Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ragam Reaksi atas Pengesahan Revisi UU TNI

Tujuh Mahasiswa Universitas Indonesia menggugat revisi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, karena menilai proses pembentukannya inkonstitusional.

21 Maret 2025 | 20.40 WIB

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024/2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Maret 2025. Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024/2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Maret 2025. Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REVISI Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau revisi UU TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025.

Terdapat sejumlah perubahan dalam UU TNI tersebut, di antaranya mengenai kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang (OMSP), penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, serta perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.

Sejumlah kalangan memprotes pengesahan revisi UU TNI itu, dari mahasiswa hingga masyarakat sipil. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.

Mahasiswa Gugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi

Tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) mengajukan gugatan uji formil terkait dengan revisi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini teregistrasi di situs resmi Mahkamah dengan Nomor Perkara 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

Kuasa hukum pemohon, Abu Rizal Biladina, mengatakan para pemohon melayangkan gugatan uji formil UU TNI dilayangkan karena menilai proses pembentukannya inkonstitusional. “Proses pembentukannya sangat janggal dan tergesa-gesa,” kata Abu Rizal di gedung MK, Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

Mahasiswa Fakultas Hukum UI mengajukan gugatan uji formil RUU TNI ke Mahkamah Konstitusi, 21 Maret 2025. Tempo/Andi Adam Faturahman.

Dia menuturkan kejanggalan itu dapat dilihat pada bagaimana DPR mengabaikan tata cara pembentukan dan penyusunan aturan perundang-undangan. 

Menurut dia, dalam proses pembentukan aturan perundang-undangan, telah diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan atau P3 untuk mematuhi azas-azas yang berlaku. Asas tersebut adalah keterbukaan yang dalam hal ini tidak dapat dilaksanakan oleh DPR dalam pembahasan RUU TNI. “DPR tidak memberikan atau mempublikasikan naskah akademis sebelum RUU ini disahkan, sehingga jelas ini adalah bentuk pelanggaran,” ujarnya.

Legislator PDIP Minta Panglima Tarik Prajurit dalam Jabatan Sipil di Luar Ketentuan UU TNI

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta TNI yang menjabat di luar 14 kementerian dan lembaga agar segera mengundurkan diri atau pensiun sebagai prajurit. 

Politikus PDIP itu berharap Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto segera mengeluarkan surat perintah menarik para bawahannya dari jabatan sipil yang tidak diakomodasi UU TNI. “Saya mohon kepada Panglima TNI agar segera mengeluarkan surat perintah, sehingga seluruh prajurit aktif yang berada di luar 14 K/L yang diperbolehkan dapat mengundurkan diri atau pensiun sesuai aturan yang berlaku,” kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Purnawirawan perwira tinggi TNI itu mengestimasi jumlah prajurit yang terdampak oleh perubahan ini bisa mencapai ribuan. Sebab, kata dia, banyak prajurit yang saat ini bertugas di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Penyelenggara Haji, dan kementerian serta lembaga lainnya.

Menurut dia,  aturan baru ini merupakan bagian dari upaya memperkuat reformasi TNI agar tetap profesional dan berfokus pada tugas pokoknya dalam pertahanan negara. “Kami ingin memastikan bahwa aturan ini berjalan dengan baik dan semua pihak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” katanya.

Ke-14 jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI dalam Pasal 47 UU TNI adalah:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan

2. Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional

3. Kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden

4. Badan Intelijen Negara

5. Badan Siber dan/atau Sandi Negara

6. Lembaga Ketahanan Nasional

7. Badan Search And Rescue (SAR) Nasional

8. Badan Narkotika Nasional

9. Mahkamah Agung

10. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

11. Badan Penanggulangan Bencana

12. Badan Penanggulangan Terorisme

13. Badan Keamanan Laut

14. Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).

Pengamat Nilai Revisi UU TNI sebagai Legitimasi Perluasan Peran Militer

Adapun pengamat kebijakan publik dari Universitas Nasional, Mego Widi Hakoso, menilai revisi UU TNI merupakan legitimasi perluasan peran militer yang sebenarnya selama ini sudah terjadi. “Momen revisi UU TNI adalah sebuah gerakan politik oleh pemerintah dan DPR untuk melegitimasi atau eksisting perluasan peran militer di badan sipil yang selama ini sudah terjadi,” kata Mego di Pekanbaru, Jumat, 21 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.

Dia menjelaskan revisi UU TNI semakin berkembang karena untuk mendekati tujuan di mana telah memperlihatkan politisi sipil belum memiliki kemauan dan pandangan yang sama terhadap makna dari supremasi sipil.

Karena itu, menurut dia, literasi tentang politik militer perlu diperkuat di universitas-universitas, setidaknya generasi muda memahami perbandingan tipologi militer (revolusioner, profesional, dan pretorian), sehingga memperkuat sipil membangun argumen dan menguatkan makna dari supremasi sipil yang sejalan dengan semangat militer profesional seperti militer di Amerika Serikat.

Dia mengatakan politisi sipil, setelah terpilih, cenderung membutuhkan militer sebagai penunjang operasional di lapangan. Hal ini bisa dimaknai positif (seperti bantuan darurat bencana alam) dan negatif (seperti intelijen politik untuk pemenangan pemilu dan pengawalan sebuah bisnis). “Tidak bisa dimungkiri, selain dari kharisma birokratik militer yang kuat, militer adalah organisasi hierarki, besar dengan perkakas lapangan yang lengkap,” ujarnya.

Dalam hubungan sipil dan militer tersebut, kata dia, politisi sipil merasa memiliki utang budi dengan militer, dan utang budi tersebut melahirkan reaksi perluasan militer pada jabatan sipil dan perpanjangan masa pensiun militer.

Perluasan Wewenang TNI Harus Diawasi dengan Ketat

Anggota Komisi I DPR Amelia Anggraini meminta perluasan wewenang TNI yang diatur dalam revisi UU TNI, yang sudah disahkan menjadi undang-undang, diawasi dengan ketat agar tidak melanggar hak-hak masyarakat sipil. “Kami di DPR juga menekankan perluasan kewenangan ini harus dilakukan secara hati-hati, tetap menghormati prinsip demokrasi, dan tidak boleh melampaui batas yang dapat mengganggu supremasi sipil,” kata dia dalam siaran pers pada Kamis.

Secara garis besar, Amelia mengaku pihaknya setuju dengan substansi yang ditawarkan UU TNI lantaran dapat memperkuat posisi militer dalam melindungi negara. Dia menilai UU ini memberikan landasan hukum yang jelas bagi TNI untuk memperkuat pertahanan siber demi menjawab tantangan keamanan modern seperti perang siber maupun perang hibrida.

Mengenai wewenang TNI masuk ke jabatan sipil, Amelia menilai hal tersebut layak diberlakukan di beberapa instansi yang telah diatur dalam undang-undang. “Untuk jabatan sipil selain yang dikecualikan (selain 14 kementerian atau lembaga), kami tegaskan anggota TNI aktif yang akan mendudukinya harus terlebih dahulu mundur atau pensiun dari kedinasan aktif militernya, agar benar-benar terpisah status militernya ketika mengemban tugas sipil,” ujar politikus Partai Nasdem itu.

Andi Adam Faturahman, Hammam Izzuddin, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Sekolah Rakyat Dibangun Baru, Tidak Tempati Bekas Pesantren

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus