari yang berarti," kata Ridwan Saidi, bekas anggota DPR itu. Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus