Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA ribuan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin dan anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat layak serius kita sorot. Laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu kuat menandakan bahwa sebagian pemimpin dan anggota Badan Anggaran, yang seharusnya mengawasi kualitas belanja negara, justru menjadi episentrum persoalan: bak pagar makan tanaman.
Sudah sepatutnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melaporkan daftar belasan nama pemilik rekening gendut itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ribuan transaksi ajaib itu—kebanyakan dilakukan secara tunai dan kini sedang diselidiki—diduga kuat terkait dengan proses pembahasan anggaran. Duit bejibun dari ratusan juta hingga miliaran rupiah per rekening mereka itu diduga berasal dari fee, komisi, bahkan suap agar proyek diloloskan. Bau amis bancakan anggaran negara terasa menyengat.
Modus operandinya beragam. Ada proyek yang disetujui meskipun jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar. Ada pula proyek penting yang malah dicoret dari daftar semata karena tak ada uang komisi. Para penggasak duit negara ini seolah-olah tak peduli bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dikumpulkan dengan susah payah dari pajak rakyat. Walhasil, Badan Anggaran dijadikan lahan empuk untuk mendulang rupiah dari proyek-proyek APBN.
Peran Dewan dalam mengontrol bujet memang luar biasa, dan sebetulnya ini terobosan yang patut dipuji. Langkah ini merupakan ikhtiar menembus tembok kokoh kolusi dan nepotisme penguasa yang terbangun sejak Orde Baru. Di era reformasi, sistem keuangan negara mulai dibenahi melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa penetapan APBN harus mendapat persetujuan Dewan.
Badan Anggaran-lah yang kemudian mengukur rasionalisasi dan sinkronisasi anggaran. Masalahnya, Badan Anggaran juga menyisir bujet secara terperinci dari unit organisasi pelaksana, fungsi, program kegiatan, sampai jenis belanjanya. Dari sinilah muncul ekses negatif. Keterlibatan ekstra-aktif ini mengaburkan tembok pembatas fungsi legislatif dan eksekutif. Pada beberapa kasus, mata anggaran yang sudah disetujui pun masih diberi tanda bintang tanpa alasan jelas. Lalu, di bawah meja, terjadilah tawar-menawar langsung antara Badan Anggaran dan pihak yang berkepentingan agar programnya diamankan.
Eksistensi Badan Anggaran semestinya segera dievaluasi. Fungsi koordinasi dan sinkronisasi bisa diserahkan kepada panitia anggaran yang dibentuk secara ad hoc, agar tidak terbentuk rezim yang kewenangannya rawan disalahgunakan. Faktanya, Badan Anggaran kerap menyalahi aturan main. Dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, misalnya, personel Badan Anggaran langsung bernegosiasi dengan pengusaha penggarap proyek di daerah. Badan Anggaran juga potong kompas, sonder melewati pembahasan usul rencana kerja dan anggaran antara Kementerian dan komisi terkait di Senayan.
Hal serupa terjadi dalam perkara Wisma Atlet yang menyeret M. Nazaruddin, mantan anggota Badan Anggaran dan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat. Nazaruddin secara aktif bergerak menawari sejumlah perusahaan menggarap proyek dengan iming-iming fee menggiurkan.
Agar penyelesaiannya lebih sistematis, diperlukan audit sistem pembahasan anggaran secara menyeluruh. Dengan begitu, bisa dideteksi problem yang terjadi akibat penyelewengan aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan selama ini.
Polah politikus Senayan menggerogoti daya hidup negara melalui anggaran ini harus diungkap tuntas. Berbekal prinsip uang sebagai daya hidup kejahatan, live blood of the crime, dengan mudah tindak korupsi ini bisa dilacak. Sebagai lembaga yang berwenang menelusuri aliran transaksi, Pusat Pelaporan paham di mana saja uang haram mengalir. Sialnya, posisi lembaga ini hanya sebatas pelapor, bukan bagian dari penegak hukum. Tak ada sanksi apa pun bagi instansi dan aparat hukum yang tidak menindaklanjuti laporannya.
Gagasan memberi otot Pusat Pelaporan harus terus dihidupkan. Maka diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya ihwal penguatan kewenangan lembaga pengawas transaksi keuangan itu. Jangan mundur meski wacana ini selalu diganjal politikus berbagai kubu yang tampaknya berkepentingan melemahkan peran penting tadi.
Harapan satu-satunya kini tertumpu pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Agar publik tak tersandera dalam ketidakjelasan dan kecurigaan, yang buntutnya juga mengorbankan wibawa DPR, sebaiknya proses penyelidikan ini diberi batas waktu yang pasti. Demi asas akuntabilitas dan transparansi, akan lebih ciamik jika hasil penelusuran rekening mencurigakan milik para legislator di Badan Anggaran ini juga diumumkan kepada publik.
berita terkait di halaman 92
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo