BEGITU utusan Pimpinan Daerah Kolektif (PDK) I Kosgoro NTB melontarkan nama anggota Dewan Pertimbangan Agung Soeprapto, sebagai ketua formatur dalam Musyawarah Besar Kosgoro ke-6 di Surabaya, Sabtu pekan lampau, kontan kader-kader lain menyambut usul tersebut hampir secara aklamasi. Dukungan itu memang melicinkan jalan bagi bekas Gubernur Bengkulu itu menyisihkan dua kandidat lain, Martono dan M.W. Soedarto, dalam persaingan menduduki kursi ketua umum Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro periode 1990-1995. Keraguan sebagian peserta musyawarah berkisar pada kemampuan Soeprapto menggerakkan roda organisasi karena belum pernah menjadi pengurus PDK I. Untung, kriteria pengalaman ini disepakati peserta sidang sehari sebelum pencalonan formatur untuk dihapuskan. Apalagi kemudian Martono, ketua umum periode 1985-1990, yang dikritik banyak peserta kurang bisa menggerakkan organisasi, mengunduran diri dari pencalonan dengan alasan regenerasi sehingga peluang menduduki jabatan puncak di Kosgoro makin terbuka lebar bagi Soeprapto. Saingan Soeprapto dalam meyakinkan enam formatur lainnya tinggal M.W. Soedarto, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Kosgoro. Tahu lawannya tak punya pengalaman di PDK I membuat Soedarto tetap tidak mau mundur dari bursa pencalonan. Akhirnya Soeprapto terpilih untuk memimpin Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong), yang didirikan sejumlah bekas anggota TRIP, pada 10 November 1957. Ia menunjuk Agung Laksono sebagai sekjen. "Pengurus harus punya otot kawat balung wesi dan sekaligus punya banyak uang," katanya. Meski Wisma Kosgoro, gedung berlantai 20 di Jalan Thamrin, Jakarta, kini menghasilkan sekitar US$ 200.000 per bulan, tampaknya pengurus baru diminta tak memberatkan keuangan organisasi untuk tugas peninjauan ke daerah-daerah nantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini