KANTOR Menteri Pertahanan Israel di Jerusalem sibuk pekan lalu.
Beberapa orang staf membakar dokumen, sementara mesin penghancur
kertas bekerja hampir tanpa istirahat. Sang menteri, Ariel
Sharon, sedang bebenah untuk meninggalkan kementerian itu, yang
sejak Agustus 1981 sudah hampir identik dengan dirinya.
Ariel Sharon, 54 tahun, harus mengundurkan diri dari jabatannya
atas desakan masyarakat dan rekan-rekannya di dalam kabinet.
Ketua Mahkamah Agung, Yitzhak Khane, yang mengepalai komisi
penyelidik Israel tentang pembantaian di Sabra dan Shatila,
mempersalahkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Ariel Sharon
pribadi "secara tak langsung bertanggung jawab." Pembantaian itu
dilakukan oleh milisi Kristen Falange terhadap hampir 1.000
pengungsi Palestina di kamp itu.
Tetapi kepergian Sharon dari Kementerian Petahanan tidak
langsung berarti dia keluar dari kabinet Perdana Menteri
Menachem Begin. Konon dia akan menjabat menteri tanpa
portofolio, yang mungkin sekali akan menangani masalah pemukiman
Yahudi di Pantai Barat Sungai Yordan. Dengan demikian Begin akan
dapat memperlihatkan bahwa politik kerasnya tidak berubah.
Dalam jabatan baru itu, Sharon juga akan tetap mempunyai
pengaruh besar dalam pengambilan kebijaksanaan pemerintah.
Karena itu, orang kini mempertanyakan, apakah kepergian Sharon
dari Kementerian Pertahanan akan berarti berakhirnya Sharonisme.
Istilah itu menunjukkan cara berpikir sejumlah anggota
masyarakat Israel yang menganut aliran "rajawali" (galak) dalam
menghadapi dunia Arab. Sharon, dalam tulisannya lebih setahun
lalu, Israel's strategic problems in the 1980's (Soal-soal
strategi Israel dalam tahun 1980-an), mengungkapkan kesediaannya
melakukan preemptive military action, yaitu lebih dini
menghadapi setiap kemungkinan ancaman dengan aksi militer.
Membuktikan konsepnya itu, Sharon pernah melancarkan pengeboman
terhadap pusat nuklir Irak di dekat Baghdad. Dia juga akan
merintangi setiap gerakan pasukan atau pemusatan pasukan apa pun
yang mencurigakan. Menurut pandangan Sharon, Israel dan wilayah
yang kini didudukinya tidak lebih aman dari pada keadaan sebelum
perang 1967.
Jika Sharon, sebagai menteri tanpa portofolio, sampai menangani
soal pemukiman Yahudi di Pantai Barat Sungai Yordan, maka
harapan akan datangnya semacam isyarat, berupa penghentian
pembangunan pemukiman di wilayah yang diduduki Israel itu,
mungkin segera sirna. Isyarat seperti itu ditunggu oleh Raja
Hussein dari Yordania, sebelum memutuskan apakah dia akan ikut
serta dalam pembicaraan Rencana Reagan bagi penyelesaian soal
Timur Tengah.
Bagi pemerintah Amerika belakangan ini, Sharon, yang bertubuh
sangat gemuk dan digelari "si lokomotif" itu adalah perintang
besar dalam Rencana Reagan. Presiden Reagan mengusulkan suatu
otonomi bagi rakyat Palestina di Pantai Barat Sungai Yordan dan
Gaza dalam suatu konfederasi dengan Kerajaan Yordania, tapi
bukan negara Palestina yang merdeka. Dengan kepergian Sharon
dari Kementerian Pertahanan, Amerika konon mengharapkan akan
adanya keluwesan dalam sikap pemerintah Israel untuk menerima
Rencana Reagan yang diajukan 1 September lalu.
Juga Washington mengharapkan pemerintahan Begin sekarang akan
lebih bersikap toleran terhadap rencana Amerika bagi penarikan
mundur pasukan asing Israel, Suriah dan PLO) dari Libanon.
Sharon sejauh ini selalu menentang perluasan wewenang pasukan
multinasional termasuk Mirinir Amerika, yang menjaga keamanan di
Libanon. Bahkan dia mendiskreditkan peran mereka.
Washington percaya, bila Sharon keluar dari kabinet sama sekali,
maka Menteri Luar Negeri, Yitzhak Shamir, dan Ketua perunding
Israel di Libanon, David Kimche, akan memegang peran yang lebih
besar dalam perundingan itu. Pandangan dan pikiran kedua orang
ini lebih berterima di kalangan pemerintahan di Washington.
Sebagai calon pengganti Sharon disebut-sebut nama Moshe Arens,
57 tahun, yang kini menjadi Dubes Israel untuk Amerika.
Bila skenario politik itu berlaku, Amerika akan dapat
melaksanakan kedua tujuan utamanya: penarikan mundur pasukan
Israel dari Libanon dan melaksanakan prakarsa perdamaian Reagan.
Seberapa jauh pemikiran itu akan berhasil, tampaknya banyak
bergantung pada seberapa kuat Sharonisme itu berakar dalam
pemikiran di Jerusalem. Tetapi, bila keresahan dan demonstrasi
yang kini melanda Israel, yang menuntut Sharon keluar sama
sekali dari kabinet sampai tak terkendalikan dan kabinet Begin
jatuh, soalnya mungkin akan lebih baik bagi Reagan. Ini, bila
pemerintahan Likud yang sekarang berkuasa itu digantikan oleh
pemerintahan (Partai) Buruh yang kini beroposisi.
Washington tidak merahasiakan bahwa Amerika lebih menyukai
Partai Buruh berkuasa di Israel. Partai itu kini dipimpin oleh
Shimon Peres. Dan Peres sendiri sudah menyatakan persetujuannya
atas usul Reagan bagi Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini