Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Tempo Doeloe</font><br />Bila Wartawan Kurang Ajar

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KADANG ada wartawan yang tak hanya mewartakan, tapi juga memanfaatkan profesinya untuk memeras orang. Ia berpura-pura jadi jurnalis untuk menekan, seperti yang ditudingkan terhadap Amar dan Turmidzi pada Mei lalu. Mengaku dari Suara Kota, keduanya menakut-nakuti kelompok tani di Desa Bettet, Pamekasan, Jawa Timur. Menyatakan proyek irigasi para petani itu tidak benar dan karena itu akan diberitakan, keduanya meminta dana iklan Rp 17 juta. Mereka akhirnya ditangkap warga dan diserahkan ke polisi.

Ulah melanggar kode etik jurnalistik yang sudah terjadi puluhan tahun ini menjadi laporan utama majalah Tempo edisi 3 Februari 1979. Kebetulan pada bulan itu sedang ada semacam kampanye agar media menyiarkan kode etik jurnalistik. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Pers S. Tasrif, ini karena wartawan sering dipojokkan untuk melanggar kode etiknya sendiri. Memang ada wartawan yang bobrok, tapi tak sedikit pula orang yang senang membujuk wartawan dengan pemberian ala kadarnya. “Selain harus diajarkan kepada wartawan,” katanya, “kode etik harus dipahami pemerintah dan masyarakat.”

Contoh baik ditunjukkan oleh Wali Kota Surabaya Suparno. Menurut Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Surabaya Syarifuddin, sang wali kota pernah didatangi seorang wartawan. Sambil menyodorkan sebuah konsep berita tentang aspal, koresponden satu koran Jakarta itu mengancam: “Ini akan saya muat!”

Suparno tahu maksud si wartawan, yakni hendak meminta uang tutup mulut. Tapi, tanpa banyak ribut, dia mempersilakan wartawan tadi memuat beritanya. Toh, kedudukan wali kota tak goyah oleh sepotong berita. Dan Suparno mafhum, si wartawan punya kewajiban membuat berita yang benar, dan dia sebagai subyek berita punya hak jawab jika nama baiknya dirugikan.

Bupati Blitar pernah juga berurusan dengan wartawan model begituan. Kali ini seorang wartawan menawarkan “jasa baik”-nya. Dia akan menulis yang baik-baik saja asalkan Pak Bupati memberi imbalan Rp 75 ribu. Janji itu menjadi urusan lantaran si wartawan tak kunjung menulis soal Blitar di korannya. Mengapa bupati melayani permintaan wartawan yang jelas melanggar kode etik itu, PWI Surabaya merasa tak berhak mempersoalkan. Bagusnya, anggota PWI itu akhirnya meminta maaf, dan pemerintah daerah Blitar meminta kembali uangnya.

Namun inisiatif pemberian tak selamanya datang dari wartawan. Amplop yang beredar sering pula diterima wartawan karena dipaksakan. Ada pemberian lepas begitu saja tanpa permintaan yang mengikat, tapi cukup banyak pula yang memberi dengan harapan bermacam-macam. Contohnya berita peresmian proyek irigasi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Mata wartawan seolah-olah tertutup terhadap keadaan yang semestinya diberitakan: bahwa proyek itu sudah rusak sebelum gubernur meresmikannya. “Itulah kalau wartawan piaraan,” kata seorang wartawan senior di sana.

Ada pula kisah tentang bandar judi KIM Gembira Ria di Semarang. Melalui tangan seorang pengurus PWI, dia membagi-bagikan uang ke banyak kantong wartawan. Uang bandar T. Hasan Basri itu bahkan menyusup pula ke meja beberapa redaksi surat kabar lokal.

Belakangan persoalan menjadi ruwet bagi Hasan Basri karena majalah Detektif & Romantika tak dapat dibungkam. Berseri-seri D&R menurunkan berita tentang bandar dan permainan KIM-nya. Akibatnya timbul silang-selisih. D&R punya fakta kegiatan Hasan Basri menyebar duitnya ke kantong wartawan. Sedangkan bandar KIM menuduh koresponden D&R, Heru, telah memerasnya Rp 1 juta.

Terakhir Hasan mengadu ke Dewan Kehormatan Pers. Dia mempertanyakan ihwal hak jawabnya yang sampai dua kali tidak dimuat. Hak jawab merupakan satu dari sekian ketentuan kode etik yang memang sering digelapkan media. Untunglah, D&R akhirnya bersedia memuat lengkap bantahan bandar judi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus