Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Saldi Isra: Presidential Threshold Bisa Bikin Pemerintah Otoriter

Saldi Isra memiliki pendapat berbeda soal pengaturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

11 Januari 2018 | 20.00 WIB

Hakim MK terpilih Saldi Isra, memberikan kata sambutan dalam acara penyambutan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 11 April 2017. Saldi Isra secara resmi menjadi hakim konstitusi masa jabatan 2017-2022. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Hakim MK terpilih Saldi Isra, memberikan kata sambutan dalam acara penyambutan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 11 April 2017. Saldi Isra secara resmi menjadi hakim konstitusi masa jabatan 2017-2022. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Hakim konstitusi, Saldi Isra, memiliki pendapat berbeda soal pengaturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bersama hakim konstitusi lain, Suhartoyo, Saldi berbeda pendapat dengan tujuh hakim yang menolak permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas presidensial.

Saldi menyebutkan ada logika yang terus dikembangkan bahwa ambang batas diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan guna membangun hubungan dengan legislatif. "Pendukung logika ini percaya, bila presiden didukung kekuatan signifikan partai politik lembaga perwakilan, akan lebih mudah mendapat dukungan lembaga perwakilan," katanya di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Januari 2017.

Baca juga: Dua Hakim MK Beda Pendapat Soal Presidential Threshold

Menurut dia, ini mudah dipahami karena kerap ada ketegangan antara eksekutif dan legislatif, yang sama-sama mendapatkan mandat rakyat. "Praktik demikian sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai pendukung presiden," ujarnya.

Saldi melanjutkan, jika partai politik pendukung presiden sama dengan atau lebih besar ketimbang legislatif, praktik sistem presidensial akan mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Beleid ini mengatur partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu 2014 lalu untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Terkait dengan pemohon tunggal uji materi Undang-Undang Pemilu, Effendy Gazali mengatakan pengaturan ambang batas berpotensi memunculkan kepemimpinan diktator. Sebab, kata dia, pencalonan akhirnya dipengaruhi gabungan partai politik yang berkoalisi. "Dengan ditolaknya untuk tidak ada presidential threshold ini, maka kita siap-siap juga ke calon presiden tunggal," ucapnya.

Baca juga: Tak Setuju Presidential Threshold Nol Persen, JK: Agar Berkualitas

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraeni mengatakan putusan MK terhadap Pasal 222 tentang presidential threshold mempersulit munculnya calon presiden alternatif dalam pemilu 2019. "Akan sulit berharap banyak akan muncul figur alternatif presiden, tapi bukan figur yang kita kehendaki," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arkhelaus Wisnu Triyogo

Lulus dari Universitas Indonesia program studi Indonesia pada 2014, ia bergabung bersama Tempo pada 2015. Sempat meliput politik dan hukum seputar Pemilu 2019, ia kini berfokus pada isu gaya hidup dan olahraga. Pada 2019, bersama Danang Firmanto, ia meraih ExCel Award, penghargaan untuk karya jurnalistik terbaik di bidang pemilu di kawasan ASEAN.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus