Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Per-tanyaan ini membuat kami agak lama berpikir sebelum memutuskan rencana laporan utama Tempo nomor ini sebulan lalu. Kejadian itu sudah banyak dituliskan. Karena itu, apa yang kami hidangkan ini, yang memakan ruang dua atau tiga kali lebih banyak dari biasanya, tidaklah dilandasi pretensi “melengkapi sejarah”.
Sekalipun pers sering disebut-sebut se--bagai “sumber penulisan sejarah”, yang lebih mendorong kami menghidangkan la-poran utama ini adalah ambisi jurnalistik: seeksklusif mungkin, sedahulu mungkin, dan kalau bisa selengkap mungkin. Maka, di samping mencoba mencari sen-diri sumber-sumber yang mungkin ma-sih bisa digali, kami juga mengundang sejumlah orang yang kami pandang patut menuliskan sesuatu baik mengenai peng-alaman pribadi maupun penilaiannya se-kitar peristiwa bersejarah itu.
Tidak semua tokoh yang kami hubungi akhirnya kami terima karangannya, mes-kipun pada mulanya sudah menjanjikan. Tapi kami tetap merasa gembira: di sini ada tulisan yang cukup panjang dari A. Latief Hendraningrat, yang berdiri di samping kanan Bung Karno waktu membacakan teks Proklamasi tulisan B. Palenewen, kepala operator kantor berita Jepang, Domei, yang sedikit-banyak memberikan koreksi pada beberapa keterangan sekitar penyiaran teks Proklamasi lewat Domei.
Nugroho Notosutanto, Kepala Pusat Sejarah Pertahanan dan Keamanan, yang menuliskan masalah yang dihadapi seja-rawan dalam menulis sejarah sekitar Proklamasi itu dan—ini menggembirakan—pada saat-saat terakhir Ibu Fatmawati Sukarno, bersedia memenuhi permintaan kami menceritakan sekelumit kisahnya. Untuk tulisan kami sendiri, kami memu-satkan perhatian pada sekitar “penculikan Sukarno-Hatta” ke Rengasdengklok.
Di samping itu, kami juga mencari jawaban atas teka-teki: mengapa “Revolusi” seperti yang diiming-imingkan golongan pemuda kepada Sukarno-Hatta yang akan pecah pada 16 Agustus 1945 ternyata tidak terjadi? Ini semua membawa satu tim Tempo yang terdiri atas Ed Zulverdi, Budiman S. Hartoyo, Bur Rasuanto, serta sopir Miran sampai ke Rengasdengklok tiga minggu lalu.
Dengan koordinasi Bur Rasuanto, Bu-di-man S. Hartoyo memainkan peran sentral dalam pengumpulan bahan, wawancara, dan kemudian proses penulisan sendiri. Ia berhasil menghubungi orang-orang yang selama ini banyak disebut-sebut tapi tak pernah terdengar suaranya, antara lain bekas shodanco, Singgih, yang menculik Sukarno-Hatta; bekas shodanco, Affan, dari Rengasdengklok; Palenewen; F. Wua, bekas markonis kantor berita Domei; dan Kasman Singodimedjo.
Di Rengasdengklok, kami tidak hanya mendapat cerita suasana Rengasdengklok 30 tahun silam dari orang-orang bekas ang-gota Barisan Pelopor waktu itu, tapi juga keadaan Rengasdengklok sekarang, yang kami hidangkan dalam rubrik Desa, serta cerita tentang Djiauw Kie Siong (almar-hum) dan anak-mantunya sekarang—orang Tionghoa yang rumahnya dikosongkan untuk “menyimpan” Sukarno-Hatta satu hari—yang kami hidangkan di rubrik Tamu Kita halaman 54.
Pelajaran yang bisa kami petik dari membaca begitu banyak bahan dan men-dengar begitu banyak kisah dalam mem-per-siapkan laporan utama ini adalah kekuatan dan kesuksesan para pendiri Re-publik waktu memproklamasikan ke-mer-dekaan tidak hanya karena persatuan pen-dapat, tapi juga lantaran perbedaan pendapat yang sehat di kalangan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo