Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Si Pemburu Tata Surya

Seorang bocah desa berhasil mengikuti Olimpiade Sains Nasional tingkat sekolah dasar. Dia ingin menemukan tata surya baru.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irfan berkutat mengerjakan soal-soal eksperimen biologi dan fisika. Sesekali ia membolak-balik kamus agar lebih memahami beberapa soal yang disajikan dalam bahasa Inggris. Bocah 10 tahun itu merupakan satu dari hampir 200 siswa tingkat sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang mengikuti Olimpiade Sains Nasional V di Semarang, Jawa Tengah, pekan lalu.

Dibuka Wakil Presiden Jusuf Ka­lla, olimpiade itu juga diikuti 378 siswa tingkat sekolah menengah pertama dan 700 pelajar tingkat sekolah menengah atas. Bagi mereka, ajang ini merupa­kan pembuka jalan untuk mengikuti olim­piade-olimpiade internasional di bidang ilmu eksakta yang kini ngetren.

Soal-soal yang harus Irfan selesai­kan terlihat muskil untuk dimengerti­ bocah seusianya. Lihat saja. Ia harus meng­ukur sudut sinar pantul dan sinar datang. Mengukur jarak matahari melalui lubang jarum. Menjelaskan bagian bunga dan mengukur luas daun. Atau, menghitung banyaknya molekul CO2 yang diisap daun dalam satu pohon selama 1,5 jam. Soal-soal itu lazimnya di­sajikan untuk tingkat sekolah menengah per­tama dan sekolah menengah atas.

Dibanding peserta lain, tongkrongan Irfan terlihat kurang meyakinkan. Tubuh kecilnya yang kurus dengan kulit kehitaman hampir tenggelam dalam seragam putih-merah yang ia kenakan. Anak itu kelihatan kontras dengan ba­nyak peserta lain yang gemuk, bugar, dengan kulit cerah berseri. Toh, ia meng­aku bisa menjawab 80 persen soal biologi dan 60 persen soal fisika yang diajukan.

Bocah bernama lengkap Tri Amat Irfan itu memang berasal dari keluarga ber­sahaja. Ia tinggal bersama orang tuanya nun di pelosok Boyolali, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Gunung, Simo, yang berjarak 40 kilometer dari pusat kota.

Dinding rumah mereka yang mungil cuma seukuran 4x6 meter, terbuat dari bambu. Setiap malam Irfan biasa tidur beralas tikar. Rumah itu pun tak memiliki televisi. Bila ingin menyaksi­kan ta­yangan satwa dan film kartun kesuka­annya, Irfan pergi ke rumah kepala desa yang berseberangan dengan rumahnya.

Ekonomi keluarganya sangat pas-pasan. Slamet, 50 tahun, ayah Irfan, bekerja sebagai buruh pembelah batu. Ibu­nya, Sumiyem, 50 tahun, mencari nafkah tam­bahan dengan membantu pekerjaan rumah di tempat Pak Lurah. ”Ibarat orang sakit, ekonomi keluarga kami sudah sangat kritis,” kata Slamet. Buku pelajaran Irfan pun tidak terbeli. ”Untung, sekarang ada dana bantuan BOS di sekolah.”

Irfan merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya hanya tamat sekolah teknik menengah. Kakak laki-lakinya kini mengais rezeki di ne­geri jiran Brunei Darussalam. Adapun kakak perempuannya sedang mencari pekerjaan di Jakarta.

Kendati Slamet dan Jumiyem tak tamat sekolah dasar, seluruh warga Desa Gunung mengenal anak-anak mereka sebagai bintang kelas. Kedua kakak Irfan menjadi langganan peringkat pertama di SD Negeri Gunung. Begitu pula Irfan yang selalu menjadi juara kelas di sekolah yang sama. Nilainya untuk semua mata pelajaran rata-rata 9.

Perjalanan Irfan mewakili Provinsi Jawa Tengah dalam Olimpiade Sains Nasional cukup berliku. Ia meng­ikuti seleksi dari tingkat kecamatan sampai kabupaten dengan predikat nomor 1. Di tingkat provinsi, Irfan menempati pe­ringkat ke-6 dari 70 peserta. Pada seleksi selanjutnya untuk memilih 10 besar, ia mendapat nomor 9. Pada tahap akhir untuk memilih 6 wakil Jawa Tengah, ia lolos kendati menempati urutan buncit.

Sampai seleksi di tingkat provinsi, Irfan sama sekali tidak mendapat tambahan les pelajaran dari luar sekolah. Satu-satu­nya bimbingan cuma diperoleh dari guru kelasnya. Setelah lolos seleksi Jawa Te­ngah, barulah ia mendapat kursus intensif selama beberapa minggu. Tutor kursus yang diselenggarakan di Balai Diklat Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan Jawa Tengah adalah beberapa dosen dari Universitas Negeri Semarang dan Universitas Diponegoro.

Prestasi Irfan mengundang sim­pati para guru dan tetangganya. Beberapa guru sering membelikan buku bacaan baru. Saat harus mengikuti kursus di Semarang, salah seorang guru memberikan sebuah telepon seluler. Alat ko­munikasi itu menjadi obat penghibur karena Irfan sangat suka bermain game. Tentu juga untuk bertukar kabar de­ngan orang tua dan gurunya.

Tri Hartati, guru kelas yang selalu mendampinginya, menceritakan muridnya itu sangat hobi membaca dan amat kreatif. Ke mana-mana ia tak lepas dari buku. Di sekolah, jam istirahat, terutama jam istirahat kedua, ia habiskan de­ngan membaca di perpustakaan sekolah yang sangat sederhana. ”Kalau istirahat pertama saya lebih suka jajan,” ujarnya. Uang sakunya cuma Rp 500. Ia juga gemar membuat mainan dari tanah dan ran­ting yang menyerupai komputer, pesawat telepon, pesawat terbang, dan hewan.

Rasa ingin tahu bocah itu pun sangat tinggi. Ia kerap membuat para guru kelabakan dengan berondongan pertanyaan. Misalnya, ia bertanya kenapa sebagian besar hewan, kulit atasnya berwarna gelap dan bagian bawah badannya berwarna putih? Atau, pertanyaan ini: me­ngapa Pluto didepak dari gugusan pla­net tata surya? ”Terus terang, saya belum bisa menjawabnya karena itu masalah baru,” kata Tri.

Boleh jadi, Irfan cuma mengetes gu­ru­nya. Soalnya ketika Tempo menyinggung tentang planet kerdil itu, dengan lancar dia menyerocos. ”Karena sejak ditemukan, Pluto belum melengkapi satu revolusi pun terhadap matahari sebagai salah satu syarat planet. Selain itu, ukuran Pluto terlalu kecil, hanya sekitar 2.300 km persegi. Padahal, syarat menjadi planet harus memiliki luas lebih dari 4.000 km persegi.” Dia juga hafal di luar kepala luas planet-planet lain dan satelit, serta berapa kali mereka sudah mengitari matahari.

Kendati menyukai semua pelajaran, Irfan memilih mengikuti lomba fisika dan biologi dalam olimpiade. Mengapa bukan matematika? Ia menilai pelajaran itu membosankan karena hanya berkutat pada rumus. Lain halnya dengan bio­logi dan fisika yang, meski banyak rumus, kerap berhubungan dengan alam sekitar. ”Sehingga kita belajar bisa sambil refreshing,” ujarnya.

Pengalaman hidup sebagai anak ke­luarga tidak mampu agaknya mendidik Irfan bersikap realistis. Dalam olimpia­de kali ini, misalnya, ia tak mau mematok target menjadi juara. ”Bukannya­ sa­ya tidak optimistis, tapi kalau terlalu­ op­timistis, ternyata tidak juara, kan ma­­lu. Peserta yang lain juga pintar-­pintar.”

Pada awalnya ia juga tak bersedia meng­ungkap cita-citanya. ”Cita-cita bisa tinggi, tapi apakah orang tua bisa membiayai saya sekolah?” katanya polos. Ke­tika diberi tahu bahwa bila berhasil menjadi juara olimpiade ia akan mendapat beasiswa, barulah ia berani menuturkan mim­pinya. ”Saya ingin menjadi profesor atau astronom.” Ia berhasrat menemukan sis­tem tata surya baru. Kenapa?

Ia mengatakan alam semesta terdiri atas jutaan galaksi. Dalam galaksi kita saja terdapat jutaan bintang. Matahari sebagai pusat tata surya kita merupa­kan bintang yang paling kecil, luasnya hanya 1,5 juta kilometer. ”Jadi, sangat mungkin ditemukan satu sistem tata surya yang baru,” ujarnya.

Bocah kelahiran 19 Februari 1996 ini tak minder bergaul. Ia ramah dan mudah berteman. Saat orang tua dan guru-gurunya menjenguk di arena olimpiade, ia mengajak mereka berkunjung ke kamarnya di Hotel Patra, Semarang. Kamar itu ia tempati selama sepekan bersama tiga peserta lainnya.

Irfan memberanikan orang tuanya yang cuma bersandal jepit dan semula canggung memasuki hotel berbintang empat tersebut. ”Ayo Pak, Mak, lihat ka­marku. Bagus kok.” Seolah ia ingin me­nunjukkan, meski anak desa, ia bisa mencicipi hotel berbintang.

Puas bercengkerama dengan sang anak, Slamet dan Jumiyem pamit pulang. Saat meninggalkan hotel, mereka tak bisa menyembunyikan keharuan kepada anaknya. ”Bapak hanya bisa mendoa­kan, yo, Le...,” kata Slamet. Bergantian mereka memeluk sang anak. Kendati menggantungkan harapan tinggi, me­reka mengaku tidak akan kecewa jika ternyata Irfan gagal. ”Mewakili Jateng saja sudah bagus. Lha, wong kami tidak pernah mengarahkan,” ujarnya.

Setelah orang tua dan guru-guru­nya pulang, Irfan bertutur lirih kepada Tempo, bila dewasa kelak ingin membuat­kan rumah yang bagus untuk orang tuanya. ”Tidak seperti rumah gedeg yang kami tinggali saat ini.” Cita-cita yang tak terlalu muluk untuk anak yang memiliki otak secemerlang dia.

Nugroho Dewanto, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus