Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pendiri KedaiKOPI: Gerakan Adili Jokowi Sulit Diwujudkan

Hensa mengatakan sulit bagi Prabowo untuk mengadili Jokowi. Prabowo tak ingin terpisah dengan Jokowi.

14 Februari 2025 | 12.30 WIB

Petugas Satuan Polisi Pamong Praja mengecat ulang vandalisme tulisan "Adili Jokowi" di Kota Surabaya, Jawa Timur, 7 Februari 2025. Antara/HO-Satpol PP Kota Surabaya
material-symbols:fullscreenPerbesar
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja mengecat ulang vandalisme tulisan "Adili Jokowi" di Kota Surabaya, Jawa Timur, 7 Februari 2025. Antara/HO-Satpol PP Kota Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan sulit bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengadili mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Hal ini ia ungkapkan menanggapi fenomena maraknya gerakan “adili Jokowi”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hensa, sapaan akrabnya, menilai gerakan-gerakan untuk mengadili Presiden ke-7 RI tersebut akan sulit terjadi karena Presiden Prabowo Subianto tidak terlihat ingin pisah dengan Jokowi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Ini ada aksi-aksi untuk adili Jokowi, kalau menurut saya enggak akan kejadian ya," kata Hensa dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 14 Februari 2025. "Hal itu mudah dibuktikan dengan pernyataan Prabowo yang melontarkan adanya pihak yang ingin memisahkan dirinya dengan Jokowi, jadi menurut saya enggak akan kejadian, Prabowo aja enggak mau pisah sama Jokowi.”

Pendiri lembaga survei dan konsultan politik KedaiKOPI ini menilai gerakan untuk mengadili Jokowi itu pun sulit terjadi dikarenakan Indonesia memiliki sejarah di mana presiden lama tidak pernah diganggu oleh presiden baru.

Hensa mencontohkan Soeharto yang sejak era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono tidak diadili atas kesalahan-kesalahan dan dugaan korupsi terhadapnya.

"Kenapa saya bilang gak akan kejadian? Karena si presiden yang baru itu enggak ingin nasibnya dia seperti presiden yang dia gangguin gitu," ujarnya. "Contohnya gini, Soeharto itu kan di zaman Gus Dur, Megawati, hingga SBY gak digangguin kan, jadi gak bisa diadili juga. Mungkin ada kesepakatan seperti itulah antara Jokowi dan Prabowo," lanjutnya.

Hensa melihat, belum ada kebijakan Jokowi yang dapat dijadikan alasan untuk mengadili sang presiden ke-7 tersebut. Selain itu, ia pun melihat masyarakat Indonesia juga tidak ingin terlihat menyalahkan presidennya atas segala krisis yang terjadi di Tanah Air.

"Sehingga begini, sampai saat ini saja kroni-kroni yang diadili karena kebijakan bapaknya juga belum ada sih, jadi kemungkinan adili Jokowi tuh juga kecil," kata Hensa. "Dan orang Indonesia juga lebih banyak yang menginginkan kalau sama presiden itu kan nggak melulu-salah gitu, orang Indonesia yang mudah memaafkan ini lebih ingin mengingat Presiden dari sisi positif, bukan negatif.”

Tulisan “Adili Jokowi” muncul di sejumlah kota. Aksi vandalisme itu terjadi di Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Bahkan, tulisan itu muncul di 24 lokasi di sembilan kecamatan di Surabaya.

Jokowi menilai aksi itu merupakan bentuk ungkapan ekspresi kekecewaan. Salah satu dugaan Jokowi, aksi itu adalah ekspresi karena kalah di pemilihan presiden. Namun Jokowi tidak menyebut periode pilpres yang dimaksud.

"Itu ekspresi bisa macam-macam. Ekspresi karena kekalahan di pilpres bisa," kata Jokowi dalam wawancara khusus dengan jurnalis sekaligus pemilik Narasi TV, Najwa Shihab, yang ditayangkan di akun YouTube Najwa Shihab dengan judul "(Ekslusif) Jokowi soal IKN, Gibran, dan Adili Jokowi | Mata Najwa" pada Selasa, 11 Februari 2025. Najwa sudah mengizinkan Tempo mengutip tayangan dalam video tersebut, Rabu, 12 Februari 2025.

Selain ungkapan kekecewaan kalah pilpres, Jokowi menilai, aksi itu karena perasaan kesal terhadap sesuatu. Jokowi mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. "Saya kira ini negara demokratis. Biasa-biasa saja menanggapinya," kata dia.

Saat ditanya apakah aksi tersebut adalah bentuk operasi politik, Jokowi tidak menutup kemungkinan. Ia kembali menyebut masih ada pihak yang belum berdamai dengan hasil pilpres. Jokowi menuduh ada pihak yang ingin menjatuhkan dirinya. 

"Masih ada yang belum move on sehingga berusaha untuk men-downgrade. Kalau saya biasa," kata Jokowi.

Sebelumnya Presiden Prabowo Subianto mengklaim ada yang mencoba memisahkan dirinya dengan Jokowi saat ia menyampaikan pidato di Kongres XVIII Muslimat Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa Timur, Senin, 10 Februari 2025.

Awalnya, Prabowo bercerita dirinya tidak terlalu dekat dengan Gubernur Jawa Timur terpilih Khofifah Indar Parawansa. Ia mengaku baru bertemu dengan Khofifah menjelang pemilihan presiden 2024 setelah disuruh oleh Jokowi. 

Prabowo pun mengaku belajar politik dari Jokowi dan menyayangkan sekondannya itu dijelek-jelekan setelah tidak berkuasa. 

“Ada yang sekarang mau misah-misahkan saya sama Pak Jokowi. Lucu juga. Untuk bahan ketawa boleh,” kata Prabowo dalam pidatonya. 

Ketua Umum Partai Gerindra itu pun meminta agar jangan ikut memecah belah. Menurut Prabowo, mereka yang memecah belah adalah orang yang tidak suka dengan Indonesia seperti penjajah Belanda memecah belah rakyat. 

 “Dari ratusan tahun devide et impera itu adalah taktik strategi untuk memecah belah umat dan bangsa Indonesia, enggak usah dihiraukan,” tuturnya.

Pilihan Editor: Soal Rencana Jokowi Membentuk Partai Super Tbk, Relawan: 100 Persen Dimiliki Anggota

Hendrik Yaputra dan Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus