DI Plered, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, seorang pelajar
diinterogasi gara-gara baca puisi. Tak enaknya lagi, Muhammad
Nasruddin Anshoriy - begitulah pelajar itu menuliskan namanya -
diskors pula dari sekolahnya, Madrasa Aliyah Negeri II,
Yogyakarta sejak 12 September yang lalu.
Ceritanya dimulai dari tanah lapang Desa Plered, 19 Agustu
malam, sewaktu berlangsun perayaan peringatan Hari Proklamasi
ke-38. Acaranya, antara lain, tari-tarian, drama, seni suara,
dan baca puisi.
Nasruddin, yang di kampungnya sudah dikenal sebagai penyair
muda, diminta membacakan sajak-sajaknya. Mula-mula dua temannya
tampil membawakan sajak karya Nasruddin juga. Itu berlalu dengan
selamat, dengan sambutan tepuk tangan penonton sekadarnya.
Lantas tampillah sang penyair membawakan Tetes-tetes Dendam.
Tralala . . . Baaimana pedang seorang pemberontak, Akan kutusuk
dada-dada kalian dengan pisauku, baris pertama meluncur dari
mulutnya. Dan Nasruddin pun bergaya. Mula-mula penonton, ya,
cuma diam. Baru ketika ia sampai kira-kira pada baris ke-30,
nada puisinya semakin galak. Dan apakah pejabat yang baik harus
korupsi ...? Maka, meledaklah tepuk tangan penonton.
Nasruddin pun makin bergairah. Kebetulan baris-baris sajaknya
pun makin seru. Tapi, ketika dengan suara lantang ia berseru:
Hancurkan pejabat-pejabat rakus, eh, mikrofon mati. Penonton di
belakang menyaksikan Nasruddin di panggung cuma komat-kamit
sembari tangannya bersimpang-siur tanpa suara - persis film
bisu.
Adegan itu tak lama. Seseorang, yang kemudian ternyata salah
seorang panitia, memaksa Nasruddin turun panggung. Ada sedikit
perdebatan, tapi kemudian sampai perayaan usai acara baca puisi
memang tak muncul lagi.
Akhirnya, memang, pelajar ini harus berhadapan dengan camat dan
komandan sektor kepolisian setempat. Pak Camat marah. Menurut
Nasruddin, Pak Camat menuduhnya "mendiskreditkan pemerintah dan
melakukan subversi."
Sedangkan, komandan Sektor 962 Bantul, Letnan Dua (pol)
Ngadiran, menganggap puisi Nasruddin "bisa mengganggu keamanan
dan merendahkan wibawa pemerintah." Tapi, "kami tak menahan anak
itu, cuma mewawancarai dan minta keterangan," katanya pula
kepada TEMPO. Toh "panggilan" itu menyebabkan Nasruddin tak
masuk sekolah. Dan anehnya, madrasah negeri setingkat SMTA itu
menjatuhkan sanksi. Alasannya, "Nasruddin tidak masuk sekolah
lebih dari 10 hari."
Menurut Mad Sardan, wakil kepala madrasah itu, sanksi dijatuhkan
lewat rapat dewan guru. "Menunggu keputusan yang berwajib,"
tuturnya. "Kalau dia dinyatakan tak bersalah, akan kami terima
lagi. Tapi kalau ia dinyatakan bersalah, dewan guru akan
berapat lagi. " Pihak sekolah tampaknya tak mencoba membela
muridnya. "Kalau kami membela dia, dikira kami mendukungnya.
Padahal, ini sekolah negeri, " kata Sardan pula.
Walhasil, Nasruddin memang kepepet. Akhirnya, pertengahan
September lalu ia datang ke LBH Jakarta minta bantuan. LBH
Jakarta memberi surat kepada LBH Yogyakarta agar menangani soal
ini.
Di Jakarta penyair dari madrasah itu sempat ketemu Rendra dan
H.B. Jassin. Ia memang pengagum Rendra, si penyair. Puisinya
yang menyebabkan ia diinterogasi pun sangat mirip dengan sajak
Khotbah Rendra. Menurut H.B. Jassin, dokumentator sastra
Indonesia ini, puisinya "belum menjelaskan penalaran yang baik,
pengutaraannya belum berbentuk.
Ini merupakan kasus kedua di Yogyakarta, setelah kasus Eko
Sulistyo dengan angket seksnya yang lalu. Eko waktu itu terpaksa
pindah sekolah karena kegiatan angketnya itu dianggap
"mencemarkan" nama baik sekolahnya. Tanggapan yang tak tepat,
terhadap kreativitas remaja, memang bisa menghasilkan kesimpulan
yang meleset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini