Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam menunjuk angka enam lewat. Masih pagi. Tapi, di ruang-ruang makan yang disebut menza, kesibukan sudah berlangsung sejak subuh. Para petugas catering menata menu sarapan untuk 3.000 lebih mahasiswa di ruang makan Nusantara di Kompleks Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Di salah satu menza, Siti Lestari, seorang praja asal Kendari, Sulawesi Tenggara, duduk dengan tertib di kursi. Seseorang memimpin doa. Lalu sarapan pagi pun dimulai. Menu pagi itu: nasi goreng, kerupuk, dan—ini yang luar biasa—daging sandal.
Sandal? Betul. Tapi ini bukan sandal biasa atau nama daging khas Jatinangor, Sumedang—tempat kampus itu berlokasi. Ini julukan dari para penghuni kampus itu untuk menyindir satu lauk andalan mereka: daging sapi yang luar biasa alot dengan bumbu ala kadarnya. "Daging sandal itu salah satu menu utama kami," tutur Siti kepada TEMPO sembari tertawa.
Berangkat siang, ruangan itu kembali penuh oleh mahasiswa. Dan ritual yang sama terulang. Duduk tertib. Doa dipanjatkan. Hidangan diedarkan. Mutunya sama, cuma rupa yang berbeda: nasi putih, sayur bening—tepatnya, beberapa lembar bayam yang mengambang di dalam mangkuk—dan sepotong kecil tahu. Dan, eh, si sandal muncul kembali dengan ukuran sekitar 2,5 sentimeter.
Alhasil, di ruang makan ini, lauk ala kadarnya itu dipersedap dengan pelesetan nama-nama menu. Misalnya, telur dadar disebut tripleks, saking tipis dan kerasnya karena dicampur banyak tepung. Lalu ada indosiar—ikan asin sekeras besi. "Mau bagaimana lagi? Yang ada ya kita makan," kata nindya praja dari Kendari itu.
Tiga tahun menghuni barak-barak STPDN, Siti dan 3.000-an mahasiswa—muda, madya, dan nindya praja—sudah terbiasa dengan hidangan serba cekak. "Sayur bening atau sup benar-benar 'bening' sehingga bisa becermin," kelakar Sudarsono, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri, kepada TEMPO.
Berapa anggaran makan para calon lurah dan camat ini? Sekitar Rp 8.000—terdiri atas Rp 6.200 untuk biaya tiga kali makan plus kudapan. Celakanya, bujet secekak ini masih disunat di sana-sini. "Orang korupsi bawang dan garam saja bisa kaya raya," kata dosen STPDN Inu Kencana seraya terbahak. Dia menambahkan, aspek makanan adalah sebuah ladang percatutan yang subur. Caranya?
Sederhana saja. Suguhkan menu menza sederhana, lalu buka kantin dengan menu lebih menggoda. Maka para mahasiswa yang lapar akan giat menyerbu hidangan di kantin. Bisnis perkantinan disebut-sebut melibatkan banyak pegawai STPDN. Sumber TEMPO di Departemen Dalam Negeri yang amat mengenal lika-liku STPDN berbisik, "Di kampus ini, apa pun bisa dicatut, dari menu, piring, gelas, sampai kursi." Ya, kursi!
Tiga ribu lebih kursi besi biru memenuhi ruang-ruang makan kampus. Sumber TEMPO di STPDN, seorang karyawan senior yang banyak terlibat dalam seluk-beluk keuangan STPDN, mengeluh kepada wartawan mingguan ini, "Kursi itu dijatah Rp 200 ribu per biji. Harusnya cukup dengan Rp 100 ribu." Dari pengecekan TEMPO di pasar pada pekan lalu, harga kursi sejenis itu memang Rp 100 ribu bila dibeli dalam partai besar dan Rp 125 ribu bila dibeli dalam jumlah kecil.
Dengan lain kata, berbagai hal bisa dicatut dari ruang makan—dan bukan sekadar makanan. Meminjam istilah Inu Kencana, "Korupsi sudah menjadi hal sehari-hari di STPDN." Pelaksana Harian Ketua STPDN, I Nyoman Sumaryadi, tidak menepis adanya kondisi ini. Namun dia menegaskan, tak mudah mencita-citakan menu empat-sehat-lima-sempurna dengan bujet yang begitu minim: Rp 6.200 untuk tiga kali makan. Angka itu, menurut Nyoman, hanya separuh dari bujet makan mahasiswa di Akademi Kepolisian.
Lalu soal catut-mencatut di meja makan? Nyoman mengakui tak akan melupakannya. Cuma, "Saya lagi mengumpulkan laporan, jadi belum bisa berkomentar. Tak mudah mengungkapnya karena gerakan tutup mulut di sini amat besar," katanya. Namun, untuk memenuhi hasrat makan mahasiswa, dia melonggarkan sedikit keran peraturan: sejak pekan silam, para mahasiswa boleh pesiar ke kota pada hari Sabtu dan Minggu.
Mereka yang tadinya mencuri-curi kesempatan untuk keluar kini boleh berterang-terang melakukannya. "Daripada curi-curi, kan, tidak baik," Nyoman menjelaskan. Selain melepas rasa jenuh dari kehidupan monoton di barak, mereka bisa memborong berbagai kebutuhan hidup. Juga mencicipi aneka rupa kudapan dan makanan sebelum kembali ke business as usual: daging sandal, telur tripleks, dan ikan indosiar.
Adi Prasetya, Dwi Wiyana (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo