Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Rahasia guru matematika

Ny. suharsimi meraih gelar doktor dengan disertasinya mengenai calon guru SD terhadap matematika dan IPA rendah. (pdk)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK perempuan kelas V SD itu tampaknya bingung. PR (pekerjaan rumah) matematikanya ternyata sulit dipecahkan. Untunglah, bibinya yang menjadi dosen IKIP menolongnya. Tapi, keesokan harinya si anak tambah bingung. Soalnya, PR matematika yang dikerjakan bersama bibinya dianggap salah oleh gurunya. Nyonya Suharsimi Arikubto, bibi itu, jadi penasaran. "Apa sebenarnya yang terjadi dengan para guru SD itu?" tanyanya dalam hati. Dan ternyata bukan cuma bibi ini sendiri yang mengeluh, banyak orangtua murid pun bingung. Dan ia tak hanya bertanya. Dosen yang menjadi tenaga peneliti di IKIP Yogyakarta itu, tahun itu juga, 1979, lantas turun kelapangan mengadakan penelitian. Dan 24 September lalu di IKIP Jakarta, disertasi yang didasarkan penelitiannya itu memberinya gelar doktor pendidikan dengan predikat sangat memuaskan. Nyonya Suharsimi memang tak langsung meneliti guru SD. Yang dijadikan respondennya ialah sekitar 1.200 siswa kelas III dari 18 SPG negeri dan swasta di Yogyakarta. Dari mereka dia ingin tahu kesiapan responden mengajarkan matematika dan IPA (ilmu pegetahuan alam) di SD. Dipilihnya dua mata pelajaran ini, selain sebab kasus kemanakannya tersebut, juga karena IPA dan matematika dianggapnya penting sebagai dasar beajar berpikir logis. Maka, ditemukanlah oleh ibu kelahiran Yogyakarta 46 tahun yang lalu itu persentase-persentase yang menarik. Ternyata tingkat kesiapan mengajar para siswa kelas III SPG itu begitu rendah. Untuk matematika, para calon guru SD itu hanya menguasai sekitar 30% bahan. Dan untuk IPA, 49%. Padahal, batas ideal agar seorang guru bisa mengajar dengan baik ialah harus menguasai 75% bahan. Agaknya, guru-guru yang hanya menguasai sebagian bahan itulah, menurut evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, yang melahirkan siswa SD yang cuma menguasai 44% pelajaran matematika. Evaluasi itu juga menyatakan, hambatan bagi pelajaran yang sejak 10 tahun yang lalu menggantikan pelajaran berhitung ini memang terletak pada guru. Tentu saja, ada pula sejumlah responden yang menunjukkan kemampuan lebih. Mereka inilah yang bisa diharapkan menjadi guru yang baik. Dari penelitian Nyonya Suharsimi diketahui, mereka yang unggul ini memang datang dari SPG yang baik. Dari angket yang disebarkan diketahui pula, mereka termasuk siswa yang punya minat besar menjadi guru SD. Satu hal lagi, kebanyakan yang bisa diharapkan ini memang mengambil spesialisasi matematika dan IPA di sekolah. Seperti diketahui, sejak SPG memakai kurikulum 1976, ada penjurusan untuk guru bidang studi tertentu. Antara lain, guru bidang studi matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia. Namun, sampai saat ini baru beberapa SD yang memanpaatkan guru bidang studi itu di samping guru kelas. Kembali pada sebagian besar siswa SPG yang memiliki kemampuan kurang itu, mcnurut Suharsimi, hanyak ditentukan oleh dua faktor. "Faktor rendahnya tingkat kecerdasan siswa, dan latar belakang ekonomi orangtua siswa," katanya. Untuk hal kedua itu yang dimaksud promovendus, agaknya, seandainya orangtua mereka mampu, mereka tak bakal masuk SPG. Ini memperkuat penelitian yang pernah ada. Muljono Hendrosiswojo, dosen Universitas Negeri Jember, tahun lalu dalam disertasinya menyimpulkan, minat siswa SPG untuk benar-benar menjadi guru rendah. Kalau ada pilihan lain, mereka lebih suka melakukan pekerjaan yang lain itu. Kebenaran kesimpulan disertasi ini diakui oleh Sumaryono, kepala SPGN I, Yogyakarta. Rendahnya mutu lulusan SPG, atau menurut istilah Pak Kepala "belum siap pakainya lulusan SPG," karena "sekarang SPG tak lagi memiliki SD untuk praktek mengajar," katanya. Dan para siswa SPG sendiri pun rupanya tak keberatan terhadap kesimpulan penelitian Suharsimi, dosen IKIP yang dulu ikut menyusun kurikulum SPG tahun 1972. J.B. Gimana dari kelas III SPGN I, misalnya, mengakui bahwa "kesiapan penguasaan bahan sangat mempengaruhi kesiapan mengajar." Cuma, para siswa rupanya enggan bila diajak bicara seberapa jauh mereka menyiapkan diri untuk menjadi guru SD nanti. Pertanyaannya kini ialah mengapa minat siswa SPG untuk menjadi guru rendah. Untuk ini Nyonya Suharsimi tidak memberi jawaban - dan itu memang hal di luar penelitiannya. Jawaban masalah ini datang dari Proyek Pengembangan Pendidikan Guru. Proyek ini pernah mengadakan penelitian. Salah satu kesimpulannya ialah "citra guru SD dalam masyarakat ternyata berada di bawah jabatan sersan, montir mobil, juru tulis kantor, dan perawat rumah sakit."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus