Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 25 Juli 1947, pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari meninggal. Kepergian tokoh berpengaruh itu bertepatan pada Ramadan, dua tahun setelah Indonesia merdeka. Sosoknya dikenang sebagai Pahlawan Nasional, ulama, dan tokoh cendekiawan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profil KH Hasyim Asy’ari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KH Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, 14 Februari 1871 di Pesantren Gedang, Tambakrejo. Dia anak ke-3 dari 11 bersaudara pasangan Kiayi Asy’ari dan Nyai Halimah. Dari ayahnya, Hasyim Ays’ari memiliki nasab dengan Maulana Ishak dan Imam Ja’tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir. Sedangkan dari pihak ibu, dia merupakan keturunan pemimpin Kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir.
Dalam buku Kiai Haji Hasyim Asy’ari Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1980), Hasyim Asy’ari terlahir dengan nama Muhammad Hasyim. Masa kecilnya jarang mendapat asuhan serta didikan dari kedua orang tuanya. Pasalnya sampai lima tahun lamanya Muhammad Hasyim hidup di Pondok Pesantren Nggedang, di bawah asuhan dan didikan kedua orang neneknya.
Setelah sang ayah mendapat ‘ijazah’ untuk mendirikan pesantren sendiri dari Kiai Usman dan membangun Pesantren Keras, Jombang, Muhammad Hasyim kemudian meninggalkan Pesantren Nggedang dan ikut ayahnya. Di pesantren baru itu, dia langsung belajar dari ayah dan kakeknya.
Walaupun dia anak dari pengasuh pesantren, ia dapat menyesuaikan hidupnya sebagai santri. Tidak jarang Hasyim Asy’ari berdagang untuk memenuhi kehidupannya dan belajar mandiri sejak masih usia dini. Bahkan ia juga mempelajari berbagai kitab yang seharusnya belum menjadi pelajarannya. Ketika berusia 13 tahun, sudah menjadi pengajar di pesantren ayahnya itu.
Hasyim Asy’ari getol dalam menuntut ilmu. Dia berkelana ke berbagai pesantren untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hasyim Asy’ari bahkan mengenyam pendidikan beberapa tahun di Mekkah. Meski jauh dari Tanah Air, Hasyim Asy’ari tak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah.
Kegelisahannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan negara-negara Arab. Pertemuan tersebut terjadi di bulan Ramadan, di Masjidil Haram, Makkah. Di hadapan “Multazam”, dekat pintu Kabah, mereka menggaungkan sumpah berjuang menegakkan Islam di negeri mereka yang terjajah.
Sekembalinya dari Mekah pada 1899, Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan Pondok Pesantren atau Ponpes Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) mengungkapkan santri Hasyim Asy’ari mulanya hanya 28 orang. Jumlah tersebut bertambah hingga 200 orang pada 1910. Satu dekade berselang, santrinya mencapai 2000 orang. Pada 1942, mengutip pendapat Jepang, Hasyim Asy’ari diperkirakan 25 ribu orang.
Pendirian NU oleh KH Hasyim Asy’ari dilakukan atas petunjuk dari gurunya, KH Kholil bin Abdul Latief, di Bangkalan, Madura. Bermula pada 1924, seorang santri diminta oleh KH Kholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Nahdlatul Ulama kemudian didirikan pada 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan 31 Januari 1926. Hingga sekarang, tanggal tersebut ditetapkan sebagai Harlah alias hari lahirnya Nahdlatul Ulama.
Pilihan Editor: KH Hasyim Asy'ari dan Pergulatan Berdirinya Nahdlatul Ulama