Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

BGN Buka Opsi Jadikan Kantin Sekolah Dapur MBG

Pendekatan dapur MBG dikelola kantin, kata kepala BGN, sebetulnya sudah mulai diterapkan di beberapa sekolah seperti BOSOWA Bina Insani.

25 April 2025 | 15.05 WIB

Siswa membeli jajanan di kanton SMPN 138, Jakarta, 7 Januari 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Siswa membeli jajanan di kanton SMPN 138, Jakarta, 7 Januari 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Gizi Nasional (BGN) membuka opsi desentralisasi pengolahan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyusul kasus keracunan massal di Kabupaten Cianjur. Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan pemberdayaan kantin sekolah dan ibu-ibu kantin bisa menjadi bagian dari solusi jangka panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami akan kombinasikan, terutama untuk sekolah-sekolah yang jumlah muridnya cukup,” kata Dadan kepada Tempo pada Jumat, 25 April 2025.

Menurut dia, pendekatan tersebut sebetulnya sudah mulai diterapkan di beberapa sekolah seperti BOSOWA Bina Insani. Dalam model ini, dapur tidak lagi terpusat di satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG), tetapi dikelola lebih dekat ke lokasi konsumsi oleh warga sekolah sendiri.

Tujuannya, kata dia, untuk mempersingkat waktu distribusi dan menjaga kualitas makanan tetap prima saat dikonsumsi. Model dapur desentralistik juga dinilai sejalan dengan saran sejumlah ahli gizi.

Selain memperpendek rantai distribusi makanan, dapur sekolah yang dikelola langsung oleh kantin dapat mengantisipasi risiko kontaminasi atau kerusakan makanan akibat penyimpanan lama.

Masukan lain dari para pakar, seperti penyediaan wadah pemanas untuk menjaga suhu makanan setelah dimasak, juga direspons terbuka oleh BGN. “Akan kami evaluasi dan sesuaikan dengan kondisi sekolah di lapangan,” ujar Dadan.

Ahli gizi Tan Shot Yen mengkritik sistem pengelolaan dapur dalam program MBG di sekolah yang dinilainya belum melibatkan partisipasi publik secara memadai. Ia mengusulkan agar pengelolaan makanan dilakukan langsung di kantin sekolah oleh para ibu kantin yang sudah akrab dengan preferensi siswa, bukan oleh lembaga atau yayasan eksternal.

“Kenapa sih nggak memanfaatkan tante kantin? Mereka itu sudah terbiasa masak untuk anak-anak, tahu apa yang disukai. Misalnya anak-anak suka bakso, ya bisa dibuat lebih sehat pakai ikan tenggiri,” ujar Tan saat dihubungi pada Jumat, 25 April 2025.

Tan menilai penggunaan dapur terpusat atau dapur luar sekolah membuat rantai distribusi makanan menjadi panjang dan lebih berisiko dari sisi keamanan pangan. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi dengan dinas kesehatan, terutama unit kesehatan lingkungan (kesling) dari puskesmas, untuk pengawasan kebersihan dan kualitas makanan secara berkala.

“Program seperti ini harus ada monitoring, evaluasi, dan supervisi. Kesling dari puskesmas bisa diturunkan secara rutin untuk memantau dapur-dapur di sekolah,” ujarnya.

Menurut Tan, pelibatan masyarakat bukan hanya memperpendek jalur distribusi makanan, tapi juga sejalan dengan tujuan ekonomi sirkular. “Katanya mau meningkatkan ekonomi sirkuler, ya siapa pemilik UMKM itu? Ya ibu-ibu kantin juga,” katanya.

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus