MENDADAK Letjen. Hariyoto P.S. mencelat dari barisan. Ia menghampiri sejumlah perwira tinggi ABRI lainnya yang berdiri tak jauh dari situ. "Apa syarat menjadi Kassospol?" tanyanya. Yang ditanya belum sempat menjawab, Hariyoto sudah angkat bicara lagi. "Namanya harus dimulai dengan Har...," katanya. Cerita bekas Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI itu lagi, "Buktinya, sebelum saya, ada Harsudiono Hartas. Kini, pengganti saya adalah Hartono," ujarnya sembari tertawa bersama sejumlah jenderal yang berdiri di dekatnya. Hari itu, Kamis pagi pekan lalu, berlangsung sebuah acara penting: serah terima jabatan Kassospol ABRI dari Letjen Hariyoto kepada penggantinya, Mayjen R. Hartono. Tak pelak lagi, acara serah terima jabatan itu menarik perhatian pengamat militer. Soalnya jabatan penting itu dipegang oleh Hariyoto relatif singkat: baru sembilan bulan. Selain itu, jenderal berbintang tiga dari korps zeni TNI AD ini -- satu korps dengan Wakil Presiden Try Sutrisno -- baru Agustus nanti genap 55 tahun, batas usia pensiun di ABRI. Ada apa? Belakangan memang santer beredar bisik-bisik bahwa Hariyoto dianggap kurang berhasil membendung Megawati agar tak menjadi Ketua Umum PDI. Ada pula yang menyebut visi Hariyoto berbeda dengan Pangab Jenderal Feisal Tanjung, dalam menanggapi masalah politik. Konon, Hariyoto keberatan Harmoko, seorang sipil, memimpin Golkar, yang selama ini dipegang purnawirawan ABRI. Malah, beredar pula isu bahwa penggantian Hariyoto -- juga sejumlah mutasi lainnya di lingkungan ABRI -- adalah rangkaian dari de-Benny-isasi alias pemangkasan orang-orang yang dekat dengan bekas Pangab dan Menhankam Jenderal L.B. Moerdani. Namun, semua desas-desus itu terbantah dengan pernyataan Pangab Jenderal Feisal Tanjung. Dalam pidatonya di acara itu, Jenderal Feisal malah memuji kesigapan Hariyoto. Ukurannya, antara lain, adalah suksesnya Munas Golkar dan Munas PDI. "Secara jujur saya dapat merasakan dukungan yang sempurna bagi suksesnya tugas-tugas sospol ABRI," kata Jenderal Feisal. Tanda tanya lainnya adalah: kenapa Hartono? Menurut Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen Syarwan Hamid, R. Hartono dipilih karena ia orang yang tepat. "Kami memilih the right man on the right place. Pengalamannya banyak, kata Syarwan. Sebelum menjabat Kassospol, Hartono adalah Direktur Lemhanas. Ia juga pernah memegang tongkat komandan Sesko ABRI di Bandung, dan Pangdam Brawijaya. Sebagai panglima militer di Jawa Timur inilah nama Hartono mencelat. Anak kiai asal Pamekasan, Madura, ini dikenal dekat dengan warga di sana, terutama dengan para kiai dan pemuka masyarakat. Tak heran kalau Afan Gaffar, pengamat politik dari UGM Yogya, menilai Hartono sebagai figur dengan sikap yang terbuka pada peran sipil. Sikap ini mungkin karena Hartono -- tamatan AMN 1962 -- adalah lulusan Command and General Staff College (semacam Seskoad) di Fort Leavenworth, Amerika Serikat. "Saya malah pernah menjadi juara tenis di sana," kata perwira tinggi yang juga penggemar golf ini. Jumat pekan lalu, Amran Nasution dan Agus Basri berhasil mencegat dan melakukan wawancara khusus dengan Mayjen R. Hartono. Berikut ini petikan wawancara tersebut. Sebagai Kassospol baru, apa yang akan Anda lakukan? Secara garis besar, rencana sosial politik ABRI adalah makin memantapkan peran sosial politik ini ke tubuh ABRI. Pemantapan dalam arti ABRI mampu membaca apa yang sedang terjadi, dan menentukan langkah yang sesuai dengan kondisi yang terjadi. Jangan sampai ada langkah yang seharusnya sudah tidak dilakukan atau belum dilakukan pada saat itu. Ini memerlukan kejelian dan kemampuan membaca situasi. Sedangkan ke luar, ingin berperan lebih dalam kaitan pendidikan politik masyarakat. Katakanlah, bagaimana agar rakyat mengerti apa itu undang-undang, bagaimana demokrasi Pancasila dalam implementasinya sehari-hari. Kalau hanya mengerti demokrasi tapi tak diembeli kata Pancasila, nanti perwujudannya akan bisa berbeda sesuai dengan muatan yang mereka miliki masing-masing. Ini berbahaya. Bagaimana ABRI menanggapi arus demokratisasi, keterbukaan, dan hak asasi? Peran aktivitas sospol ABRI dituntut makin tinggi. Karena tuntutan zaman, frekuensi yang dibutuhkan lebih dari yang lalu. Jangan sampai terjadi, keinginannya sudah di depan, tapi metode yang digunakan masih di belakang. Pangab mengatakan tutwuri handayani. Tapi ada yang mengartikan itu supaya ABRI di jabatan sipil mesti dikurangi? Dalam keterlibatan secara fisik memang makin berkurang. Dalam kondisi yang sudah makin baik, sekarang aku berada di belakangmu, begitu. Jadi, dengan tutwuri, mungkin kami lebih banyak memberi saran dan pendapat pada mereka. Tapi peran sebagai kekuatan sosial politik tak berarti makin hilang, karena di sini dituntut kualitas ABRI yang makin baik. Sebab, kami tak bisa terlalu yakin bahwa tak akan terjadi lagi hal semacam G30S. Mungkin dalam wujud yang lain. Jangan sampai setelah kita tergeletak, kolaps, baru ABRI membantu. Kalau begitu, yang sengsara kan rakyat? Bagaimana menghadapi suksesi 1998? Lo, kok orang berpikir begitu, apa sudah waktunya? Seperti kata Pak Harmoko (maksudnya Menteri Penerangan Harmoko), kok kurang etis, begitu. Walaupun maksudnya tak mengarah ke presiden sekarang, kok, kayak mau ada sesuatu yang kurang pas. Kapan waktu yang tepat untuk membicarakan suksesi? Tak bisa disebutkan per tahun, ya. Nggak bisa sekian tahun atau berapa, kita harus bisa membaca keadaan yang sesungguhnya. Memikirkan soal itu sekarang ini, kok, rasanya kurang tepat. Di hati saya ini, ya, iki kok opo maneh... (ini apa lagi...). Menurut Amin Rais (salah satu ketua Muhammadiyah), kalau suksesi nanti bisa berlangsung mulus, itu kan karya besar. Maka, perlu dibicarakan dari sekarang. Soalnya, suksesi yang lalu terjadi setelah adanya pembunuhan jenderal oleh G30S-PKI. Itu melihat dari satu sisi. Tapi dari sisi yang lain, bisa nanti orang bergelut nggak keruan karena bicara soal siapa ... segala macam. Karena ribut-ribut kayak begitu, persoalan penting -- misalnya mengentaskan kemiskinan -- bisa ditinggalkan. Keasyikan, begitu. Pikirkanlah semua sisi, jangan cuma memikir siapa yang menjadi presiden nanti. Dulu, sebagai panglima di Jawa Timur, Anda sering ke pesantren. Apa sekarang juga akan sering ke lapangan, mendekati kalangan pesantren dan pemuda? Jangan lupa, saya ke pesantren, tapi juga mendekati umat lain. Sebagai Pangdam saya tak pernah membedakan umat yang satu dengan yang lain. Sekarang sebagai Kassospol juga saya coba seperti itu. Saya bisa dekat dengan ICMI, Piki (Persatuan Intelektual Kristen), dan lainnya. Bagaimana pendapat Anda tentang anggapan yang mengatakan sekarang muncul sektarianisme dan primordialisme, dengan ICMI sebagai contoh? Sebetulnya sektarianisme itu kan dari sekte, sekelompok orang yang tergabung dalam satu warna. Apa iya ICMI itu sektarian. Isinya ICMI itu kan ada orang NU, ada orang Muhammadiyah, ada orang PPP, ada orang Golkar. Campuran itu. Sekarang ramai cerita tentang munculnya arus bawah. Contohnya, terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Aku nggak tahu, definisi arus bawah itu apa. Jangan sembarangan memakai istilah seperti sektarian, suksesi, arus bawah. Kalau ada arus bawah, berarti kan ada arus tengah, ada arus atas. Kalau arus tengah ke bawah, lalu direkayasa dari atas, itu bagaimana? Ha-ha-ha.... Bagaimana Anda melihat aksi-aksi mahasiswa? Selama aksi mereka berada dalam norma dan moral bangsa, ya, tak akan timbul masalah. Tapi kalau sudah keluar dari koridor, apalagi sudah menentang aturan yang ada, demi kepentingan masyarakat yang lebih banyak, kami harus mengambil tindakan sesuai dengan hukum. Sekarang pangdam-pangdam mendekati kampus. Kenapa? Sebenarnya itu kan pembinaan teritorial. Bahwa objeknya kampus, itu sebenarnya yang kalian baca. Sebenarnya, objek pembinaan itu adalah geografi, demografi, dan kondisi sosial. Kondisi sosial kan mulai dari ideologi, politik, sosial budaya, dan hankam, itu kan dibina terus. Pertengahan tahun akan ada muktamar PPP. Tapi kini sudah ramai. Ada terbaca, munculnya keinginan orang NU yang ada di PPP, agar Ketua Umum PPP itu harus dari unsur NU. Bagaimana? Ya, kita ingin menyemangati mereka, agar mereka tetap berpegang pada aturan yang disepakati sendiri oleh mereka. Saya percaya mereka tak akan mengangkat pengelompokan-pengelompokan lama menjadi kekuatan dalam mencapai tujuan. Kalau pengelompokan itu ada dan berkembang, itu belum tentu keinginan dari dalam. Bisa saja itu dari luar, supaya orang pada bingung, ha-ha-ha.... Makanya, ya, hati-hati, jangan terpancing. Ya, dari saya mungkin akan ada saran, pendapat, lo, mbok begini. Mereka mau terima atau tidak, ya, monggo. Ada yang mengatakan berbagai mutasi di ABRI sebagai de-Benny- isasi. Pendapat Anda? Waduh, tak ada itu. Nggak mungkin ada itu. Penggantian itu kan wajar-wajar saja di ABRI, sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada. Apa saya dianggap tak kenal Pak Benny? Saya pernah menjadi bawahannya, lo. Ketika Pak Benny Moerdani sebagai Menhankam datang ke Jawa Timur, ya, dia saya kawal, saya temani, malah saya satu mobil dengan dia. Bagaimana Anda melihat hidup ini? Kalau soal sikap hidup, memang saya besar dalam lingkungan Islam. Jadi, warna hidup saya warna Islam. Tapi tak berarti saya acuh tak acuh terhadap agama lain. Coba, sahabat saya yang melebihi saudara justru bukan seorang Islam. Dia itu Pak Mantiri (maksudnya Kasum ABRI Letjen Mantiri), teman dekat saya sejak taruna dulu. Beliau itu anak pendeta, saya anak kiai, tapi kami hidup seperti saudara. Yang menarik, pada acara keagamaan kami saling mengingatkan. Saya mendambakan kehidupan keagamaan antarumat beragama seperti itu. Mbok seperti itu, lakum dinukum wa liyadin (agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku). Kalau ada yang menyoroti saya sebagai seorang Islam yang fanatik, saya jawab: ya, memang kewajiban setiap orang Islam harus fanatik. Dalam arti, ia menjalankan agamanya sebenar mungkin, menjalankan ajaran agamanya seratus persen. Nanti kalau sudah purnawira, apakah Anda ingin kembali menjadi kiai? Secara fisik kembali, nggak, ya. Tapi saya akan terlibat pada pembinaan pesantren. Apa mau jadi kiai? Makin dekat saat mati, aku makin menyadari bahwa mendalami Islam dan meningkatkan ibadah itu makin diperlukan. Kalau tak ada tugas sangat mendesak, selesai sembahyang magrib, saya lalu zikir dan munajat sampai isya. Saya menikmati itu. Mumpung diingatkan Allah, alhamdulillah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini