Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Justru di Laut Kita Memble

Armada Angkatan Laut akan digabung. Masih berkutat dengan bujet yang cupet dan uzurnya kondisi peralatan tempur.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN prajurit bercelana biru gelap dan kaus putih itu rajin mengayunkan kuasnya. Mereka menyapukan cat warna abu-abu itu ke badan kapal yang tengah bersandar di dok, menutupi lambung yang catnya mengelupas di sana-sini. Banyak pula yang mulai karatan. Ini mereka lakukan tiap hari di dok markas Komando Armada RI Kawasan Timur, di Surabaya, Jawa Timur, sejak dua pekan lalu. Jelas ini kesibukan menjelang hari penting. Pada Ahad lalu, 5 Oktober, TNI berulang tahun ke-58. Puluhan kapal perang dipoles dan didandani. Tuan rumah tampaknya ingin tampil lebih segar dan gagah. Orang bilang, bak calon pengantin, Armada Kawasan Timur tengah bersolek. Ada pula aksi lapangan yang diperagakan kesatuan lain. Malang tak bisa dihadang, saat berlatih "stabo", turun dari helikopter dengan temali, delapan anggota Kopassus diduga tewas tenggelam akibat cuaca buruk, Sabtu pekan lalu (lihat rubrik Peristiwa). Selain mempercantik wajah, ada juga "unjuk kekuatan". Perhelatan besar ini juga dipakai Angkatan Laut untuk mempertontonkan kembali kemampuan 16 kapal Korvet kelas Parchim I, yang telah direparasi sehingga mampu berlayar lagi. Ke-16 kapal anti-kapal selam ini adalah sebagian dari 39 kapal yang dibeli pemerintah tahun 1994 dari Jerman Timur. "Setahun yang lalu kapal-kapal ini masih nongkrong di dok," kata Panglima Armada Wilayah Barat, Laksamana Muda Mualimin Santoso, akhir pekan lalu. Berbagai manuver sudah disiapkan. KRI Sultan Thaha Syaifuddin termasuk yang stand-by. Namun, kata seorang awak kapal, Sersan Satu Jatnadi, setiap hari kapal berawak 85 orang ini mesti dicek sistemnya. Lajunya tak lagi secepat kapal baru. Mulai uzur. Kapal-kapal sejenis bernama Teuku Umar, Imam Bonjol, Pati Unus, dan Silas Papare pun sama. Jadi, tampaknya upaya memoles badan kapal tetap tak mampu menutupi kemuraman yang melanda angkatan yang bersemboyan "Jalesveva Jayamahe" (di laut kita jaya) ini. Padahal, tugas mereka begitu berat. Sebagai negara maritim dengan luas perairan 7,6 juta km2, dengan panjang garis pantai 108.000 km, 17.568 pulau, dan Zone Ekonomi Eksklusif seluas 5,8 juta km2, kondisi TNI-AL memang menyedihkan. Untuk menjaga perairan Indonesia, saat ini mereka hanya punya 116 kapal. Padahal idealnya wilayah ini harus dijaga 380 kapal, atau sedikitnya tiga kali jumlah kapal yang ada. Kalau mau diminimalkan, paling tidak diperlukan 180 kapal untuk menjaga keamanan. Kalau diukur yang laik jalan, lebih parah lagi. Dari 116 kapal, hanya sekitar 70 buah saja yang mampu "berenang". Itu pun tak bisa berlayar secara serentak. Saat ini, sehari-hari hanya ada 35 kapal yang menjaga seluruh perairan Indonesia. "Tiga belas kapal menjaga kawasan Barat, dan 22 kapal menjaga kawasan Timur," kata Santoso. Maka, tak aneh jika kisah pencurian ikan, pasir, dan kekayaan laut Indonesia senantiasa berulang. Kapal kita sering kedodoran. Malangnya, kapal-kapal itu pun sudah uzur. Fregat rata-rata buatan era 60-70-an, Korvet bikinan era 70-an. Bahkan kapal pengangkut personel telah berusia 64 tahun. Amunisi dan instrumen kapal pun sudah memble dan kedaluwarsa. Hingga kini masih ada peluru kendali made in Rusia berumur 34 tahun yang belum diganti. Coba bandingkan dengan Singapura. Negara sekecil itu punya 40 kapal berbagai jenis buatan tahun 90-an, dengan senjata modern. Langkah perbaikan telah diupayakan. Berkali-kali Angkatan Laut mengusulkan pembelian peralatan tempur dan kapal perang. Rencana pembelian dua kapal selam tambahan tahun depan sudah diplot sejak awal tahun 90-an. Masalahnya, negara lagi bokek. Anggaran pertahanan jadinya kena imbas. Cekak. Ditambah problem susulan: embargo peralatan tempur dari Amerika Serikat dan Inggris, sejak militer kita dianggap melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Simak saja ketatnya bujet pertahanan. Tahun 2003 ini, anggaran tentara Rp 13,9 triliun. Sebanyak Rp 11,5 triliun dialokasikan untuk anggaran rutin dan Rp 2,4 triliun untuk pembangunan. Jumlah ini sangat jauh dibanding Singapura. Tahun 2000 saja mereka punya anggaran US$ 4,4 miliar atau sekitar Rp 39 triliun—tiga kali bujet tentara saat ini. Angkatan Laut menerima anggaran pembangunan lebih besar dibanding dua angkatan lainnya. Namun, uang Rp 700 miliar itu hanya bisa dipakai untuk memperbaiki kapal dan peralatan tempur lainnya. Dibandingkan dengan negara serumpun, bujet pertahanan kita masih kalah. "Tahun ini anggaran TNI hanya 0,76 persen dari GDP, tahun lalu 0,86 persen, sedangkan tahun 2001 sebesar 1,1 persen," kata pengamat militer dari CSIS Kusnanto Anggoro. Padahal, anggaran pertahanan Singapura telah mencapai 4,7 persen dari GDP, Thailand 3,7 persen, dan Malaysia sekitar 3,5 persen. Bahkan, Vietnam telah mencapai 2,9 persen GDP. Karena itu, "Presiden mendatang harus punya komitmen bahwa kekuatan laut menjadi prioritas utama," ujar Kusnanto. Kenyataan pahit, memang. Lalu, muncullah ide penggabungan armada. "Caranya dengan melikuidasi Armada Barat dan Timur," kata KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, pekan lalu. Saat ini, Angkatan Laut punya dua armada, yakni Armada Kawasan Timur yang bermarkas di Surabaya dan Armada Kawasan Barat yang bercokol di Jakarta. Nantinya hanya ada satu armada laut, yang diberi nama Armada Republik Indonesia. Di bawahnya, ada tiga armada operasional, yakni Armada I, II, dan III. "Ini disesuaikan dengan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)," kata KSAL. Inflasi perwira lantaran terjadi penyempitan posisi? Sondakh yakin tak akan terjadi. Soalnya, Armada RI rencananya akan dijabat seorang perwira berbintang tiga. Sedangkan tiga armada operasional dijabat perwira berbintang dua. Selain itu, dalam struktur organisasi di bawah armada operasional, akan ada Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal). "Lantamal akan diperbanyak, dan dipegang bintang satu," ujarnya. Klop, para laksamana akan dapat posisi layak. Konsep ini berbeda dengan plot dua tahun lalu. Saat itu justru direncanakan pembentukan tiga komando armada kawasan, yakni Armada I yang berpangkalan di Belawan, Armada II di Surabaya, dan Armada III di Makassar. "Ketiga armada kawasan itu di bawah komando panglima berpangkat laksamana madya," kata KSAL saat itu, Laksamana Achmad Sutjipto, pada acara wisuda purnawira Pati TNI-AL, Senin 11 September 2001, di Lapangan Arafuru Bumimoro, Surabaya. Rencana terakhir dilakukan untuk efisiensi. "Anggaran TNI-AL saat ini sangat minim untuk menghidupi dua armada sekaligus," kata Kent. Selain itu, TNI-AL juga berniat merampingkan struktur organisasi dalam satu komando. Selama ini Armada Timur berkekuatan lebih besar dibanding Barat. Padahal banyak ancaman yang kini justru terjadi di bagian barat, seperti penyelundupan, blokade Aceh, perdagangan ilegal, perompakan, dan arus pengungsian. Markas Besar TNI agaknya tak keberatan. Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, pihaknya kini sedang mengkaji rencana "merger dua armada" itu. "Meskipun nantinya hanya satu armada, tapi akan dapat mengkover secara nasional," ujar Jenderal Endriartono. Sedangkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, Mayjen Sudrajat, mengatakan bahwa kantornya belum membahas rencana penyatuan itu. Tapi prinsipnya oke-oke saja. "Reorganisasi penting untuk efisiensi. Ini sangat logis dan memang harus dikerjakan," ujarnya. Momentum penggabungan sudah dicanangkan. Angkatan Laut berharap agar gagasan ini bisa diresmikan pada Hari Armada, hari ulang tahun TNI-AL, pada 5 Desember mendatang. Rencananya, pangkalan utama Armada TNI-AL ini akan dipusatkan di Surabaya. Markas Armada Timur ini dinilai memenuhi syarat untuk menjadi pangkalan utama. "Kami sudah siap," kata Panglima Armada Timur, Laksamana Muda TNI Slamet Soebijanto. Armada disatukan, anggaran ditingkatkan. Menurut Dirjen Sudrajat, Departemen Pertahanan akan mengajukan anggaran Rp 31 triliun untuk TNI tahun depan. Angka ini setara dengan 2 persen GDP Indonesia. Angkatan Laut? Jangan khawatir. Akan mendapat alokasi terbesar. Tapi, ia tak dapat memastikan angka yang akan terealisasi nanti. "Itu DPR yang menentukan," ujarnya. Mendapat harapan sejuk begini, Panglima TNI Jenderal Endriartono menyunggingkan senyum. Saat berpidato di Surabaya, ia tak lupa menyebut ihwal hebatnya patokan kobra empat pesawat tempur Sukhoi yang baru saja dibeli dari Rusia. Namun, jumlahnya belum ideal, belum satu skuadron. Ia berharap Angkatan Laut juga punya kapal hebat yang bisa mematok ala kobra. "Jadi, supaya tidak cari mainan yang lain-lain, beri kami mainan (yang semestinya)," katanya lugas. Tentunya dengan prosedur yang semestinya. Hanibal W.Y. Wijayanta, Yura Syahrul, dan Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus