Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tari Cokek dan Gerakan Melawan Intoleransi

Komunitas Koalisi Perempuan Indonesia ingin mengadakan gelar Tari Cokek untuk melawan intoleransi.

17 Agustus 2019 | 06.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi komunitas Koalisi Perempuan Indonesia, kegiatan kebudayaan merupakan cara terbaik untuk melawan intoleransi dan menyampaikan pesan kebhinekaan kepada masyarakat. Bersama dengan komunitas IndonesiaID, mereka merancang gerakan Jakarta Cokek, yang akan dilakukan Ahad, 18 Agustus 2019 mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koalisi Perempuan Indonesia mengajak warga untuk ikut menari Cokek bersama, di Kota Tua, Jakarta Pusat. "Mereka hanya perlu membawa selendang, jika ingin ikut menari bersama nanti," kata Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia cabang Jakarta, Mike Verawati, kepada Tempo, Selasa, 13 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mike mengatakan ide Jakarta Cokekan muncul dari kekhawatiran akan semakin kuatnya intoleransi di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari hal yang paling mendasar, yakni cara berpakaian. Mike menyebut saat ini kecenderungan pemaksaan cara berpakaian mulai terlihat di masyarakat.

Koalisi Perempuan Indonesia. instagram.com/indonesiawomencoalition

Tari Cokek merupakan kesenian asli Betawi. Mike mengatakan pemilihan tarian ini, selain karena faktor geografis, juga karena faktor sejarah. Dari penelusuran yang dilakukan Koalisi Perempuan, Tari Cokek memiliki akar budaya dari betawi, ternyata memiliki filosofi Cina "Ini menarik, karena ini menunjukan sejak dulu, budaya kita juga sudah beragam dan terintegrasi dari beragam budaya," kata Mike. 

Ia pun mengatakan ke depannya, kegiatan semacam ini diharapkan bisa dilakukan di daerah-daerah lain. Tarian atau bentuknya pun tak harus seperti di Jakarta dengan Tari Cokeknya, namun menyesuaikan dengan budaya dan adat masing-masing. 

Yang paling terasa, kata Mike, adalah kewajiban menggunakan hijab di sekolah negeri. Belakangan hal ini sempat ramai dibicarakan terjadi di SD di Gunungkidul, Yogyakarta. "Kami bicara Indonesia kan beragam sekali dan ekspresinya macam-macam. Mau pakai apapun kan sebenarnya hak masing-masing. Nah kami lihat itu saat ini jadi sebuah pengaturan," kata Mike.

Kesenian Cokekan dipilih karena Mike menilai diskursus melawan penyeragaman perlu dilakukan lewat cara alternatif melawan intoleransi. Menyadarkan masyarakat akan bhineka Indonesia, tak hanya bisa dilakukan lewat diskusi dan dialog saja. "Ini bentuk melawan intoleransi juga, tapi dengan cara yang damai, penuh suka cita. Tak main debat di medsos atau semacamnya," kata Mike.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus