Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sumarsih Cemas Revisi UU TNI Kembalikan Dwifungsi TNI dan Langgengkan Impunitas

Sumarsih cemas revisi UU TNI berpeluang mengembalikan dwifungsi TNI dan membahayakan masa depan rakyat Indonesia.

17 Maret 2025 | 21.41 WIB

Penggerak Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih setelah membacakan petisi tolak RUU TNI di Kantor YLBHI di Jakarta Pusat, 17 Maret 2025 Tempo/Eka Yudha Saputra
Perbesar
Penggerak Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih setelah membacakan petisi tolak RUU TNI di Kantor YLBHI di Jakarta Pusat, 17 Maret 2025 Tempo/Eka Yudha Saputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dengan tangan bergetar memegang secarik kertas, Maria Catarina Sumarsih mengutarakan kekhawatirannya soal perluasan penempatan prajurit TNI aktif di lembaga negara lewat revisi UU TNI. Pencetus Aksi Kamisan ini cemas RUU TNI berpeluang mengembalikan dwifungsi TNI dan membahayakan masa depan rakyat Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sumarsih menyoroti aksi protes yang dilakukan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) saat menggeruduk rapat panitia kerja pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, 15 Maret 2025. Ia mengatakan aksi Kontras menerobos masuk adalah untuk menyampaikan pendapat, bukan untuk berunjuk rasa terhadap Hotel Fairmont. 

“Dan bila dinyatakan melanggar hukum, bukankah negara dalam hal ini eksekutif, legislatif, dan yudikatif, juga melanggar hukum? Sebab membunuh itu dilarang oleh Tuhan dan juga oleh konstitusi,” kata Sumarsih sambil memegang secarik kertas petisi penolakan revisi UU TNI di Jakarta, 17 Maret 2025. 

Sumarsih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan. Laki-laki yang akrab disapa Wawan ini merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia merupakan satu dari 17 korban tragedi Semanggi I. Sumarsih tidak pernah luput berdiri di depan Istana Negara Jakarta sejak 18 Januari 2007. Aksi ini merupakan bentuk protes para keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis Munir.

Sumarsih mengatakan hingga saat ini TNI maupun Polri tidak pernah dibawa ke pengadilan atas pelanggaran HAM berat penghilangan paksa dan pembunuhan pada 1997-1998. Bahkan, kata Sumarsih, berkas penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti pada 2002 tidak pernah ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung hingga saat ini. 

“Hal ini menimbulkan pendapat saya bahwa negara kita, Indonesia, melakukan impunitas,” ujarnya. “Jadi, saya berharap peserta rapat panja revisi Undang-Undang TNI, baik pihak DPR RI dan pemerintah maupun kepolisian, hendaknya introspeksi diri bahwa telah terjadi ketidakadilan atas tindak kejahatan TNI di masa lalu, yang hingga saat ini belum dipertanggungjawabkan oleh negara.”

Hari ini Sumarsih bergabung bersama belasan tokoh pegiat HAM dan demokrasi, akademisi, cendekiawan, hingga aktivis dari lembaga nonpemerintah membacakan petisi menolak revisi UU TNI.

Selain Sumarsih, mereka yang membacakan petisi antara lain Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya; Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur; anak Wakil Presiden Muhammad Hatta, Halida Hatta; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto; cendekiawan Muhammadiyah, Sukidi Mulyadi; pegiat HAM, Smita Notosusanto; dan sejumlah tokoh lain dari koalisi masyarakat sipil. 

Sulistyowati mengatakan Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR pada 11 Maret 2025. Namun, DIM itu bermasalah karena terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau dwifungsi TNI. 

“Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil,” kata Sulistyowati saat membacakan petisi. 

Menurut Sulistyowati, RUU TNI tidak urgen untuk dibahas. Semestinya pemerintah dan DPR justru mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sebab, reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

“Agenda revisi UU ini lebih penting ketimbang RUU TNI, karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua warga negara, tanpa kecuali,” kata Sulistyowati. 

Sementara itu, Halida Hatta menyinggung perluasan jabatan sipil dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Anak bungsu Bung Hatta ini mengingatkan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang. Sedangkan Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum. Halida mengatakan salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Dua contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI,” kata Halida. 

Para tokoh menilai revisi UU TNI hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan, bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.

“Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia,” ujar para pembaca petisi. 

Petisi ini justru mendesak pemerintah dan DPR untuk modernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI, dan
memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI. 

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus