Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irfan berkutat mengerjakan soal-soal eksperimen biologi dan fisika. Sesekali ia membolak-balik kamus agar lebih memahami beberapa soal yang disajikan dalam bahasa Inggris. Bocah 10 tahun itu merupakan satu dari hampir 200 siswa tingkat sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang mengikuti Olimpiade Sains Nasional V di Semarang, Jawa Tengah, pekan lalu.
Dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla, olimpiade itu juga diikuti 378 siswa tingkat sekolah menengah pertama dan 700 pelajar tingkat sekolah menengah atas. Bagi mereka, ajang ini merupakan pembuka jalan untuk mengikuti olimpiade-olimpiade internasional di bidang ilmu eksakta yang kini ngetren.
Soal-soal yang harus Irfan selesaikan terlihat muskil untuk dimengerti bocah seusianya. Lihat saja. Ia harus mengukur sudut sinar pantul dan sinar datang. Mengukur jarak matahari melalui lubang jarum. Menjelaskan bagian bunga dan mengukur luas daun. Atau, menghitung banyaknya molekul CO2 yang diisap daun dalam satu pohon selama 1,5 jam. Soal-soal itu lazimnya disajikan untuk tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Dibanding peserta lain, tongkrongan Irfan terlihat kurang meyakinkan. Tubuh kecilnya yang kurus dengan kulit kehitaman hampir tenggelam dalam seragam putih-merah yang ia kenakan. Anak itu kelihatan kontras dengan banyak peserta lain yang gemuk, bugar, dengan kulit cerah berseri. Toh, ia mengaku bisa menjawab 80 persen soal biologi dan 60 persen soal fisika yang diajukan.
Bocah bernama lengkap Tri Amat Irfan itu memang berasal dari keluarga bersahaja. Ia tinggal bersama orang tuanya nun di pelosok Boyolali, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Gunung, Simo, yang berjarak 40 kilometer dari pusat kota.
Dinding rumah mereka yang mungil cuma seukuran 4x6 meter, terbuat dari bambu. Setiap malam Irfan biasa tidur beralas tikar. Rumah itu pun tak memiliki televisi. Bila ingin menyaksikan tayangan satwa dan film kartun kesukaannya, Irfan pergi ke rumah kepala desa yang berseberangan dengan rumahnya.
Ekonomi keluarganya sangat pas-pasan. Slamet, 50 tahun, ayah Irfan, bekerja sebagai buruh pembelah batu. Ibunya, Sumiyem, 50 tahun, mencari nafkah tambahan dengan membantu pekerjaan rumah di tempat Pak Lurah. ”Ibarat orang sakit, ekonomi keluarga kami sudah sangat kritis,” kata Slamet. Buku pelajaran Irfan pun tidak terbeli. ”Untung, sekarang ada dana bantuan BOS di sekolah.”
Irfan merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakaknya hanya tamat sekolah teknik menengah. Kakak laki-lakinya kini mengais rezeki di negeri jiran Brunei Darussalam. Adapun kakak perempuannya sedang mencari pekerjaan di Jakarta.
Kendati Slamet dan Jumiyem tak tamat sekolah dasar, seluruh warga Desa Gunung mengenal anak-anak mereka sebagai bintang kelas. Kedua kakak Irfan menjadi langganan peringkat pertama di SD Negeri Gunung. Begitu pula Irfan yang selalu menjadi juara kelas di sekolah yang sama. Nilainya untuk semua mata pelajaran rata-rata 9.
Perjalanan Irfan mewakili Provinsi Jawa Tengah dalam Olimpiade Sains Nasional cukup berliku. Ia mengikuti seleksi dari tingkat kecamatan sampai kabupaten dengan predikat nomor 1. Di tingkat provinsi, Irfan menempati peringkat ke-6 dari 70 peserta. Pada seleksi selanjutnya untuk memilih 10 besar, ia mendapat nomor 9. Pada tahap akhir untuk memilih 6 wakil Jawa Tengah, ia lolos kendati menempati urutan buncit.
Sampai seleksi di tingkat provinsi, Irfan sama sekali tidak mendapat tambahan les pelajaran dari luar sekolah. Satu-satunya bimbingan cuma diperoleh dari guru kelasnya. Setelah lolos seleksi Jawa Tengah, barulah ia mendapat kursus intensif selama beberapa minggu. Tutor kursus yang diselenggarakan di Balai Diklat Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan Jawa Tengah adalah beberapa dosen dari Universitas Negeri Semarang dan Universitas Diponegoro.
Prestasi Irfan mengundang simpati para guru dan tetangganya. Beberapa guru sering membelikan buku bacaan baru. Saat harus mengikuti kursus di Semarang, salah seorang guru memberikan sebuah telepon seluler. Alat komunikasi itu menjadi obat penghibur karena Irfan sangat suka bermain game. Tentu juga untuk bertukar kabar dengan orang tua dan gurunya.
Tri Hartati, guru kelas yang selalu mendampinginya, menceritakan muridnya itu sangat hobi membaca dan amat kreatif. Ke mana-mana ia tak lepas dari buku. Di sekolah, jam istirahat, terutama jam istirahat kedua, ia habiskan dengan membaca di perpustakaan sekolah yang sangat sederhana. ”Kalau istirahat pertama saya lebih suka jajan,” ujarnya. Uang sakunya cuma Rp 500. Ia juga gemar membuat mainan dari tanah dan ranting yang menyerupai komputer, pesawat telepon, pesawat terbang, dan hewan.
Rasa ingin tahu bocah itu pun sangat tinggi. Ia kerap membuat para guru kelabakan dengan berondongan pertanyaan. Misalnya, ia bertanya kenapa sebagian besar hewan, kulit atasnya berwarna gelap dan bagian bawah badannya berwarna putih? Atau, pertanyaan ini: mengapa Pluto didepak dari gugusan planet tata surya? ”Terus terang, saya belum bisa menjawabnya karena itu masalah baru,” kata Tri.
Boleh jadi, Irfan cuma mengetes gurunya. Soalnya ketika Tempo menyinggung tentang planet kerdil itu, dengan lancar dia menyerocos. ”Karena sejak ditemukan, Pluto belum melengkapi satu revolusi pun terhadap matahari sebagai salah satu syarat planet. Selain itu, ukuran Pluto terlalu kecil, hanya sekitar 2.300 km persegi. Padahal, syarat menjadi planet harus memiliki luas lebih dari 4.000 km persegi.” Dia juga hafal di luar kepala luas planet-planet lain dan satelit, serta berapa kali mereka sudah mengitari matahari.
Kendati menyukai semua pelajaran, Irfan memilih mengikuti lomba fisika dan biologi dalam olimpiade. Mengapa bukan matematika? Ia menilai pelajaran itu membosankan karena hanya berkutat pada rumus. Lain halnya dengan biologi dan fisika yang, meski banyak rumus, kerap berhubungan dengan alam sekitar. ”Sehingga kita belajar bisa sambil refreshing,” ujarnya.
Pengalaman hidup sebagai anak keluarga tidak mampu agaknya mendidik Irfan bersikap realistis. Dalam olimpiade kali ini, misalnya, ia tak mau mematok target menjadi juara. ”Bukannya saya tidak optimistis, tapi kalau terlalu optimistis, ternyata tidak juara, kan malu. Peserta yang lain juga pintar-pintar.”
Pada awalnya ia juga tak bersedia mengungkap cita-citanya. ”Cita-cita bisa tinggi, tapi apakah orang tua bisa membiayai saya sekolah?” katanya polos. Ketika diberi tahu bahwa bila berhasil menjadi juara olimpiade ia akan mendapat beasiswa, barulah ia berani menuturkan mimpinya. ”Saya ingin menjadi profesor atau astronom.” Ia berhasrat menemukan sistem tata surya baru. Kenapa?
Ia mengatakan alam semesta terdiri atas jutaan galaksi. Dalam galaksi kita saja terdapat jutaan bintang. Matahari sebagai pusat tata surya kita merupakan bintang yang paling kecil, luasnya hanya 1,5 juta kilometer. ”Jadi, sangat mungkin ditemukan satu sistem tata surya yang baru,” ujarnya.
Bocah kelahiran 19 Februari 1996 ini tak minder bergaul. Ia ramah dan mudah berteman. Saat orang tua dan guru-gurunya menjenguk di arena olimpiade, ia mengajak mereka berkunjung ke kamarnya di Hotel Patra, Semarang. Kamar itu ia tempati selama sepekan bersama tiga peserta lainnya.
Irfan memberanikan orang tuanya yang cuma bersandal jepit dan semula canggung memasuki hotel berbintang empat tersebut. ”Ayo Pak, Mak, lihat kamarku. Bagus kok.” Seolah ia ingin menunjukkan, meski anak desa, ia bisa mencicipi hotel berbintang.
Puas bercengkerama dengan sang anak, Slamet dan Jumiyem pamit pulang. Saat meninggalkan hotel, mereka tak bisa menyembunyikan keharuan kepada anaknya. ”Bapak hanya bisa mendoakan, yo, Le...,” kata Slamet. Bergantian mereka memeluk sang anak. Kendati menggantungkan harapan tinggi, mereka mengaku tidak akan kecewa jika ternyata Irfan gagal. ”Mewakili Jateng saja sudah bagus. Lha, wong kami tidak pernah mengarahkan,” ujarnya.
Setelah orang tua dan guru-gurunya pulang, Irfan bertutur lirih kepada Tempo, bila dewasa kelak ingin membuatkan rumah yang bagus untuk orang tuanya. ”Tidak seperti rumah gedeg yang kami tinggali saat ini.” Cita-cita yang tak terlalu muluk untuk anak yang memiliki otak secemerlang dia.
Nugroho Dewanto, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo