Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah hendak menarik kewenangan mengendalikan pejabat eselon II di daerah ke pusat.
Pengalihan kendali mutasi eselon II akan memindahkan politisasi birokrasi ke pusat.
Perlu lembaga pengawas independen dalam revisi Undang-Undang ASN.
SEUSAI reses pada 20 Januari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat akan membahas revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Salah satu materi yang akan diubah adalah soal netralitas ASN dalam politik praktis. Caranya, menarik kendali mutasi pejabat eselon II di daerah ke pemerintah pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan ini awalnya dari dari Ketua Komisi bidang Pemerintahan DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Dalam Negeri pada 18 November 2024. Belakangan Rifqinizamy mengatakan usulan tersebut akan masuk dalam bagian revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Perubahan Undang-Undang ASN ini masuk daftar Program Legislasi Nasional prioritas 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifqinizamy berdalih revisi Undang-Undang ASN untuk mendorong netralitas pegawai negeri. Di samping itu, politikus Partai NasDem ini mengklaim banyak manfaat jika pejabat eselon II di daerah menjadi pegawai pemerintah pusat. Misalnya, pemerintah bisa membangun sistem merit—manajemen ASN yang didasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan kinerja pegawai secara adil dan wajar—yang merata secara nasional.
Rotasi ASN eselon II, kata Rifqinizamy, akan serupa dengan mutasi jabatan di Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Tentara Nasional Indonesia. Maka pejabat eselon II di suatu daerah berpeluang dimutasi ke instansi pemerintah pusat ataupun ke pemerintahan daerah lain di seluruh Indonesia. "Polisi, tentara, dan jaksa itu bisa dirotasi secara nasional. Maka ASN juga kami harapkan punya kemampuan itu," katanya pada akhir Desember tahun lalu.
Wakil Ketua Komisi bidang Pemerintahan DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan komisinya belum membahas materi perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang ASN karena anggota Dewan masih reses. Ia mengatakan saat ini DPR tengah menyusun draf rancangan perubahan Undang-Undang ASN.
Meski begitu, Dede mengatakan mutasi ASN secara nasional bertujuan memperbaiki sistem meritokrasi, termasuk jenjang dan pelindungan karier pegawai. Politikus Partai Demokrat itu menyinggung fenomena mutasi besar-besaran di lingkungan pemerintah daerah yang kerap terjadi ketika pilkada berlangsung. “Mutasi setelah pilkada juga terjadi. Akibatnya, kepentingan politik terlalu dominan,” kata mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.
Menurut Dede Yusuf, Komisi II masih mengevaluasi skema mutasi pegawai negeri yang akan diusulkan dalam revisi Undang-Undang ASN. Ia berharap masyarakat mengusulkan pendapatnya mengenai isu tersebut.
Kelompok masyarakat sipil ragu pengalihan kendali mutasi pejabat eselon II dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat bisa mencegah ketidaknetralan aparatur sipil negara dalam pemilihan kepala daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Nurcahyadi Suparman menilai usulan pengalihan kendali mutasi ASN tersebut justru memindahkan politisasi birokrasi dari daerah ke pusat. “Kalau eselon II ditarik ke pusat, itu tidak menyelesaikan masalah soal politisasi birokrasi,” kata Herman, Kamis, 9 Januari 2025.
Ia mengatakan pejabat eselon II memang kerap dipolitisasi untuk kepentingan pasangan calon kepala daerah tertentu saat pilkada. Tapi situasi tersebut tidak akan otomatis berubah meski kendali mutasi terhadap pejabat eselon II berada di pemerintah pusat.
Herman berpendapat kondisi tersebut justru akan membuat pemerintah pusat makin mudah cawe-cawe dalam pilkada. Pemerintah pusat juga dapat memobilisasi pejabat eselon II untuk kepentingan pemilihan presiden. Sebab, kendali mutasi berada di pusat sehingga pejabat eselon II akan mengutamakan kepentingan pusat dibanding daerah.
Menurut Herman, pengalihan kendali mutasi ASN eselon II tersebut bakal menimbulkan masalah baru. “Problem baru itu sebagai satu bentuk upaya sentralisasi manajemen ASN,” ujarnya.
Tempo mengungkap politisasi pejabat di daerah untuk kepentingan pemilihan presiden. Dalam artikel “Tangan Birokrat di Gerbong 02”, edisi 11 Februari 2024, diulas mengenai keterangan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan tentang sejumlah penjabat kepala daerah yang mendapat instruksi untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024.
Informasi Djohermansyah itu sejalan dengan keterangan dua pejabat di lingkaran Istana yang mengetahui proses penunjukan penjabat kepala daerah. Pemerintahan Joko Widodo ataupun kubu Prabowo-Gibran membantah informasi tersebut.
Rival Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden lalu, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md., mendalilkan dugaan pelanggaran penjabat kepala daerah dalam permohonan sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Tapi MK menolak dalil kedua pemohon itu karena dinilai tidak memiliki bukti hukum yang cukup.
Petugas membawa bendera partai-partai politik peserta Pemilu 2024 dalam kirab Kampanye Pemilu Damai di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, 27 November 2023. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini tak berkomentar banyak karena pihaknya belum menerima draf rancangan revisi Undang-Undang ASN dari DPR. “Jadi, kami belum tahu seperti apa,” ucapnya.
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah merespons positif usulan DPR tersebut. Ia mengatakan selama ini pekerjaan birokrasi di daerah kerap berurusan dengan teknis pelayanan administratif saja sehingga mutasi ASN eselon II akan lebih baik jika dikendalikan secara terpusat.
Trubus menilai otonomi daerah tidak akan banyak terganggu ketika pemerintah pusat mengambil alih rotasi ASN di daerah. “Saya melihat usulan ini sebagai upaya untuk menarik ASN eselon II di daerah agar mempunyai kapasitas dan perbaikan kinerja,” ujarnya.
Mantan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Agus Pramusinto, mengatakan Undang-Undang ASN sesungguhnya tidak memisahkan status pegawai negeri di pusat dan daerah. Hanya penempatan mereka yang berbeda, yaitu berada di pusat dan daerah.
Agus mengatakan undang-undang sudah mengatur pelindungan kepada ASN. Misalnya, kepala daerah hanya bisa memutasi jabatan setelah dua tahun menjabat. Lalu pencopotan ASN dari jabatannya harus melalui evaluasi atau pemeriksaan.
Ia juga menekankan bahwa keberadaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta sesungguhnya sudah menjawab keinginan Komisi II DPR untuk memindahkan kendali mutasi pegawai eselon II dari daerah ke pusat.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ini mengakomodasi jabatan pimpinan tinggi setara eselon I dan II sebagai aset nasional. “Jadi, DPR dan pemerintah tidak perlu ngotot mengubah undang-undang,” katanya.
Guru Besar Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu menyarankan DPR melakukan kajian akademik lebih dulu serta melihat praktik penataan pegawai negeri yang diaplikasikan di berbagai negara. “Saya juga usul agar ada lembaga pengawas independen demi pelindungan 4,3 juta ASN."
Lembaga pengawas itu diperlukan setelah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibubarkan pada 2024. Pembubaran KASN ini merupakan dampak dari revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara pada 2023. Setelah dibubarkan, semua tugas dan fungsi KASN dialihkan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara.
Kewenangan lembaga pengawas juga perlu diperkuat, melebihi KASN. Sebab, KASN hanya berwenang merekomendasikan ASN yang melanggar kode etik. Keputusan akhir atas rekomendasi tersebut tetap berada di pejabat pembina kepegawaian.
Herman Nurcahyadi Suparman setuju jika DPR kembali membentuk lembaga independen yang bertugas mengawasi ASN. Lembaga independen itu, kata dia, dibutuhkan untuk mengawasi serta menegakkan netralitas dan sistem meritokrasi pegawai negeri.
Herman juga menyarankan DPR dan eksekutif membenahi sistem seleksi jabatan pimpinan tinggi di daerah. Sebab, selama ini, mutasi jabatan di daerah kerap diintervensi oleh kepentingan politik. “Solusinya bukan memindahkan proses perpindahan kepegawaian ke pusat, melainkan bagaimana membangun sistem seleksi jabatan pimpinan tinggi yang akuntabel," tuturnya. ●
Nandito Putra dan Francisca Christy Rosana berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo