Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Surat merah jambon untuk rendra

Dua sajak rendra dilarang dibacakan pada pesta seni memperingati hut tim.dianggap mengganggu kamtibmas. ws rendra, rhoma irama dan guruh sukarnoputra harus izin khusus jika tampil di tim.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sajak terbaru Sutardji Calzoum Bachri, Jangan Larang Burung Bernyanyi, ada bait yang menyenandung: "... kalau mulut merak kau sumpal/ia akan menyanyi dengan keindahan bulu-bulunya...." Puisi ini dibacakannya ketika penutupan Pesta Seni HUT ke-22 Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu pekan lalu. "Saya terharu, dan merasakan sajak itu sedang membela saya," kata Rendra kepada TEMPO. Ia menonton acara tersebut, setelah dua hari membatalkan membaca sajaknya sendiri di TIM. Si Burung Merak protes karena dua dari delapan sajaknya yang akan dibawakan pada Kamis dan Jumat pekan lalu itu dilarang polisi. Ketika sudah pukul delapan malam, Kamis itu, calon penonton Rendra yang masih antre di muka loket mulai gerah. Mereka berspekulasi dan mempertanyakan yang terjadi mengingat memang tidak ada tanda-tanda pertunjukan akan berlangsung. Barulah 20 menit kemudian muncul pengumuman yang ditulis Rendra dengan spidol merah: acara dibatalkan karena sajak Demi Orang-Orang Rangkasbitung dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung tak boleh dibacanya. Larangan tersebut bagi Rendra menghalangi tuntasnya ungkapan hati nuraninya. Adalah surat warna merah jambon yang bernomor polisi: S.I/DIT I PP/ 752/XI/1990. Dalam surat yang ditandatangani Letkol. (Pol.) R. Abas Bachri pada 8 November itu disebutkan, kecuali dua sajak tadi, Rendra boleh membaca sajaknya seperti Disebabkan oleh Angin, Setelah Rambutmu Tergerai, Kupanggili Kekasihku, Kenapa Kau Taruh, dan Wanitaku! Wanitaku. Di situ dirinci juga pihak yang mengetahui acara Rendra di TIM, termasuk berita per telepon dari Bais ABRI. Tapi alasan pelarangannya kabur. Kemudian menyusul penjelasan Letkol. (Pol.) A. Latief Rabar, Kadispen Polda Metro Jaya. "Memperhatikan isi puisi tersebut kemungkinkan bisa ditafsirkan lain oleh masyarakat. Akibatnya bisa mengganggu kamtibmas, khususnya SARA," katanya kepada TEMPO. Di mana letak SARA-nya? "Puisi itu secara umum membicarakan Rangkasbitung. Tempat pembuangan itu ada kaitan sejarahnya. Lagian, sajak itu memunculkan gap strata bawah dan strata atas. Ini terutama menyangkut antargolongan," ujarnya. Namun, Rendra bukan tidak menerima cara demikian. Kemudian ia mengkopi dua sajak itu untuk dikirim kepada Menteri Kehakiman, Menteri P dan K, Menteri Sekneg, serta Kapolri. Bersamanya, ia juga menyertakan secarik surat yang menanyakan pendapat mereka terhadap dua sajaknya yang dituduh cenderung SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). "Saya ingin rumusan yang terperinci," ujar penyair yang dibayar Rp 6 juta oleh Ali Jauhari Production untuk pertunjukan itu. Sebenarnya Rendra bersedia berdialog seperti ketika Mastodon dan Burung Kondor dahulu dilarang dipentaskan di Universitas Gadjah Mada, Yogya. Setelah ia berdialog dengan Jenderal Soemitro (waktu itu Pangkopkamtib) kemudian pementasannya dibolehkan. Selama ini, pimpinan Bengkel Teater ini merasa dibedakan dengan seniman lain. "Untuk pertunjukan di TIM saja saya harus ada izin khusus segala, sedang seniman lain tidak. Memangnya saya kenapa? Saya tidak setuju dengan anarki, kok," protesnya. Bur Rasuanto, Direktur Pusat Kesenian Jakarta itu, mengatakan, selain Rendra ada dua yang lain, yaitu Rhoma Irama dan Guruh Sukarnoputra, yang harus minta izin khusus jika ingin berpentas di TIM. "TIM punya izin tahunan. Sebenarnya, semua seniman yang mau berpentas di TIM tak perlu minta izin lagi," katanya. Hanya bila ditemui sesuatu yang harus dilarang, pertunjukannya distop, seperti pertunjukan Suksesi Teater Koma tempo hari. Izin khusus? Ini artinya setiap ketiganya ingin main di TIM, diharuskan menyerahkan naskah yang akan dipentaskan. Contohnya Rhoma Irama, yang oleh sosiolog William H. Frederick disebut telah meraih 15 juta penggemar di Indonesia, yang jarang manggung di TIM. "Seingat saya, saya manggung di TIM tiga atau empat tahun silam. Dan pihak TIM-lah yang mengurus izinnya," ujar raja dangdut itu kepada Achmad Novian dari TEMPO. Mungkin karena pementasan musik, ia tak perlu menyerahkan skrip sebelum pertunjukan. Guruh juga lebih sering berpentas di luar TIM. "Seingat saya, soal izin pementasan mesti ke Polda Metro Jaya dan Kodim. Mereka minta skrip yang akan dipentaskan," kata pendiri kelompok Swara Maharddhika ini. Sewaktu ia mementaskan Cinta Indonesia (1984), pihak Laksusda meminta agar adegan ibu-ibu pejabat gunting pita dihapus. Toh tiga tahun kemudian Gempita Suara Maharddhika ditegur, gara-gara Guruh memasang kepala banteng sebagai dekorasi pertunjukannya. Kisah pelarangan sajak Rendra? "Naskah sajak Rendra baru kami terima Kamis, pukul 14.00. Karena mendadak, bagaimana kami bisa cepat memberi izin?" kata Latief Rabar. Rendra sendiri mengakui memberi sajaknya pada saat terakhir karena ia harus menulis ulang berkali-kali. "Menulis sajak tidak seperti menulis berita di koran. Menulis puisi harus bergelut dengan elemen kontekstual dan universal, jadi baru hari Kamis kelar," katanya. Meski terlambat, menurut Latief Rabar, Rendra sempat dipanggil untuk diberi pengarahan: artinya ia juga diberi tahu sajak yang dilarang dibacakannya. Sekitar pukul 19.00 Rendra meninggalkan Polda, dan langsung ke TIM. Di situlah diputuskan untuk tidak membacakan sajak-sajaknya. Ia merasa sudah cukup toleran, seperti ketika di Malang dilarang membaca Pesan Pencopet pada Pacarnya. Demikian juga di Semarang. "Saya pikir, masyarakat daerah memang berbeda. Tapi ini di pusat kesenian, di Jakarta. Ini overdosage. Nanti lama-lama pikiran saya membenarkan yang tak benar," kata Rendra. "Dan orang-orang sedang bicara keterbukaan, kok yang terjadi sekarang malah setback." Leila S. Chudori, Wahyu Muryadi, Diah Purnomowati, G. Sugrahetty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus