Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM keluasan yang berbataskan langit dan tanah, warna-warna itu berpadu dalam irama yang serempak. Cokelat. Putih. Biru. Biru. Putih. Cokelat. Berloncatan seturut dengan hari dan jam,siang dan malam—warna-warna itu menentukan jadwal 4.230 praja dalam nadatunggal disiplin: makan, mandi, tidur, olahraga, berdoa, belajar, rekreasi.Warna-warna itu mengatur mimik wajah, gerakan kepala, sikap menghormat,potongan rambut, cara menenteng tas, kecepatan makan.
Dalam keluasan yang dilatari bukit-bukit Manglayang hijau pekat dikejauhan, warna-warna—baju seragam beserta aneka emblem dan atribut penandajenjang senioritas—itu melesakkan doktrin kesetiaan dan suara manunggal kedalam setiap kepala. Sembari, pada saat yang sama, memakukan tapal batasyang radikal antara junior-senior; nindya-madya; atasan-bawahan. Warna-warnaitu melintasi aula Nagara Bhakti, melesat ketakutan di lapangan ataulorong-lorong bangunan, berkelebat dari ruang-ruang menza—restoran—menujukelas, jalanan kampus, dan masjid.
Dalam keluasan yang membungkam dalam 80 hektare bangunan,warna-warna itu mengenyahkan pengembaraan jiwa bahkan meniadakan tempatuntuk tangisan. Dalam Matsnawi, kitabnya yang amat masyhur, penyair PersiaJalaludin Rumi menganjurkan: "Menangislah seperti kincir air, rumput-rumputhijau mungkin memancar dari istana jiwamu...." Tapi Siti Lestari, seorangnindya-praja dari Sulawesi Tenggara, harus meluapkan tangisannya diam-diamdi tempat-tempat tersembunyi. Padahal "menangis adalah cara kamimelepaskan rasa jenuh," katanya.
Dalam keluasan kampus, ribuan anak-anak muda melintas dari delapanpenjuru negeri menuju Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Di gerbangsekolah, mereka membaurkan diri ke dalam warna-warna. Putih. Biru. Cokelat.Personal menjadi kontingen. Diri menjadi kelompok. Warna-warna itumemutar weker kehidupan selama 24 jam—untuk kemudian menukarnya denganselembar ijazah plus sejumlah impian pada empat tahun kemudian.
Tapi warna-warna itu mendadak bungkam tatkala aneka"pembinaan" yang dibungkus tendangan,tamparan, pelecehan, ditebar di kampus itu selama bertahun. Dan mengapakahwarna-warna itu membisu saat imbal janji "menjadi pemimpin yang andal danberdisiplin" bertukar ceritera dengan siksa bahkan kematian?
John McAllister Schofield (1831-1906) satu dari jenderal alumni West Point paling masyhur, menuliskan intisari disiplin yang masih diajarkan di West Point hampir seabad setelah kematiannya. "Disiplin tak pernah bisa ditegakkan lewat kekasaran dan tirani," tulis Schofield. "Dan pemimpin yang baik menuai sukses lewat rasa hormat, kepercayaan, dan kasih sayang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo