Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bantul - Down syndrome adalah kelainan genetik akibat kelebihan kromosom. Mengutip ragam difabel yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, down syndrome masuk kategori difabel intelektual. Kendati memiliki keterbatasan intelektual, Ketua Love Charity Community atau LCC, Lutfi Aji Asmoro, anak dengan down syndrome mempunyai kelebihan, yakni meniru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Anak dengan down syndrome itu peniru hebat. Peniru lingkungannya. Para ahli menyarankan anak down syndrome masuk sekolah inklusif,” kata Lutfi saat ditemui Tempo dalam acara Peringatan Hari Down Syndrome Dunia 21 Maret di Lapangan Sepakbola Potorono, Kabupaten Bantul, Minggu 31 Maret 2019. Banyak anak dengan down syndrome yang mempunyai keahlian di bidang seni, seperti seni musik maupun seni rupa. Persoalannya, beberapa sekolah inklusif tidak menyediakan guru pendamping khusus down syndrome.
Ketika orang tua hendak menyekolahkan anak dengan down syndrome ke sekolah inklusif, Lutfi melanjutkan, sebagian pihak sekolah menyatakan belum menerima karena tak memiliki guru pendamping. "Kecuali kalau orang tuanya membawa guru pendamping sendiri,” kata Lutfi yang juga ayah dari seorang anak dengan down syndrome.
Kurikulum pendidikan anak-anak down syndrome di sekolah inklusif pun disamakan dengan anak-anak non down syndrome. “Padahal untuk anak down syndrome lebih mengutamakan pendidikan untuk bersosialisasi. Bukan akademis,” ucap Lutfi.
Akibatnya, banyak anak dengan down syndrome yang bersekolah di sekolah luar biasa atau SLB. Sejauh ini belum ada sekolah khusus down syndrome sebagaimana sekolah khusus autisme. “Anak down syndrome masih mudah mengakses sekolah inklusif saat usia pra sekolah maupun taman kanak-kanak. Tapi mereka kesulitan ketika mau masuk SD dan SMP,” kata Lutfi.
Kepala Sekolah Yayasan SLB Bakti Kencana, Gondo Prayitno mengatakan penyediaan guru pendamping di sekolah-sekolah inklusif selama ini dibantu pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan. Hanya saja, satu guru pendamping hanya memberikan pendampingan selama satu hari dalam sepekan. “Jadi banyak yang ditanggung orang tua,” kata Gondo.
Artikel terkait: Down Syndrome pun Bisa Jadi Model, Ini Buktinya
Gondo semula adalah pegawai pemerintah yang kemudian ditugaskan untuk menjadi guru di SLB Swasta hingga sekarang. Jumlah SLB di wilayah Yogyakarta mencapai 79 sekolah. Namun yang berstatus negeri hanya sembilan sekolah. Satu kabupaten minimal mempunyai satu SLB. “Ke depan perlu rekonstruksi ulang. Jangan semua diserahkan swasta,” kata Gondo.
Di SLB, anak dengan down syndrome dikelompokkan dalam tuna grahita. Bersama dengan difabel lainnya, anak dengan down syndrome juga diarahkan untuk menekuni keterampilan tertentu sejak duduk di SMP, misalnya tata busana, memasak, maupun kriya. Pemilihan keterampilan disesuaikan dengan potensi anak. “Di SLB mengutamakan keahlian, bukan akademis,” kata Gondo. Kemampuan menguasai ketrampilan itu yang kemudian bekal anak dengan down syndrome untuk mandiri.