Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

4 tahun Lalu

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desember 2004

KECEMASAN kini menyergap orang-orang Garuda Indonesia. Terutama para pilot dan awak yang ikut dalam pesawat bernomor penerbangan GA974, yang terbang dari Jakarta menuju Amsterdam pada 6 September lalu. Dalam pesawat inilah Munir meninggal dan diduga akibat diracun dengan arsenik. Mau tidak mau mereka harus diperiksa polisi demi mengungkap misteri kematian Munir.

Sejauh ini 21 saksi telah diperiksa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI untuk mengungkap kasus kematian Munir. Mereka antara lain sejumlah awak Garuda yang dimintai keterangan pada Sabtu pekan lalu. Saksi lain yang sudah dipanggil adalah istri Munir, Suciwati, dan dokter Tarmizi Hakim dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, yang memberikan pertolongan ketika Munir mulai sakit di pesawat.

Namun, sampai akhir pekan lalu, polisi belum menentukan tersangka. Hanya, ada kabar mereka telah mengantongi empat nama yang mungkin akan menjadi tersangka, terdiri atas tiga orang militer dan seorang sipil. Namun isu ini telah dibantah oleh juru bicara kepresidenan, Andi Alfian Mallarangeng.

Kasus kematian Munir pun bergulir penuh teka-teki. Bahkan hampir empat tahun telah berlalu. Akankah penahanan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan, pekan lalu, bakal mengungkap lebih terang siapa aktor utama pembunuh aktivis hak asasi manusia itu?

Catatan

Kongres Bahasa Indonesia I25-28 Juni 1938

HARI ini, 70 tahun lalu, Kongres Bahasa Indonesia I digelar di Solo, Jawa Tengah. Kongres pada masa prakemerdekaan itu memutuskan, bahasa Indonesia perlu ejaan baru untuk mengganti Ejaan Van Ophuijsen.

Ejaan Van Ophuijsen bersumber dari buku berjudul Kitab Logat Melajoe, karya Charles Adriaan van Ophuijsen, Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma'moen, dan Moehamad Ta'ib Soetan Ibrahim. Konsep ejaan ini berasal dari tahun 1896, setahun sebelum A.A. Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang diundangkan pemerintah Belanda pada 1901.

Ejaan Van Ophuijsen perlu diganti karena adanya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab dalam bahasa Melayu. Fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, sering mengakibatkan kesalahan penulisan dan pembacaan.

Mufakat kongres di Solo itu baru dilaksanakan dua tahun setelah Indonesia merdeka. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, mencanangkan penggantian Ejaan Van Ophuijsen dengan Ejaan Republik pada 19 Maret dan 15 April 1947.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus