Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Nasir Djamil, berpendapat bahwa usulan untuk menempatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di bawah kementerian masih belum relevan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasannya, menurut dia, ada sejumlah faktor yang membuat hal itu belum relevan, di antaranya karena pembangunan hukum yang belum sempurna, budaya hukum yang lemah, ekonomi masyarakat yang masih sulit, serta tingkat pendidikan yang rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Memang benar ada beberapa negara yang menempatkan kepolisian di bawah kementerian. Akan tetapi, di Indonesia belum bisa dilakukan, bahkan mungkin dalam beberapa tahun ke depan,” kata Nasir di Jakarta, Kamis, 28 November 2024, seperti dikutip Antara.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut mengungkapkan bahwa, mengingat berbagai tantangan internal yang dihadapi saat ini, menempatkan Polri di bawah kementerian justru berpotensi memperburuk keadaan. Menurutnya, penempatan Korps Bhayangkara yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden sudah tepat.
Meski begitu, dia menginginkan agar Presiden Prabowo Subianto memimpin langsung reformasi hukum dan pembaruan sistem hukum di Indonesia, khususnya di institusi Polri. Dia menilai peran Presiden sangat penting untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan menghormati hak asasi manusia (HAM).
“Presiden sangat diharapkan berada di garda depan untuk memimpin penegakan hukum yang tidak sewenang-wenang dan menghormati hak asasi manusia. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, muncul usulan dari berbagai kalangan, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), agar Polri ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau TNI. Usulan itu disampaikan berkaitan dengan isu netralitas dan juga agar memperkuat keamanan nasional.
Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menduga ada keterlibatan aparat kepolisian dalam pemenangan beberapa calon kepala daerah di Pilkada 2024, yang disebutnya sebagai "partai cokelat." Deddy menilai bahwa oknum kepolisian, bukan hanya satu orang, telah merusak demokrasi dan menganggap ini sebagai masalah yang bersifat garis komando. Ia juga menuding Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertanggung jawab atas masalah ini, meskipun tidak merinci temuan kecurangan yang melibatkan polisi.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, juga mengungkapkan adanya laporan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian dalam Pilkada 2024, yang diduga terjadi di beberapa wilayah seperti Sulawesi Utara, Boyolali, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Hasto menyatakan bahwa ini menunjukkan ancaman terhadap pelaksanaan pilkada yang demokratis.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri menjaga netralitas dalam Pilkada 2024. Ia telah memerintahkan bawahannya untuk berhati-hati dalam menjaga kredibilitas dan netralitas, serta memastikan kelancaran pilkada melalui sinergi dengan berbagai elemen masyarakat. Untuk memastikan netralitas, Polri juga melibatkan pengawasan internal dan eksternal dari berbagai lembaga dan organisasi masyarakat.
Lemhanas Usul Polri di Bawah Kemendagri, IPW: Menguatkan Isu Dwifungsi
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo dalam pernyataan akhir tahun 2021 yang mengusulkan agar Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional dibentuk. Nantinya, kata Agus, Polri berada di bawah kementerian tersebut.
Agus Widjojo menjelaskan usulan itu muncul sebab belum ada lembaga politik yang merumuskan kebijakan nasional dalam fungsi keamanan dalam negeri. Menurutnya, dibutuhkan lembaga politik setingkat kementerian yang diberi mandat untuk merumuskan kebijakan nasional dalam fungsi keamanan dalam negeri.
Pada 2022, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai bahwa usulan Lemhanas agar kepolisian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri justru semakin memperkuat isu dwifungsi Polri.
"IPW menilai usulan Gubernur Lemhannas ini hanyalah sebagai suatu momentum mengingatkan masyarakat, politisi bahkan Presiden tentang isu dwifungsi Polri yang makin menguat pasca reformasi," ujar Sugeng dalam keterangannya pada Selasa, 4 Januari 2021.
Sugeng menjelaskan istilah dwifungsi Polri memang tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi nyata teraplikasikan berdasarkan Pasal 28 UU Polri. Karena itu, Sugeng menilai hal ini harus menjadi pemikiran serius dari pimpinan Polri.
Sugeng Teguh Santoso mengungkapkan bahwa dwifungsi Polri muncul ketika polisi aktif ditempatkan di lembaga-lembaga sipil, kementerian, dan BUMN, terutama menjelang Pilkada 2024, ketika banyak kepala daerah yang masa jabatannya habis dan harus digantikan dengan pelaksana tugas.
Ia mengamati bahwa pemerintah sering memilih pejabat yang dianggap mampu menjaga keamanan hingga pilkada selesai, seperti penunjukan Komjen Mochamad Iriawan sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2018.
IPW menilai bahwa Polri harus berhati-hati dengan isu dwifungsi agar tidak menimbulkan kecemburuan antar institusi. Sugeng meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus agar Polri tidak bertindak terlalu jauh, yang bisa menimbulkan riak politik.
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai jika Polri ditempatkan di bawah kementerian akan rawan politisasi. Apalagi selama ini, menteri biasanya berasal dari partai politik.
"Sangat membahayakan apabila Polri di bawah kementerian, dan menterinya berasal dari partai politik, maka potensial sekali terjadi politisasi di tubuh Polri untuk kepentingan politik praktis. Padahal kehadiran Polri di politik harus netral dan tidak boleh berpihak kepada kepentingan politik praktis," kata Didik, di Jakarta, Senin 3 Januari 2022.
MYESHA FATINA RACHMAN I FRISKI RIANA I SAPTO YUNUS I ANTARA