Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH dua puluh tahun reformasi, kondisi partai politik kita masih amat memprihatinkan. Lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai-partai bukannya beranjak modern, malah menjadi elitis dan figur-sentris. Gejala ini mengkhawatirkan lanta-ran partai politik akan lebih berorientasi pada kepentingan elite ketimbang publik.
Ketergantungan pada figur atau personalisasi itu merata di hampir semua partai politik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terpatri pada Megawati Soekarnoputri. Dalam kongres di Bali beberapa waktu lalu, partai pemenang pemilihan umum ini kembali mengangkat Megawati, 72 tahun, sebagai ketua umum untuk periode 2019-2024. Gejala serupa terjadi antara lain pada Partai Gerakan Indonesia Raya yang dipimpin Prabowo Subianto, Partai Demokrat yang dinakhodai Susilo Bambang Yudhoyono, juga Partai NasDem di bawah pimpinan Surya Paloh.
Fenomena tersebut akhirnya memunculkan pola tradisional ke dalam partai, yakni kepemimpinan yang feodal dan relasi patron-klien. Selain dianggap memiliki karisma dalam menggalang massa, figur sentral partai politik umumnya dijadikan patron karena kemampuannya mendanai partai dan relasinya dengan kekuasaan.
Partai semestinya berfungsi sebagai saluran aspirasi dan partisipasi politik sekaligus instrumen demokrasi untuk mengisi jabatan publik di pemerintahan dan parlemen. Tapi kepemimpinan yang berpola patron-klien mendorong partai menjadi elitis, oligarkis, dan mengabaikan kepentingan masyarakat.
Kalangan partai politik terkesan hanya membutuhkan masyarakat setiap lima tahun sekali. Yang dijual partai saat pemilu pun bukan program atau ideologi partai, melainkan “gula-gula”: kalau bukan figur, ya uang, dan belakangan malah politik identitas, yang menciptakan segregasi di tengah masyarakat.
Tentu saja hal ini bukan fenomena khas Indonesia. Personalisasi partai politik terjadi di semua negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, yang partai politiknya belum tumbuh menjadi organisasi modern berbasiskan nilai-nilai demokratis. Partai seperti ini biasanya mudah pecah. Jika tidak pecah, personalisasi partai menghambat kaderisasi dan melahirkan politik dinasti; hal yang tak kalah berbahayanya bagi demokrasi.
Gejala itu pun mulai terlihat di PDIP. Anak Megawati, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, telah berada di jajaran ketua partai dan disebut-sebut dipersiapkan untuk menggantikan ibunya, mempertahankan kepemimpinan trah Sukarno di partai banteng. PDIP juga akan mengajukan Puan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024.
Di Partai Demokrat, selain Yudhoyono sebagai ketua umum, putra keduanya, Edhie Baskoro, memimpin fraksi partai itu di DPR dan putra sulungnya, Agus Harimurti, digadang-gadang menggantikan dia sebagai ketua umum. Agus juga selalu diutus partai untuk berbagai jabatan politik; terakhir sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan NasDem disebut-sebut telah mengajukan Prananda Paloh sebagai salah satu calon menteri.
Partai politik semestinya tidak dikelola seperti perusahaan keluarga. Dalam demokrasi yang normal, penyimpangan semacam itu semestinya dikoreksi oleh publik. Caranya dengan tidak memilih partai yang elitis dan cenderung menjadi dinasti tersebut, yang mengabaikan kontrak politik dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sayangnya, itu belum terjadi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo