Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Fakultas Kedokteran Akan Dibatasi Padahal Indonesia Kekurangan Dokter

Rencana pembatasan pendirian Fakultas Kedokteran menuai pro dan kontra. Kualitas yang perlu ditingkatkan.

19 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mahasiswa kedokteran sedang persiapan kuliah praktek di Fakultas Kedokteran Undiksha Buleleng, Bali. Undiksha.ac.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Pendidikan Tinggi berencana membatasi pendirian fakultas kedokteran baru.

  • Untuk mengatasi kekurangan dokter dengan menambah kuota mahasiswa baru fakultas kedokteran.

  • Pemerintah diminta meninjau kembali biaya kuliah pendidikan kedokteran yang mahal.

RENCANA Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi membatasi pendirian fakultas kedokteran baru menuai perbedaan pendapat. Sebagian pihak menentang rencana tersebut dengan pertimbangan Indonesia masih kekurangan dokter umum dan dokter spesialis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bambang Setiaji menentang rencana tersebut karena Indonesia masih membutuhkan banyak dokter, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. “Seharusnya fakultas kedokteran baru tetap dibuka dengan terukur, bukan dibatasi,” kata Bambang, Sabtu, 18 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia berpendapat bahwa pendirian fakultas kedokteran di setiap kampus memang perlu diiringi dengan ketersediaan fasilitas yang memadai, misalnya keberadaan rumah sakit pendidikan. Keberadaan rumah sakit pendidikan ini, di samping tenaga pengajar dan fasilitas lainnya, menjadi salah satu jaminan kualitas lulusan fakultas kedokteran.

Menurut Bambang, Muhammadiyah siap mendukung penuh ketika pemerintah menginstruksikan pembangunan rumah sakit dan fakultas kedokteran secara merata di seluruh Indonesia. Saat ini kampus milik Muhammadiyah mempunyai 13 fakultas kedokteran. Organisasi keagamaan Islam ini juga memiliki 126 rumah sakit.

Senin lalu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan pemerintah berencana membatasi pendirian fakultas kedokteran. Pertimbangannya, jumlah fakultas kedokteran di Indonesia sudah lebih dari cukup. “Kalau sudah banyak, mengapa harus ditambah lagi,” ucapnya.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro, di kantor Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Jakarta, 30 Oktober 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Sesuai dengan data Kementerian Pendidikan Tinggi, saat ini terdapat 117 fakultas kedokteran yang tersebar di berbagai provinsi. Dari angka tersebut, 23 fakultas kedokteran baru berdiri pada 2023 dan 2024 atau sejak pemerintah mencabut moratorium pembukaan fakultas kedokteran. Moratorium itu diberlakukan pada 2016 ketika izin pendirian fakultas kedokteran makin banyak.

Menteri Satryo mengatakan pembatasan pendirian fakultas kedokteran bukan berarti pemerintah mengabaikan kondisi kekurangan dokter saat ini. Ia menjelaskan, opsi terbaik untuk mengatasi kekurangan dokter justru dengan jalan mendorong fakultas kedokteran yang sudah ada untuk menambah kuota penerimaan mahasiswa baru. “Agar lebih cepat. Terlalu lama prosesnya jika harus mendirikan fakultas kedokteran lagi,” kata mantan Rektor Universitas Indonesia ini.

Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan, jumlah dokter umum di Indonesia hingga tahun lalu mencapai 156 ribu orang. Kementerian Kesehatan mengatakan Indonesia masih kekurangan dokter umum sekitar 124 ribu orang, dengan asumsi terdapat satu dokter umum per seribu penduduk. Adapun total penduduk Indonesia per 2024 sebanyak 282 juta jiwa.

Pemerintah membutuhkan waktu lama untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebab, rata-rata lulusan dokter umum setiap tahun hanya mencapai 12 ribu orang.

Indonesia juga masih sangat kekurangan dokter spesialis. Jumlah dokter spesialis hingga tahun lalu sebanyak 49.670 orang. Dari angka ini, menunjukkan Indonesia kekurangan dokter spesialis sebanyak 29.179 orang, dengan asumsi ideal 0,28 dokter spesialis per seribu penduduk.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah membeberkan dampak buruk akibat kekurangan dokter spesialis. Ia mengatakan penyebab tingginya angka kematian akibat penyakit jantung karena minimnya jumlah dokter spesialis jantung yang memiliki kompetensi intervensi atau kardio intervensi.

Kardio intervensi adalah bidang yang bertujuan untuk membantu penderita penyakit jantung melalui pengelolaan penyakit dan gejala terkaitnya tanpa memerlukan operasi besar. Sesuai dengan catatan Kementerian Kesehatan pada tahun lalu, Indonesia masih kekurangan 1.500 dokter spesialis jantung.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat sekitar 296 ribu orang di Indonesia yang meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskular setiap tahun. "Kami ingin secepatnya mempersiapkan layanan agar bisa menyelamatkan ratusan ribu warga kita yang meninggal setiap tahun," kata Menteri Budi pada 6 Januari 2025.

Menteri Satryo melanjutkan, pertimbangan lain dengan rencana pembatasan pendirian fakultas kedokteran baru adalah urusan kualitas lulusan calon dokter di perguruan tinggi. “Saat ini masih banyak (fakultas kedokteran) yang kualitasnya masih terbilang rendah. Masih banyak dokter yang diluluskan ternyata tidak lulus uji kompetensi,” kata Satryo.

Kementerian Pendidikan Tinggi mengatur bahwa rasio ideal dosen dan mahasiswa program S-1 studi kedokteran adalah 1 : 10. Artinya, satu dosen untuk sepuluh mahasiswa calon dokter. Selanjutnya, rasio ideal perbandingan dosen dan mahasiswa program dokter spesialis adalah 1 : 5.

Namun, fakta di lapangan, masih ada fakultas kedokteran dengan rasio perbandingan dosen dan mahasiswa 1 : 40. Media ini pernah mengungkap langkah pemerintah yang mengobral izin fakultas kedokteran meski tak memenuhi ketentuan. Hasil investigasi tersebut terbit dengan artikel berjudul “Obral Izin Sekolah Dokter” pada 2016.

Satryo mengatakan Kementerian Pendidikan Tinggi akan menyisir kembali fakultas kedokteran yang dinilai tidak layak atau memiliki kompetensi yang rendah. Kementerian Pendidikan Tinggi akan menindak jika menemukan ada fakultas kedokteran yang menyimpang dari ketentuan. “Kami akan kurangi atau menghentikan sementara penerimaan mahasiswa baru sampai dilakukan perbaikan,” kata Satryo.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia periode 2022-2025, Mohammad Adib Khumaidi, di kantor pusat IDI, Jakarta, 11 Juli 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Mohammad Adib Khumaidi merespons positif rencana pembatasan pendirian fakultas kedokteran tersebut. Ia mengatakan pembatasan ini akan berdampak baik terhadap dunia kedokteran, terutama dalam menjaga muruah dan kualitas calon dokter di kampus. “Kita bukan bicara lagi soal kuantitas, tapi kualitas,” kata Adib.

Adib juga sependapat dengan rencana Kementerian Pendidikan Tinggi menambah kuota mahasiswa baru di setiap fakultas kedokteran untuk mengatasi kekurangan dokter. Ia menilai rencana tersebut merupakan opsi terbaik karena pemerintah tak membutuhkan waktu lama untuk memastikan kualitas lulusan calon dokter di kampus. “Jadi, fokus menguatkan (fakultas kedokteran). Jangan berpikir untuk menambah jumlah fakultas kedokteran lagi, sementara kualitas stagnan,” ujar Adib.

Anggota Komisi Bidang Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Irma Suryani Chaniago, juga sependapat dengan rencana Kementerian Pendidikan Tinggi tersebut. Politikus Partai NasDem ini menyarankan pemerintah berkonsentrasi menguatkan fakultas kedokteran yang sudah ada.

Ia mencontohkan saat pemerintah mengobral izin sekolah keperawatan. Akibatnya, jumlah sekolah keperawatan membeludak, tapi tak diiringi dengan jaminan kualitas. “Di setiap kabupaten ada sekolah kesehatan, tapi lulusannya tidak seluruhnya memenuhi kompetensi,” ucap Irma.

Irma juga menyinggung biaya kuliah di fakultas kedokteran yang sangat mahal. Ia menyarankan Kementerian Pendidikan Tinggi dan pihak kampus dapat menurunkan biaya kuliah di fakultas kedokteran. Sebab, biaya yang tinggi itu membuat masyarakat miskin kesulitan mengaksesnya. “Penambahan kuota seharusnya dibarengi dengan penurunan biaya kuliah,” ujarnya.

Pengamat kebijakan publik sekaligus pengajar pada Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan pemerintah memang semestinya meninjau ulang biaya kuliah di fakultas kedokteran. “Agar bukan hanya orang tertentu yang bisa jadi dokter, tapi anak yang kurang mampu dan cerdas juga punya kesempatan,” tuturnya.

Trubus khawatir Indonesia akan sulit memenuhi jumlah rasio ideal dokter karena sulitnya calon mahasiswa mengakses pendidikan kedokteran yang berbiaya mahal tersebut. “Jadi, kalau mau difokuskan di kampus yang sudah ada, pertimbangan biaya juga harus ditinjau ulang,” ucapnya.

Menteri Satryo menjelaskan, persoalan biaya kuliah pendidikan dokter merupakan urusan terpisah dari rencana pembatasan pendirian fakultas kedokteran baru. Ia mengatakan Kementerian Pendidikan Tinggi juga akan membahas urusan biaya kuliah di fakultas kedokteran.

Hanin Marwah berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Andi Adam Faturahman

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus