Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masalah Penyelewengan

Menteri PU, masalah penyelewengan atau penyimpangan bestek.(nas)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI PU Purnomosidi Hajisarosa meletakkan kaca matanya, lalu mengambil sehelai kertas. Ia menekuk kedua sisi kertas itu selebar sekitar 5 cm. Jadilah "gambaran" jembatan Krueng Baro Aceh Selatan. "Jembatan ini ambrol tahun lalu ketika sedang dikerjakan," katanya. Siapa yang salah? Mengenakan kembali kaca matanya, Menteri Purnomosidi kemudian menjawab Saur Hutabarat dari TEMPO: Kalau terjadi penyimpangan di bidang konstruksi bangunan, termasuk SD Inpres, jelas itu tanggung jawab Menteri PU. Saya tidak boleh mengatakan itu tanggung jawab pihak kabupaten. Tapi tidak berarti bahwa Menteri PU harus keluyuran sampai ke semua SD Inpres. Minimum, menteri mengamankan, konstruksi SD Inpres itu telah punya pedoman. Sebab pekerjaan bangunan secara umum ada syarat-syaratnya. Pedoman itu yang harus dijalankan. Apa pedoman itu sudah dilaksanakan? Setelah kejadian yang menimpa berbagai SD Inpres, paling tidak kami ingin mendapat informasi dulu. Sebenarnya SD Inpres itu siapa pelaksananya, penanggung jawab, dan juga siapa pengawasnya. Juga diteliti, apakah bestek itu sudah mengikuti ketentuan. Kalau ketentuan-ketentuan itu belum sampai ke daerah, ya, itulah kelemahan menteri PU. Jadi siapa sebenarnya yang mengawasi proyek SD Inpres ini? Aspek otonomi pemerintah daerah yang lebih menonjol. Kami punya kesulitan untuk menembus sampai ke kabupaten Kami mulai menyentuhnya melalui penataran pengawas. Baru tiga ribu orang yang ditatar, padahal yang diperlukan sekitar sepuluh ribu. Dan ini umumnya berasal dari PU Tingkat I. Secara umum jumlah pengawas tidak isa meningkat sebanyak proyek. Dilihat dari sudut anggaran saja, kemajuan pembangunan memang cepat sekali. Anggaran tahun 1969/1970 hanya Rp 118 milyar, dan sekarang Rp 8.600 milyar. Untuk proyek besar, bisa disediakan pengawas yang kerjanya seharian hanya di proyek itu saja. Tapi tidak bisa untuk semua proyek, terutama yang kecil-kecil. Maka pengawas kerjanya keliling, dari proyek yang satu ke proyek yang lain. Pernahkah terjadi besteknya yang salah? Pernah. Saya ambil kasus bendungan Sungai Seluma, Bengkulu Selatan. Kita kekurangan data tektonik. Terjadi gempa bumi tahun 1976, yang angka-angkanya di luar perhitungan. Bendungan itu terpaksa didisain kembali. Waktu itu, kita malah bilang untung terjadi gempa sebelum proyek selesai. Kalau tidak, kan ambrol. Jika ternyata kontraktor yang salah, tindakan apa yang akan diambil PU? Tugas PU selain mengamankan bangunan, juga sambil membina kontraktor. Kalau ada kontraktor yang goblok, sehingga pekerjaannya harus dibongkar, tidak langsung kontraktornya tidak dipakai lagi. Siapa sih yang mendidik kontraktor? Kan tidak ada sekolah kontraktor. Pendidikan kontraktor adalah pekerjaan itu sendiri. Kenapa tidak dicari pelaksana yang lain? Lha, pelaksana Indonesia begitu semua. Jadi lebih baik disainnya disesuaikan dengan kemampuan pemborong. Faktor keamanan jembatan ditinggikan, sehingga kekurangan si kontraktor diimbangi agar tidak ambruk. Apakah ini juga karena munculnya pemborong yang tidak cakap, yang perusahaannya berdiri untuk memenuhi Keppres 14 A? Keppres 14 A itu memang baru bicara kesempatan. Tapi belum kemampuan. Kemampuan mengelola perusahaan, maupun teknis. Banyak kontraktor yang tidak tahu apa itu cash flow (perputaran modal) yang merupakan bagian penting dalam mengelola perusahaan. Adakah toleransi untuk menyimpang dari bestek? Jika terjadi hal-hal di lapangan yang belum tertampung dalam bestek, penyesuaian bisa dilakukan. Tapi penyesuaian yang disepakati bersama, dan bukan pencurian. Atau toleransi lain. Plester misalnya, pernah dipersoalkan di koran, apakah bisa diturunkan dari tebal 2,5 cm menjadi 1 cm saja. Kami menjawab boleh saja, sebab memang yang diperlukan 1 cm saja. Tapi membuat plester 1 cm itu sukar sekali. Tidak banyak kontraktor yang bisa. Tebal plester sengaja dibesarkan untuk angka keamanan. Tapi kalau pemborong bisa membuat 1 cm saja dengan baik, itu keuntungan si pemborong. Sebab kami membayar untuk 2,5 cm, dan ini kebaikan si pemberi pekerjaan. Jadi kontraktor bisa untung tanpa perlu main? Bisa, bisa. Bahkan jelas disebutkan keuntungan 10%. Juga ada untuk risiko 5%. Keuntungan bisa membesar atau mengecil, itu tergantung pada kepintaran, kecerdikan, serta keahlian si pemborong. Lalu apa yang menyebabkan komisi dan lain-lain itu? Yang namanya korupsi itu kaitannya bukan dengan peraturan. Kalau sudah maling, dikasih pagar, ya mbobol. Dia ngerti lubangnya. Kami pernah mengeluarkan daftar isian yang menyangkut semua tahap pekerjaan mulai dari prakualifikasi, tender sampai pada pelaksanaan. Konsultan dan kontraktor wajib mengisi daftar isian ini yang sifatnya rahasia dan langsung dikirimkan pada eselon 1. Antara lain ditanyakan: pernahkah membayar pada seseorang, berapa, dalam kaitan apa? Siapa yang menerima, dan apakah pembayaran itu sesuai dengan peraturan? Tapi umumnya mereka tak mau mengisi. Ternyata pemborong tidak koperatif untuk memberantas korupsi. Lalu sekarang saya minta dikeluarkan surat edaran, yang tidak mau mengisi tidak diperbolehkan mengikuti tender. Korupsi, tidak bisa diberantas jika kedua belah pihak tidak koperatif unnlk memberantas, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus