MENTERI PU Purnomosidi Hajisarosa meletakkan kaca matanya, lalu
mengambil sehelai kertas. Ia menekuk kedua sisi kertas itu
selebar sekitar 5 cm. Jadilah "gambaran" jembatan Krueng Baro
Aceh Selatan. "Jembatan ini ambrol tahun lalu ketika sedang
dikerjakan," katanya.
Siapa yang salah? Mengenakan kembali kaca matanya, Menteri
Purnomosidi kemudian menjawab Saur Hutabarat dari TEMPO:
Kalau terjadi penyimpangan di bidang konstruksi bangunan,
termasuk SD Inpres, jelas itu tanggung jawab Menteri PU. Saya
tidak boleh mengatakan itu tanggung jawab pihak kabupaten. Tapi
tidak berarti bahwa Menteri PU harus keluyuran sampai ke semua
SD Inpres. Minimum, menteri mengamankan, konstruksi SD Inpres
itu telah punya pedoman. Sebab pekerjaan bangunan secara umum
ada syarat-syaratnya. Pedoman itu yang harus dijalankan.
Apa pedoman itu sudah dilaksanakan?
Setelah kejadian yang menimpa berbagai SD Inpres, paling tidak
kami ingin mendapat informasi dulu. Sebenarnya SD Inpres itu
siapa pelaksananya, penanggung jawab, dan juga siapa
pengawasnya. Juga diteliti, apakah bestek itu sudah mengikuti
ketentuan. Kalau ketentuan-ketentuan itu belum sampai ke daerah,
ya, itulah kelemahan menteri PU.
Jadi siapa sebenarnya yang mengawasi proyek SD Inpres ini?
Aspek otonomi pemerintah daerah yang lebih menonjol. Kami punya
kesulitan untuk menembus sampai ke kabupaten Kami mulai
menyentuhnya melalui penataran pengawas. Baru tiga ribu orang
yang ditatar, padahal yang diperlukan sekitar sepuluh ribu. Dan
ini umumnya berasal dari PU Tingkat I.
Secara umum jumlah pengawas tidak isa meningkat sebanyak proyek.
Dilihat dari sudut anggaran saja, kemajuan pembangunan memang
cepat sekali. Anggaran tahun 1969/1970 hanya Rp 118 milyar, dan
sekarang Rp 8.600 milyar. Untuk proyek besar, bisa disediakan
pengawas yang kerjanya seharian hanya di proyek itu saja. Tapi
tidak bisa untuk semua proyek, terutama yang kecil-kecil. Maka
pengawas kerjanya keliling, dari proyek yang satu ke proyek yang
lain.
Pernahkah terjadi besteknya yang salah?
Pernah. Saya ambil kasus bendungan Sungai Seluma, Bengkulu
Selatan. Kita kekurangan data tektonik. Terjadi gempa bumi tahun
1976, yang angka-angkanya di luar perhitungan. Bendungan itu
terpaksa didisain kembali. Waktu itu, kita malah bilang untung
terjadi gempa sebelum proyek selesai. Kalau tidak, kan ambrol.
Jika ternyata kontraktor yang salah, tindakan apa yang akan
diambil PU?
Tugas PU selain mengamankan bangunan, juga sambil membina
kontraktor. Kalau ada kontraktor yang goblok, sehingga
pekerjaannya harus dibongkar, tidak langsung kontraktornya tidak
dipakai lagi. Siapa sih yang mendidik kontraktor? Kan tidak ada
sekolah kontraktor. Pendidikan kontraktor adalah pekerjaan itu
sendiri.
Kenapa tidak dicari pelaksana yang lain?
Lha, pelaksana Indonesia begitu semua. Jadi lebih baik disainnya
disesuaikan dengan kemampuan pemborong. Faktor keamanan jembatan
ditinggikan, sehingga kekurangan si kontraktor diimbangi agar
tidak ambruk.
Apakah ini juga karena munculnya pemborong yang tidak cakap,
yang perusahaannya berdiri untuk memenuhi Keppres 14 A?
Keppres 14 A itu memang baru bicara kesempatan. Tapi belum
kemampuan. Kemampuan mengelola perusahaan, maupun teknis. Banyak
kontraktor yang tidak tahu apa itu cash flow (perputaran modal)
yang merupakan bagian penting dalam mengelola perusahaan.
Adakah toleransi untuk menyimpang dari bestek?
Jika terjadi hal-hal di lapangan yang belum tertampung dalam
bestek, penyesuaian bisa dilakukan. Tapi penyesuaian yang
disepakati bersama, dan bukan pencurian.
Atau toleransi lain. Plester misalnya, pernah dipersoalkan di
koran, apakah bisa diturunkan dari tebal 2,5 cm menjadi 1 cm
saja. Kami menjawab boleh saja, sebab memang yang diperlukan 1
cm saja. Tapi membuat plester 1 cm itu sukar sekali. Tidak
banyak kontraktor yang bisa. Tebal plester sengaja dibesarkan
untuk angka keamanan. Tapi kalau pemborong bisa membuat 1 cm
saja dengan baik, itu keuntungan si pemborong. Sebab kami
membayar untuk 2,5 cm, dan ini kebaikan si pemberi pekerjaan.
Jadi kontraktor bisa untung tanpa perlu main?
Bisa, bisa. Bahkan jelas disebutkan keuntungan 10%. Juga ada
untuk risiko 5%. Keuntungan bisa membesar atau mengecil, itu
tergantung pada kepintaran, kecerdikan, serta keahlian si
pemborong.
Lalu apa yang menyebabkan komisi dan lain-lain itu?
Yang namanya korupsi itu kaitannya bukan dengan peraturan. Kalau
sudah maling, dikasih pagar, ya mbobol. Dia ngerti lubangnya.
Kami pernah mengeluarkan daftar isian yang menyangkut semua
tahap pekerjaan mulai dari prakualifikasi, tender sampai pada
pelaksanaan. Konsultan dan kontraktor wajib mengisi daftar isian
ini yang sifatnya rahasia dan langsung dikirimkan pada eselon 1.
Antara lain ditanyakan: pernahkah membayar pada seseorang,
berapa, dalam kaitan apa? Siapa yang menerima, dan apakah
pembayaran itu sesuai dengan peraturan? Tapi umumnya mereka tak
mau mengisi. Ternyata pemborong tidak koperatif untuk
memberantas korupsi.
Lalu sekarang saya minta dikeluarkan surat edaran, yang tidak
mau mengisi tidak diperbolehkan mengikuti tender. Korupsi, tidak
bisa diberantas jika kedua belah pihak tidak koperatif unnlk
memberantas, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini