ANAK perempuan kelas V SD itu tampaknya bingung. PR (pekerjaan
rumah) matematikanya ternyata sulit dipecahkan. Untunglah,
bibinya yang menjadi dosen IKIP menolongnya. Tapi, keesokan
harinya si anak tambah bingung. Soalnya, PR matematika yang
dikerjakan bersama bibinya dianggap salah oleh gurunya. Nyonya
Suharsimi Arikubto, bibi itu, jadi penasaran. "Apa sebenarnya
yang terjadi dengan para guru SD itu?" tanyanya dalam hati. Dan
ternyata bukan cuma bibi ini sendiri yang mengeluh, banyak
orangtua murid pun bingung.
Dan ia tak hanya bertanya. Dosen yang menjadi tenaga peneliti di
IKIP Yogyakarta itu, tahun itu juga, 1979, lantas turun
kelapangan mengadakan penelitian. Dan 24 September lalu di IKIP
Jakarta, disertasi yang didasarkan penelitiannya itu memberinya
gelar doktor pendidikan dengan predikat sangat memuaskan.
Nyonya Suharsimi memang tak langsung meneliti guru SD. Yang
dijadikan respondennya ialah sekitar 1.200 siswa kelas III dari
18 SPG negeri dan swasta di Yogyakarta. Dari mereka dia ingin
tahu kesiapan responden mengajarkan matematika dan IPA (ilmu
pegetahuan alam) di SD. Dipilihnya dua mata pelajaran ini,
selain sebab kasus kemanakannya tersebut, juga karena IPA dan
matematika dianggapnya penting sebagai dasar beajar berpikir
logis.
Maka, ditemukanlah oleh ibu kelahiran Yogyakarta 46 tahun yang
lalu itu persentase-persentase yang menarik. Ternyata tingkat
kesiapan mengajar para siswa kelas III SPG itu begitu rendah.
Untuk matematika, para calon guru SD itu hanya menguasai sekitar
30% bahan. Dan untuk IPA, 49%. Padahal, batas ideal agar
seorang guru bisa mengajar dengan baik ialah harus menguasai 75%
bahan.
Agaknya, guru-guru yang hanya menguasai sebagian bahan itulah,
menurut evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
dan Kebudayaan, yang melahirkan siswa SD yang cuma menguasai
44% pelajaran matematika. Evaluasi itu juga menyatakan, hambatan
bagi pelajaran yang sejak 10 tahun yang lalu menggantikan
pelajaran berhitung ini memang terletak pada guru.
Tentu saja, ada pula sejumlah responden yang menunjukkan
kemampuan lebih. Mereka inilah yang bisa diharapkan menjadi guru
yang baik. Dari penelitian Nyonya Suharsimi diketahui, mereka
yang unggul ini memang datang dari SPG yang baik. Dari angket
yang disebarkan diketahui pula, mereka termasuk siswa yang punya
minat besar menjadi guru SD. Satu hal lagi, kebanyakan yang bisa
diharapkan ini memang mengambil spesialisasi matematika dan IPA
di sekolah. Seperti diketahui, sejak SPG memakai kurikulum 1976,
ada penjurusan untuk guru bidang studi tertentu. Antara lain,
guru bidang studi matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia. Namun,
sampai saat ini baru beberapa SD yang memanpaatkan guru bidang
studi itu di samping guru kelas.
Kembali pada sebagian besar siswa SPG yang memiliki kemampuan
kurang itu, mcnurut Suharsimi, hanyak ditentukan oleh dua
faktor. "Faktor rendahnya tingkat kecerdasan siswa, dan latar
belakang ekonomi orangtua siswa," katanya. Untuk hal kedua itu
yang dimaksud promovendus, agaknya, seandainya orangtua mereka
mampu, mereka tak bakal masuk SPG. Ini memperkuat penelitian
yang pernah ada. Muljono Hendrosiswojo, dosen Universitas
Negeri Jember, tahun lalu dalam disertasinya menyimpulkan,
minat siswa SPG untuk benar-benar menjadi guru rendah. Kalau ada
pilihan lain, mereka lebih suka melakukan pekerjaan yang lain
itu.
Kebenaran kesimpulan disertasi ini diakui oleh Sumaryono, kepala
SPGN I, Yogyakarta. Rendahnya mutu lulusan SPG, atau menurut
istilah Pak Kepala "belum siap pakainya lulusan SPG," karena
"sekarang SPG tak lagi memiliki SD untuk praktek mengajar,"
katanya. Dan para siswa SPG sendiri pun rupanya tak keberatan
terhadap kesimpulan penelitian Suharsimi, dosen IKIP yang dulu
ikut menyusun kurikulum SPG tahun 1972. J.B. Gimana dari kelas
III SPGN I, misalnya, mengakui bahwa "kesiapan penguasaan bahan
sangat mempengaruhi kesiapan mengajar." Cuma, para siswa rupanya
enggan bila diajak bicara seberapa jauh mereka menyiapkan diri
untuk menjadi guru SD nanti.
Pertanyaannya kini ialah mengapa minat siswa SPG untuk menjadi
guru rendah. Untuk ini Nyonya Suharsimi tidak memberi jawaban -
dan itu memang hal di luar penelitiannya. Jawaban masalah ini
datang dari Proyek Pengembangan Pendidikan Guru. Proyek ini
pernah mengadakan penelitian. Salah satu kesimpulannya ialah
"citra guru SD dalam masyarakat ternyata berada di bawah jabatan
sersan, montir mobil, juru tulis kantor, dan perawat rumah
sakit."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini