Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Karena cinta si kancil

Syamsidi alias kancil, 23. ditembak oknum polisi dengan tuduhan gali. banyak orang menyangka penembakan itu akibat cinta segi tiga. (krim)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA Syamsidi alias Kancil, 23 tahun, datang lagi melapor ke kantor polisi - biasanya ia melapor ke Koramil Ngaglik, tempat ia dan sekitar 379 orang yang dikategorikan gali diwajibkan lapor. Bisa diduga, itu sehubungan dengan ramainya pemberitaan tentang penembakan atas dirinya oleh seorang oknum polisi di Pakem bulan lalu Lewat LBH Yogyakarta, Kancii dan kakaknya, Ripman, yang kebetulan kepala dukuh Candidukuh, mengatakan akan menuntut polisi karena menganggap penembakan itu sewenang-wenang. Kasus ini, karena begitu gencar diberitakan, tak ayal menarik perhatian Kepala Daerah Kepolisian Jawa Tengah Mayjen Pol. J.F.R. Montolalu. Adalah Montolalu sendiri yang memerintahkan anak buahnya segera mengusut kasus itu. "Oknum Polri yang terbukti menimbulkan citra buruk di masyarakat akan ditindak tegas," katanya lewat perwira penerangannya. Penegasan ini pula yang meringankan langkah Kancil untuk datang ke kantor polisi Sleman. Berjalan tertatih-tatih dan sesekali memegang perutnya yang ditembus peluru, hari itu, selama 4« jam ia membeberkan semua peristiwa yang dialaminya kepada provost Komando Resort Sleman. Ia tak didampingi penasihat hukumnya dari LBH. "Tak sempat, karena panggilan datang Kamis sore, " kata Ripman kepada TEMPO. Apa yang sebenarnya terjadi belum jelas benar. Versi polisi menyebut "Kancil adalah seorang dari 3 pentolan gali, yang beberapa kali melakukan kejahatan di Muntilan dan Magelang." Komandan Kepolisian Sleman Letkol Pol. Pawoko Tri mengatakan, polisi menyimpan 4 laporan penduduk Pakem yang dirugikan Kancil. "Kejahatan yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak," kata Pawoko. Karena itulah, polisi mewajibkan Kancil lapor setiap minggu ke Koramil ketika operasi pemberantasan kejahatan dilancarkan di daerah itu Maret lalu. Belakangan, sudah tiga minggu Kancil tak datang melapor. Pawoko pun kemudian memerintahkan anak buahnya, Kopral Dua Subarjono, 26 tahun, menangkap Kancil. Apalagi, tutur Pawoko "diterima laporan bahwa ia memeras." Pertengahan September malam, setelah lebih dari seminggu mencari, Subarjono berpapasan dengan Kancil yang sedang naik sepeda motor berboncengan dengan Sumanto. "Saya gertak supaya berhenti, tapi ia lari. Terpaksa saya tembak, setelah lebih dulu saya lepas tembakan peringatan 3 kali," tutur Subarjono kepada TEMPO. Dia memang tak menjelaskan kenapa setelah itu tak langsung membawa korban ke rumah sakit. Tampak tenang, polisi yang mengaku baru sekah itu menarik picu - setelah 4 tahun memegang pistol - hanya sedikit menyesal, karena tembakannya tak tepat mengenai sasaran: "Maksudnya menembak kaki, eh, yang kena perut," ujarnya. Semua penjelasan Pawoko dan Tri itu dibantah Kancil. Pemuda bertubuh hitam itu secara pasti tak paham mengapa Subarjono, "yang saya kenal," itu menembaknya. Jelas-jelas, menurut Kancil, Subarjono yang ketika berpapasan mengenakan kedok "langsung menembak" kepalanya. "Dari sorot lampur motor saya lihat semua. Dua kali tembakan meleset, saya pura-pura jatuh, baru yang ketiga yang kena," katanya. Peluru yang ketiga itulah yang merobek ginjal Kancil. Pemuda lulusan SMP itu dapat diselamatkan para dokter di RS Panti Rapih. Yogya, lewat operasi pemotongan ginjal. Harus membayar biaya pengobatan lebih Rp 500.000 membuat keluarga Kancil penasaran. Begitu Kancil keluar dari rumah sakit, mereka langsung membeberkan kasus penembakan itu, seraya minta keadilan. Jawaban polisi, yang kukuh menuduh Kancil sebagai "gali dan residivis", membuat mereka berang dan bersikeras menuduh ada motif pembunuhan dalam perkara itu. Apalagi, Kancil sendiri mengaku, dia dan Subarjono memang sama-sama menyenangi seorang mahasiswi yang tinggal di belakang kantor polisi Pakem: Valentina Sulistyowati yang berusia 23 tahun. Bahkan, menurut Kancil, dalam persaingan merebut hati Valentina, kepalanya pernah "bocor" kena sangkur Subarjono. "Tapi, saya pernah bilang sama Subarjono, saya sudah mengundurkan diri," ucapnya pelan sambil memandang langit-langit rumahnya. Subarjono sendiri sejak peristiwa itu tak lagi tampak di kantornya. Namun, dari belakang kantornya, Valentina Sulistyowati, gadis hitam manis itu, menjelaskan bahwa hubungannya dengan kedua pria itu tak lebih "hanya kenalan biasa - tidak ada hubunan cinta." Dia sekarang rikuh keluar rumah karena banyak orang mengaitkan peristiwa penembakan itu akibat "cinta segitiga".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus